Beginilah Saja Dulu

5.2K 491 1
                                    



Berpikir terlalu lama hanya membuang waktu. Lebih baik mengambil keputusan secepat mungkin, salah benar urusan nanti, prinsip konyol Elise saat dia masih kecil dan saat ini dia melakukannya lagi.

Entah berapa jam mereka berkendara, Elise tidak tahu. Dia sempat jatuh tertidur dan bangun saat merasa ada perubahan suhu udara di sekitarnya. Kayle duduk bersandar dengan laptop di pangkuan.

“Sorry!” sesal Elise. “Harusnya aku nggak ketiduran.”

Kayle menutup laptop meletakannya di jok belakang. “Nggak apa-apa. Abis kamu lelap banget aku nggak tega bangunin. Kita udah sampai. Bisa jalan?”

“Bisa-bisa.” Elise mengerjapkan matanya berulang kali sebelum keluar dari mobil. Tangis sudah membuatnya dua kali lebih berat. Bebatuan mungil halus menjadi pijakan. Kantuk belum hilang, jadi dia hanya mengikuti pria di depannya.

“Nah kunci!” tangan Kayle mengulurkan kunci, warna perak dihiasi gantungan kerang. “Mulai sekarang, sampai urusan kamu dan ayah selesai ini bakalan jadi tempat tinggal kamu.”

Elise mengangguk dan menerima kunci. Pintu kayu bercat putih ada di depannya.  Begitu pintu membuka, kegelapan menyambut, sontak dia melompat mundur menubruk tubuh Kayle di belakang.

Kayle menyentuh bahu Elise, menggesernya ke samping, dia masuk dan menyalakan lampu.

“Besok kamu bisa nemuin Ayah di samping,” ucap Kayle lagi.

Elise melihat keletihan di wajah Kayle, rasa bersalah melintas kilat bak sabetan pedang tajam. “Kamu?”

“Aku bakalan langsung balik ke kota.”

“Nggak bisa besok aja?”

Kayle menggeleng. “Ada kerjaan penting yang nggak bisa aku tunda.”

Tangan Elise terangkat menutup mulut. Betapa gila dirinya melemparkan seseorang ke dalam kesukaran ini.

“Nggak apa-apa, El. Santai aja.” Senyuman terukir di wajah Kayle, ketulusan mengalir darinya.

“Maafin aku ….”

Kayle mengangguk. “Aku balik dulu, ya. Jangan lupa kunci pintu.”

“Kamu benaran harus balik, apa nggak istirahat dulu. Atau aku buatin sesuatu dulu?”

Kayle menggeleng. “Mungkin … aku berangkat pagi.”

“Ya udah kamu istirahat di kamar, aku udah nggak ngantuk aku bisa santai di sofa.”

Lagi Kayle menggeleng. “Udah ya, aku berangkat. See you later, El.” Kayle melambai dan berjalan ke luar. Elise mengikuti.

Kayle berhenti dan berbalik, mengusirnya masuk lagi ke dalam rumah. “Sana istrihat, jangan sampai besok kamu bangun dengan mata panda, jelek tahu.”

“Take care,” pesan Elise. Berat sekali melepaskan Kayle pergi.

“Siap. Dah!” Kayle menepuk kepala Elise, sebelum berputar menuruni tangga kayu dan menghilang dalam kegelapan.

Elise masuk kembali, dia mengunci pintu. Matanya memindai ruangan, ruangan tamu dengan sofa abu-abu, dapur mini di bagian samping, dan kamar tidur. Tubuhnya benar-benar letih, dan kantuk belum beranjak pergi. Kakinya terlalu malas untuk masuk kamar, dia memilih malam ini tidur di sofa saja. Melupakan semua kejadian hari ini.

_*_*_*_


Hangatnya Mentari pagi mengusik Elise. dia bangun langsung duduk bersandar di sofa, mengucek mata. Tubuhnya mendadak bergidik. Suara yang sudah lama tidak dia dengarkan mengalun lembut di telinga.

“No way!” Elise bangkit serentak berlari menuju pintu membukanya tergesa-gesa.

Matanya berkedip, senyuman melebar perlahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Berapa meter di depan, permadani biru berkilau tertimpa cahaya bola purba membentang.

“it’s f****** beautiful!” pujian terlempar dari mulutnya. Elise menarik gagang pintu, dan berjalan tanpa alas kaki. Halaman tempat tinggal sementaranya cukup panjang. Begitu sampai di ujung baru terlihat jelas, pantai di bagian bawah. Tidak begitu tinggi memang.

“Nggak ada rencana buat ngelompat kan?”

Suara hangat itu membuat Elise berbalik. “Kayle. Aku kira kamu benaran jadi pergi semalam.”

Kayle mengangkat bahu, kedua tangan membuka. “Here I’m. kan semalam aku bilang mungkin.”

