Let It Go

5.1K 468 2
                                    

Segala jiwa akan kembali pada sang pencipta pada akhirnya. Elise tidak membayangkan akan berakhir begini. Dia memejamkan matanya erat, berharap dia tidak tersiksa saat melepaskan embusan terakhir napasnya.

Cekikan kuat tak kunjung terasa. Dalam satu Gerakan singkat, Kayle memindahkan tanganya ke bagian belakang leher Elise dan menarik tubuhnya.

Aroma parfum membaui penciuman Elise. kini pipinya merapat erat ke dada bidang Kayle.

“Thanks,” bisik Kayle lembut di telinga.

“For what?” Elise tidak memiliki petunjuk di kepala mengenai apa yang tengah dilakukan oleh pria di depannya.

Kayle melepaskan pelukan canggung itu. Telapak tanganya merapat ke pipi Elis. Dingin.

Elise menarik napas panjang, melupakan wajah Kayle penuh pesona berada hanya beberapa inci dari wajahnya. Saat menegangkan sudah berlalu, pikirannya kembali ke makanan yang tumpah ruah di atas bebatuan rata.

“Oh, my food!” Elise menepuk jidat. Harusnya tadi dia bisa mencengkeramnya jauh lebih kuat. Apa lah daya, nasi udah masuk rice cooker lupa dicolok pada hal lagi lapar-laparnya.

Lambaian tangan Kayle melewati mata. “Makan malamnya sama aku deh. Boleh kan, Ma?”

Sofia yang sedari tadi hanya diam mengangguk sembari tersenyum lebar. “Iya, asal jangan jauh-jauh. Udah ya, Mama mau siap-siap dulu, Mama mau pergi sama Ayah kamu.”

Kayle mengangguk.

Elise kembali menatap tumpahan makanan. Betapa menyedihkannya hidup ini. “Kay, cokelat yang aku pesan, kamu bawa nggak?”

Kayle menepuk jidat, senyuman tanpa rasa bersalah terlukis. “Sengaja sih nggak aku bawa.”

Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi bukan? Makan malamnya hilang, pesanan tidak dibawa. Elise merogoh kantong, sisa uang lima ribu.

Kayle mendadak menarik tangannya. “Lihat sunset yuk!”

Tubuh Elise yang sudah lemas hanya bisa mengikuti.

Kayle terus memegang tangan Elise erat, mereka melewati kerumunan orang yang menyebar di sepanjang bibir pantai. Kebanyakan dari mereka adalah nelayan yang menyiapkan sampan untuk melaut.

“Aku fotoin bagian sana dulu yah.”

Elise hanya mengangguk tanpa mengikuti ke mana jari Kayle menuju.  Dia memilih duduk saja di kursi panjang yang ada di sana.

Jalur benang emas sudah mulai dibentangkan oleh sang bola purba. Angin pantai hangat membelai. Kenyang-kenyangin, makan angin aja, kepalanya membisikan lelucon hingga sudut bibir melebar.

“Masih normal?” Kayle kembali dan duduk di samping.

“Kalau enggak aku udah balikin tuh sampan nelayan di sana sambal tertawa ala Pipiyot.”

“Ada-ada aja!”

Elise tersenyum sendiri membayangkan dia benar-benar melakukan apa yang baru dia katakana tadi. Saat dia menoleh pada Kayle, pria itu tengah tersenyum menatap wajahnya.

“Tadi ngucap makasi buat apa? I will tell true about me and your mother.”

“Mama udah cerita semuanya. Selama ini nggak ada yang berani nasehatin mama, terkecuali kamu. Aku bilang makasi karena kamu udah balikin hubungan orang tua kami. Sekarang kebahagiaan kita udah balik kaya dulu.”

“Selama ini? You have everything.”

“Nggak kaya kelihatannya kali! El, aku lihat kamu bahagia mulu.”

“Mana ada orang normal yang bahagia mulu! Selagi kepala bisa mikir ya perasaan juga begitu.”

“Kamu cepat pulih maksud aku. Bagi tips, dong?”

Elise mengerutkan kening. “Aku cuman punya dua hal, keluarga dan pelukan.”

“Aku udah punya yang pertama, boleh aku minta yang kedua dari kamu?”

“Tadi udah! Maksa! Ngagetin lagi!”

“Artinya boleh?”

“Enggak! Emang aku siapa ….”

“Another sister!” Kayle melingkarkan tangannya lagi.

“Sister,” ulang Elise. dalam hati dia bersyukur tidak pernah menyimpan harapan apa-apa pada Kayle, selain cokelat pesanannya.

Keheningan terajut di antara mereka beberapa saat.

“El, aku dengar masa lah kamu sama teman Kak Deo.” Hati-hati sekali Kayle mengucapkan kalimatnya.

“Kamu tahu? Kok bisa? But I don’t like to talk about that!”

“Kak Ethan nemuin aku, dia nanyain kamu.”

Elise menatap wajah Kayle. “Kamu nggak bilang aku di sini kan?”

Kayle membenamkan jemari ke dalam helaian rambut. “Sorry!”

Elise mengedipkan matanya berulang kali. Jantungnya kembali berdentum di dalam, sesaat kemudian bahunya terangkat. “Dia nggak bakalan kemari.”

“Dia datang ke studio foto aku. Awalnya aku bilang nggak bakalan ngasih tahu apa-apa. Dia kelihatan kesal banget, makanya aku bilang aja kamu di sini, baik-baik aja.”

Napas kasar Elise embuskan. “Dia pasti pengen minta maaf.”

“Kalau kamu nggak salah, nggak usah dong.”

“No. kamu pernah nggak sih ngerasa takut ngulang kesalahan yang sama? Aku ngalamin itu, tiap kali aku di samping … Kak Ethan. Aku takut.”

“Harusnya aku tahu itu, El.”
“Aku belum ceritakan, malam waktu aku nelpon kamu maksa kamu buat ngejemput saat itu juga?”

Kayle menggeleng. “Bukan kamu, Jojo sama Ester yang cerita.”

“Hah? Wah nyari gara-gara mulu!”

“Aku yang maksa. Aku kira kamu nggak bakal mau buat cerita. Aku nggak bakalan ceramahin ya, El. Tapi, kayanya kamu harus ngomong sama Kak Ethan. I mean, kamu nggak mungkin kan terus lari dari dia.”

Bertahun-tahun aku bisa, batin Elise, harusnya sekarang bukan masalah.

“Gimana bukunya?” Kayle mengalihkan pembicaraan.

“Tinggal editing tahap terakhir, Satu minggu ini terus di kirim ke penerbit. Covernya udah siap juga, tinggal ISBN kayanya, Kayle, gimana caranya kamu bicara sama orang yang bahkan sulit untuk kamu lihat. Semua kalimat dari mulut aku udah kaya mantra kutukan.”

“Pelukan.” Kayle mengeratkan lingakaran tangannya, lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Elise. “I belive you can doit. Masa orang yang mulutnya lancang  kaya kamu nggak bisa ngatesin itu.”

Elise tersenyum, yah mungkin kalimat menyakitkan itu harus dibalas dengan hal yanga sama.












Love Back TAMATWhere stories live. Discover now