Langit Malam

4.8K 418 20
                                    


Upaya keras Elise menahan luapan kemarahan pada Karin, bercampur dengan kesedihan pada reaksi Ethan membuatnya berdiri, keluar dari resto dan duduk di depan pos satpam, berusaha menenangkan diri. Sekujur tubuh bergetar, telapak tangan dan kaki membeku. , Elise melepaskan sepatu. Sepatu abu-abu dengan tumit tinggi itu baru dibeli kemarin siang, jari kelingking dan tumit belakang sepertinya tergores, memanggil rasa perih menyakitkan.

“Mbak, nggak apa-apa?” Satpam menghampiri.

Elise menggelengkan kepala perlahan. “Saya numpang di sini sebentar ya, Pak.”

“Mbak Elise toh?” sang satpam melompat turun duduk di sebelahnya. “Pangling loh saya, Mbak.”

Elise meremas erat tas tangannya. Mencoba menarik ujung bibir, dia gagal, malah jadinya lekukan patah.

“Mbak El, mau kopi hangat? Saya buatin.”

“Nggak usah, Pak. Saya cuman numpang bentar, nungguin Chef Ethan.”

“Kalau gitu, saya ambilin kursi, lantainya dingin.”

Elise memberikan anggukan kecil, walau dia tidak membutuhkannya. Satpam kembali menenteng kursi lipat berwarna merah. Ia juga langsung mempersiapkannya supaya langsung bisa di duduki.

Baru saja Elise mengubah posisi duduk, sosok Nathan setengah berlari menuju ke arahnya. Dia berpaling, pria itu pasti memiliki tujuan lain, dia tidak menahannya waktu berdiri, atau meminta maaf atas kelancangan mulut Karin.

“Aku kira kamu udah balik,” ucap Nathan tersengal.

“Not your business,” ketus Elise tanpa menatap ke arah Nathan. Matanya terpaku pada bola taman bulat.

Nathan mengembuskan napas panjang. “El, semua yang diucapin Karin ….”

“Lupain! Done. Balik sana ke istrimu itu!” Nathan malah membuat ledakan emosi dalam kepala Elise makin heboh layaknya kembang api.

Nathan meraih tangan Elise, segera ditepis cepat.

“I’m sorry,” ucapan Nathan nyaris tidak terdengar.

Elise berdiri. “Belum cukup aku dikatain sama Karin? Semua emang biasa aja buat kamu, bukan buat aku Nathan. Aku mohon, kamu balik ke dalam jangan buat aku kehilangan kewarasan dan ngebalikin meja!” Napas Elise tersengal, dia kembali duduk, menekan dada kuat, sesak makin erat.

“Aku anterin kamu pulang,” ujar Nathan.

Elise meraup udara ke dalam mulut, melepaskannya dalam satu entakkan, mengapa Nathan tak kunjung mengikuti permintaannya.

“Leave me alone!” pekik Elise.

Nathan masih terpaku di depannya beberapa menit, pada akhirnya dia menyerah dan masuk kembali ke dalam restoran.

“Oh, God!” Elise menepuk dadanya berulang-ulang.

Pulang adalah solusi, sayangnya di sisi lain artinya menunda berbicara dengan Ethan. Makin ditarik, makin panjang waktu. Elise harus bersikap dewasa, dia akan menemui Ethan berbicara langsung dengannya, mengenai klisenya ucapan Karin. Rasa di dada yang tumbuh sudah menjadi sebatang tanaman layu, menghitam hampir mati.

Satu mobil putih bergerak siap meninggalkan tempat parkir. Elise berdiri memindahkan kursinya, ke sebelah satpam. Menarik paksa urat wajahnya agar tidak menyinggung pria ramah di sana.

Satu persatu kendaraan yang berjejer di tempat parkir akhirnya mengikuti mobil putih tadi, berarakan keluar. Acara di dalam jelas sudah selesai. Andreas dan keluarganya keluar paling akhir. Mereka terlibat pembicaraan dengan Ethan dan Keysa di pintu selama beberapa menit, tertawa.

