Dear

5K 368 14
                                    

“Kak Ethan,” panggil Elise lembut dari depan pintu kamar sang pacar. Beberapa menit lalu, pintu itu berdentum keras. “Buka pintunya dong!”

Belasan tahun lalu, Ethan melakukan hal yang sama, dia menolak berbicara dengan Elise setelah menumpahkan jus jeruk di atas kanvas lukisannya. Mereka masih sangat kecil waktu itu. Ethan merajuk menolak bicara sampai dibawakan tawaran es krim.

“Fucking door!” Telapak tangan Elise menghantam pintu bercat putih itu. Sumbu kesabaranya sudah habis terlalap. Seperti ini barang kali rasanya saat dia menolak bertemu dengan Ethan.

“You wanna what?” kepala Ethan menyembul dari balik pintu. Rambut hitam sebahunya terikat setengah.

“Bicara.”

“Enggak, kamu barusan bilang sesuatu yang diawali dengan huruf ‘f.’”

Tangan Elise mendarat di kepala. “Jangan mikir macam-macam ya!”

“Ya udah!” pipi Ethan mengembung, bibirnya kembali mengerucut seolah mengejek Elise, setelahnya menutup pintu kembali.

“Kak Ethan!” Nada suara Elise menajak lagi.

“Password please!” balas Ethan dari dalam.

“Mana aku tahu!”

“Jahat!”
Elise menarik napas, menekan dada. Perlahan tanganya memutar gagang pintu, tidak terkunci, dia dikerjai dari tadi.

Kamar Ethan kosong, hanya percikan air dari kamar mandi yang bersuara. Elise masuk ke dalam. Kondisi kamarnya masih sama saat dia sakit setelah insiden di rumah sakit itu. Ada hal berbeda di atas nakas, bingkai foto. Ia mendekat, melihat isinya. Seulas senyuman malu tercoreng di bibir, itu foto mereka berdua dalam pose konyol, saat yang sama ulang tahun Nathan.

Ponsel Ethan di atas kasur, berdering.

“Kak Ethan, ada telpon nih.”

“Bisa bantu angkat dulu?” Ethan menjawab dari kamar mandi.

Elise meraih ponsel, melihat nama yang tertera di layar, Keysha.

“Ini Elise, Kak Key. Kak Ethanya lagi di kamar mandi.”

“Pas banget dong, emang aku mau ngomong sama kamu.”

“Masa, ada apa ya, Kak Key?”

“Ini El, aku sama suami lagi nyiapin kamar bayi. Aku mau dinding kamarnya itu dilukis. Bisa kan?”

“Bisa banget. Kak Key maunya kapan?”

“Kapan aja kamu siap sih. Lagian usia kandungan aku baru beberapa bulan ….”

“Loh, Kak Ethan bilang Kak Keysha baru nikah bulan lalu di Bali?”
“Iya. Tahulah kamu, MBA. Kabarin aku, kapan kamu bisa ngelukis. Bye El.”

Elise menutup panggilan. Dia melihat layar ponsel Ethan. Wallpapernya foto waktu acara pertunangan Deo. Elise ingat, dia sedang membicarakan lelucon konyol pada Jojo waktu itu.

Elise meletakan kembali ponsel Ethan. Dulu ada lukisan langit malam di plafon kamar. Ia memudurkan bahu lalu berbaring di atas kasur, lukisan itu sudah digantikan oleh warna abu-abu polos. Banyak hal terjadi di masa lalu, di kamar ini. Dia tidak bisa mengingatnya sekarang, karena Nathan akan ikut menumpang. Ia mengayunkan kaki, siap bangun. Namun, tangan Ethan menahanya. Entah bagaimana dia sudah berbaring di sisi Elise.

Ethan baru selesai membasuh muka, jejak air masih terlintas di bagian atas jidat, dan sedikit pada hidung mancung, kurusnya.

“Kak Ethan aku minta maaf soal tadi.”

“Tapi kamu bilang mau putusin aku!” wajah Ethan datar.

“Bukan itu maksudnya. Aku nggak mau kita putus.”

“Emang kamu pikir aku mau?”

“Lah tadi?”

“Aku cuman mau mancing kamu ke sini aja, biar bisa berduaan, kangen.”