“Semalam kamu tidur ….”

“Tuh, puncak pohon kelapa.” Mata Kayle mengarah pada deretan pohon kelapa di samping mereka.

“Ah, terus bangun-bangun langsung berkokok.”

“Ye, emang aku ayam?” Kayle mendesis. Angin menerpa, rambut Kayle tertiup embusan angin laut.

“Ayam jadi-jadian.”

“Senang banget ye, ngintimasi orang. Tadi nggak ngaca kan, nggak sadar dong kalau sekarang tampilannya mirip singa insomnia.”

Elise tidak tersinggung dengan ejekan Kayle. Lebih baik baginya terlihat sebagaimana dirinya sekarang.

“Mandi sana! Entar aku anterin ke tempat Ayah.”

“Sejam lagi, aku masih pengen ngeliat lautan sampai puas.”

“This place is yours now.”

Elise masih terpaku pada lautan.

“Please, El! Aku harus balik buat ….”

“Delapan enam!” Bergegas dia berlari masuk. Tiga puluh menit, dia selesai. Lebih panjang dari waktu biasa, karena dia harus melindungi luka-lukanya dari air dan juga kepayahan mengeringkan rambut dengan hair drayer. Benda itu tersedia di kamar mandi.  Ditambah lagi dia kepayahan menyisir rambut dengan telapak tangan terbalut perban. Ujung-ujungnya, dia menyerah dan mengikatnya saja. Baju kaus putih dan celana pendek hingga lutut menjadi pakaiannya.

Tempat tinggal Andreas, Ayah Kayle tidak begitu jauh hanya berjarak lima meter dari tempat Elise. Pria pengusaha itu tengah duduk menikmati sarapan bersama seorang wanita seumuran Ibu Elise, dengan dandanan lengkap. Rasa minder muncul mendadak mengingat wajahnya sendiri yang hanya diberi jel lidah buaya agar tidak kering.

“Pagi, Celistia,” sapa Andre. Senyuman lebar di wajahnya.

“Pagi, Pak. Bu!” sapa Elise sopan.

“Mah, kenalin Elise. Penulis kisah masa lampau Papa!” ucap Andreas pada Ibu Kayle.

Elise mengulurkan tangan. Mata Ibu Kayle seolah berisi peralatan memindai, dia menelusuri tubuh Elise dari kaki sampai rambut sebelum akhirnya balas menjabat. “Sofia. Jangan kecentilan ya, sama anak dan suami saya.”

Elise segera menggeleng dan tertawa kecil. “Nggak kok, Bu. Lagi pula, suami Anda sudah mengatakan saya bukan tipenya.” Sengatan rasa sakit merambat di bahu kanan.

“Jangan jujur banget jadi orang!” bisik Kayle.

“White lie is not work for me!” balas Elise, melotot ke arah teman kelas SMA-nya itu.

“Jadi kapan kita bisa mulai, Celis?” tanya Andre.

“Elis, Pak,” ralat Elise.

“Celis lebih cocok!”

“Pak, tolong itu nama panggilan saya!” Elise menggigit bibir melihat wajah Ibu Kayle memerah. Ini tidak akan berjalan lancar.


“Becanda. Emang ya anak muda jaman sekarang. Kita bisa mulai sekarang.”

“Saya ambil peralatan menulis dulu, Pak, sama sarapan.”


“Ok!”
“Kayle juga mau pamit, Mah Pah. Titip Elise ya.” Kayle menyalami orang tuanya. Elise berputar, perutnya keroncongan.

Tangan Kayle melingkar di bahu Elise. “Aku pamit ya, sekarang benaran pergi loh. Jangan cariin!”

“Kapan balik ke sini?”

“Kenapa? Kangen?” Tawa riang Kayle pecah.

“Nggak, cuman nitip beliin cokelat.”
“Honestly, aku nggak bakalan balik lagi ke sini. El, minta tolong ya, jangan sampai Ayah dan Ibu aku berdebat panjang lagi.”

“Jangan ngarep sama aku dah kalau itu, orang tua. Aku iki anak baru lahir kemarin.”

“Udah segede gini!”

“Itu ungkapan bukan apa sih?” Elise mengentakkan kaki.

“Udah ngabarin keluarga kamu belum?” tanya Kayle.

Elise sontak berhenti dan berbalik. “Lupa! Dari semalam nggak ngecek sama sekali.”

“Kebiasaan. Dah ya, aku pamit, nanti aku singgah ke rumah kamu.”

“Kayle, cukup bilang aku baik-baik aja. Nggak usah bilang aku di mana.”

Kayle ragu. Elise menatap penuh harapan.

“Ok!”

Elise menarik napas lega. Pernikahan Deo berlangsung tiga minggu lagi, baiknya memang dia tidak usah ada di sana.










Love Back TAMATKde žijí příběhy. Začni objevovat