Kill Me Now

5.3K 481 5
                                    

Dunia Elise berubah. Dia baru keluar dari kenyamanan dan terperangkap dalam botol kaca.  Dari pagi, Elise bolak-balik dari restoran ke toko bangunan membeli barang-barang yang diperlukan untuk memperbaiki dapur. Dia belum sempat menemui Ethan hanya membayar biaya klinik untuk pengobatan. Dia memang belum tahu bagaimana keadaannya dan apa yang terjadi pada pria itu semalam, hanya saja rasa bersalah terus memerintahkan didirinya untuk mempertanggung jawabkan semua yang sudah dia lakukan.

Api menyambar langit-langit dapur, hingga menghitam. Meski tidak terbakar karena bahannya anti api.  Hanya itu memang kerusakan yang terjadi. Beruntung penyimpanan gas agak jauh hingga ledakan yang lebih besar tidak terjadi. Penyebab suara berisik semalam adalah tumpukan es yang lengser ke dalam minyak panas.

Dia jelas marah besar, Elise tahu itu. Dia bertemu dengan Ibu Ethan berbicara sebentar dan segera menuju kamar di lantai dua. Pintu kamar Ethan membuka sedikit, Elise mengintip.

Pria itu di kamarnya duduk bersandar di tempat tidur. Tangan kananya berbalut perban dan digendong seperti bayi. Tangan kiri sibuk memainkan ponsel.

Elise menggigit bibir, kedua tanganya terkepal, bergetar.

“It’s ok, Elise! Selesaikan!” dia menarik napas, lalu mengetuk pintu kamar.

“Masuk!” ucap Ethan.

Pintu didorong perlahan hingga akhirnya membuka lebar.

“El? Aku kira Key.”

Dia tidak menginginkan kehadiranku di sini. Elise menekan dada dengan kedua tangan. “Aku minta maaf soal kejadian semalam. My bad.”

“Hm!” hanya itu yang keluar dari mulut Ethan, tanpa menoleh sama sekali pada Elise.

“Aku bakalan bertanggung jawab, aku bakalan nyiapin semua yang Kak Ethan butuhkah sampai keadaan kembali seperti semula.”

“Semula? Are you kidding me?” Ethan membanting ponsel di kasur.

Kegugupan Elise makin menjadi-jadi. Otaknya yang biasa cepat berpikir menjadi beku. Dia tahu dia salah, tidak ada pembelaan.

“Ok.” Ethan menarik napas panjang. “Bisa buatin aku jus semangka nggak?”

Anggukan cepat Elise berikan, tanpa kata dia memutar tubuh turun ke bawah.

“Kamu baik-baik aja, El?” tanya Ibu Ethan.

“Iya, Tante. Em, Tante punya semangka? Kak Ethan minta dibuatin jus.”

“Yah, kayanya yang semalam abis. Tante ke pasar aja deh beliin.”

“Jangan Tante, biar El aja.”

“Loh, El. Ethan kayanya ngerjain kamu doang. Nggak kamu nggak boleh jadi pesuruhnya!”

Elise memaksakan diri tersenyum. “Sekali ini aja, Tante. Ini El yang salah. Nggak apa-apa.”

Ibu Ethan tersenyum lebar. “Yau dah, terserah kamu deh. Nanti jusnya dilebihin ya, Tante juga kangen sama jus buatan kamu, jangan kebanyakan gula tapi, kaya dulu, Tante diabet.”

Elise mengangguk. Dia berlari ke rumah. Semangka yang baru dia beli kemarin harusnya masih ada. Malangnya, saat dia tiba ada Jesika dan Deo di dapur, mereka tengah membuat es buah menggunakan seluruh buah-buahan yang ada di kulkas. Dia hanya bisa melafalkan doa kesabaran sebelum menarik Jojo yang ada di ruangan tamu untuk mengantarkannya membeli buah. 

Butuh waktu empat puluh lima menit bagi Elise menyiapkan jus dibantu sepenuhnya oleh Jojo yang mewanti-wanti harus mau membantu tugas kelompok mereka besok sore. Begitu selesai, dia kembali ke rumah Ethan.

Ibu Ethan sampai tertawa melihat betapa kacaunya penampilan Elise.

“Udah sana, antar deh jusnya ke atas. Nanti baru Tante jewer telinganya, udah kaya orang ngidam aja dia.”

Elise menarik napas panjang menenangkan diri. Dia lalu menaiki tangga dan berhenti di depan kamar Ethan mendengar suara tawa dari dalam.