Akhirnya, tinggal satu mobil di parkiran, milik Ethan. Keysha masih ada di dalam juga. Elise meraih ponsel, melihat jam, sudah pukul setengah sebelas malam. Karyawan di dalam juga sudah mulai pulang. Namun, sang juru masak tidak kunjung tampak batang hidungnya.

“Sudah hampir jam sebelas malam loh, Mbak El,” ujar Satpam dia baru saja berkeliling, patroli rutin. “Apa nggak sebaiknya Mbak El, nungguin Chef Ethannya di dalam saja? Makin malam Mbak, makin dingin ini. Ayo saya antar Chefnya di lantai dua.”

Menimbang ajakan sang satpam sesaat. Baiknya dia menunggu saja sampai Ethan selesai agar mood Ethan yang mungkin sibuk di dalam tidak terganggu, atau memang dia harus masuk bicara dan pulang.

“Baik, Pak. Rasanya saya harus berbicara sekarang. Nggak apa-apa, saya masuk sendiri saja.” Sebelum melangkah masuk, Elise kembali berhenti di depan pintu. Matanya menjelajahi ruangan besar di dalam. Taplak meja sudah disingkirkan, bangku-bangku diletakan terbalik di atas meja. Di bagian dekat tangga ke lantai dua, Keysha duduk memainkan ponsel.  Dia bisa meminta maaf pada wanita itu nanti.

Satu ayunan perlahan, kaki yang telanjang menginjak ubin restoran. Dingin menyentil tapak kaki Elise. Dia berjalan tanpa suara menaiki tangga.

Ethan sedang menutup tirai. Pintu kaca menuju balkon masih terbuka. Setelah tirai menyelubungi jendela kaca dengan sempurna. Dia berbalik, pandangan mata mereka bertemu. Masih tidak ada reaksi apa-apa, seakan Elise tidak termasuk dari objek yang terangkap mata. Dia berbalik menghilang dibalik pintu menuju balkon.

“Abaikan! Abaikan!” Elise menekan kepalanya, lalu berjalan secepat mungkin mengikuti Ethan.

Pria jangkung itu tengah menarik kursi dan dinaikkan ke atas meja pojok.

“Kak Ethan,” panggil Elise.

Kembali diabaikan.

“Kak Ethan, aku mohon. Aku pengen bicara!” Elise mendekat, mencegat langkah Ethan dengan berani.

“Kamu mau ngejelasin soal ucapan Karin tadi ‘kan?” akhirnya Ethan bicara. “Kata Nathan, emang kamu pernah bicara kaya gitu.”

“Bener, aku emang pernah ngomong soal itu. Tapi, nggak seperti apa yang dikatakan oleh Karin juga. Aku tahu, Kak Ethan nggak terima. Aku kebawa emosi, Kak. Aku nggak ngerti lagi kenapa Karin jadi benci banget sama aku. Aku bakalan jelasin ke Kak Keysha, atau kalau Kak Keysha marah aku bakalan ngelakuin apa pun untuk menebus kesalahan aku. Aku nggak bermaksud ngulang masa lalu dan balikin rasa benci sama kaya dulu dan ….”

“El, kamu jatuh hati lagi sama aku? Kaya dulu? Jujur sama aku El!”
Elise bisa menyangkal isi hatinya sekarang. Namun, dia tidak bisa. “I’m sorry,” lirihnya. “Tapi aku janji, aku bakalan jauh sejauh-jauhnya sama Kak Ethan.” Elise memundurkan kakinya saat itu juga siap pergi.

Tangan Ethan cepat menyambar pergelangan tangan Elise. Menariknya hingga jarak terpangkas, detik berikutnya sebelum Elise menyadari apa yang terjadi, kepala Ethan menunduk dan mengecup bibirnya.











Love Back TAMATWhere stories live. Discover now