Elise menjentik ujung hidung Ethan kesal lalu bangun dari tempat tidur. Ethan mengikuti, dia langsung melingkarkan tangan ke pinggang dan menyadarkan kepala pada bahu Elise.

“Jadi kita gimana?” tanya Elise. Agaknya susah juga jika sikap Nathan masih seperti tadi.

“Aku juga bingung. Aku nggak bakalan pernah ngerelain kamu buat Nathan ya!” Pelukan Ethan makin erat.

“Pokoknya, caranya harus dewasa.” Elise menatap wajah Ethan serius.

“Dewasa? Berarti itu ….”

“Kak Ethan!” potong Elise kesal, bukan itu yang dia maksud.

“Ya, kamu kan bilang cara paling dewasa, berarti, kamu harus mengandung dulu. Nathan bisa apa coba?”

“Jangan pernah mikir kaya gitu ya!” jari telunjuk Elise mengarah ke ujung hidung Ethan.

“Becanda, sayang.” Ethan menurunkan tangan Elise. “Lelaki yang baik itu, yang bisa ngejagain pacarnya. Dan bakalan ngejagain kamu. El, sebenarnya aku pengen kita nikah aja. Tapi, kita butuh biaya. Utang aku sama kamu aja belum lunas.”

“Kak Ethan benaran pengen kita nikah?”

Ethan mengangguk dengan mata terpejam, tampang lucu sekali. Elise tergelitik dan mengarahkan tangan mencubit pipi pacarnya. Ethan membalas, dengan sebuah ciuman.

“Kita bisa nikah, dia gereja aja, nggak usah dibuatin pesta. Yang penting kita sudah sah sebagai pasangan di hadapan Tuhan.”

“Nggak mau, aku sebagai anak sulung masa nggak diadain acara. Punya restoran juga.”

“Jual aja restorannya,” lontar Elise.

“Masa dijual? Kalau dijual, selesai kita nikah, aku bakalan ngasih kamu makan apa?”

“Makan batu!”

“Ih!” Ethan mengecup pipi Elise. “Nggak sabaran amet ya, nikah sama Chef tampan ini.”

“Jadi, dimaafin kan … soal tadi?”

“Aku nggak bisa marah sama kamu, El. Cemburu pasti.”

Elise tertawa akhirnya dia bisa merasa lega. “Udah, yah. Aku balik ke rumah. Entar di kira macam-macam lagi!”

“Bentar lagi, dong. El. Dikit aja,” bujuk Ethan.

“Kak Ethan!”

“Call me Baby.”

“Darling,” goda Elise.

Ethan mempererat pelukan.

“Udanya,  aku ada kerjaan. Please!”

“Jadi, kamu lebih mentingin kerjaan dibandingkan pacar kamu yang tampan ini?”

“Enggak loh!” Elie tidak mampu menahan tawa melihat rupa Ethan, dia boleh terlihat laki banget di luar sana, saat bersamanya kok malah jadi begini. Beberapa menit setelahnya dengan beberapa bujukan manis, Ethan mengantar Elise pulang. Bayangkan saja, mengantar lima langkah ke samping.

Kembali kekesibukan sebagai editor, Elise berusaha fokus pada tulisan di layar. Ada beberapa pesan masuk dari Ethan, salah satunya, “kalau begadang telpon aku, biar aku temanin.”

Setengah sebelas malam, ponsel Elise berdering. Hanya deretan angka tanpa nama tertera di layar.

“Siapa ya?” tanya Elise.

“Ini Elise kan?”

Elise mengenali suara perempuan itu dengan sangat baik. Dia segera menurunkan ponsel dari telinga, siap mengahiri panggilan.

“El, please jangan tutup telponnya. Aku pengen kamu sama kamu besok. Kamu tentuin aja tempatnya di mana. Aku mohon, El!” Karin begitu bicara dari seberang.

“Mau ngapain? Belum cukup permaluin aku?”

“El, please! Ketemu sama kamu adalah hal terakhir yang aku mau.”

Wait, hal terakhir? Elise mencoba mencerna kalimat itu. “Ok. Restoran Kak Ethan ya, jam sebelas siang?”
“Ok. See you.”

Ada apa dengan Karin?








Love Back TAMATWhere stories live. Discover now