“Seriusan dia pernah nembak kamu dulu? Si Elise?” suara Keysha.

“Iya, dulu banget sih. Aku sampai kaget, nggak nyangka aja karena aku baik sama dia eh, dianya salah ngeartiin.”

“Dan sejak kamu dekat sama dia lagi emang benarkan kamu dapat sial terus. Apes banget!”

“Iya, sih harus ada tambahan biaya buat renovasi. Elise itu kaya kutukan berjalan, diaman ada dia ya pasti sial!”

Lahar panas mengaliri dada Elise. Bagaimana pun dia berusaha menarik napas untuk mendinginkan diri, dia gagal. Kalimat lama mengenai dirinya pembawa sial keluar lagi dari mulut Ethan. Dia pikir kalimat itu tidak akan pernah terucap lagi. Dulu mereka hanya anak-anak, sekarang sudah dewasa, mengapa harus terulang lagi. Dia membeku sesaat sebelum melangkahkan kaki, mendorong pintu kamar Ethan.

“Elise,” sapa Kesya. Jelas dia pura-pura bersemangat.

“Jusnya!” Elise meletakan jus di atas nakas samping tempat tidur Ethan. “Permisi!” Elise menyeka air mata yang kurang ajar jatuh tanpa dia kendalikan. Tanpa menunggu tanggapan, dia berbalik ke luar.

Nathan muncul saat Elise menuruni tangga, dia hanya sempat mengangguk membalas sapaan pria itu dan berjalan langsung pulang, masuk kamar dan kunci pintu. Sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah merasa sakit begini, harusnya dia tidak perlu menjalin hubungan dengan Ethan atau Nathan lagi.

“Kak El di dalam?” Jojo berteriak dari luar.

“Iya!” Elise berusaha terdengar senormal mungkin. Keluarganya sudah tahu mengenai insiden semalam.

“Kak Jesica mau ketemu!”

“Aku cape, Jo, mau tidur.”

“Makan malam dulu, lah Kak El.”

“Baru jam lima Jo!”

“Canda!”

Sesak menekan dada. Elise menepuknya berulang kali berharap kelegaan datang. Belum sempat matanya kembali terpejam, ketukan keras terdengar.

“Elise, buka pintu!” itu suara Deo.

Mau tidak mau Elise bangun membuka pintu.

“Kamu punya masalah apa sih sama Jesica? Gara-gara semangka kamu dimakan aja kamu cuekin dia?”

“Bu ….”

“Kamu tuh kaya anak kecil tahu nggak, mendingan juga kamu nggak usah tinggal di rumah!”

Tekanan ini makin menjadi-jadi. “Ok! I’m leaving!”

Elise membating pintu kamar di depan Deo. Dia meraih ransel di dinding mengambil pakaian di lemari. Ponsel dan uang. Dia tidak tahu akan ke mana, intinya keluar dulu dari rumah. Setelah tiba di jalan, dia membelokkan kaki di taman kompleks, duduk di bangku taman. Di bagian paling tersembunyi, menenangkan diri.

Ponselnya berdering. Bukan orang rumah, sahabat karib Elise di jaman SMA, Erik.

“Kamu nggak lupakan besok kita reuni?” sembur Erik tanpa basa-basi, selalu sama.

Reuni SMA? Pikir Elise. Udangnya sudah datang sebulan yang lalu.

“Bengong berari lupa! Nggak berubah ni anak!”

Elise hanya tertawa kaku.

“Pokoknya besok datang! Iya kan? Udah lama nggak ketemu loh!”

“Iya, besok aku datang. Jam delapan di aula sekolah kan?”

“Itu tahu. See you, besok sekaligus aku kenalin sama istrti aku. Bye Kepala badak!”

Elise menurunkan ponsel. Kalau begini ceritanya dia tidak bisa pergi jauh, mungkin menginap di wisma saja dulu. Waktunya mencari tempat menginap.

“Mau ke mana hayo?” Ayahnya dan Ester berdiri menghadang Elise saat dia keluar dari taman.

Dam! Dia tidak menyangka mereka akan menemukannya atau hanya kebetulan belaka.

“Ester, sana duluan. Ayah mau bicara sama El.”

Ester mengangguk. Dia menatap Elise sekilas lalu bilang, “mampus!”

Elise hanya memutar bola mata dan diam menunggu ayahnya memarahi.

“El, Deo itu mau tunangan minggu depan, Kakakmu itu agak kawatir, takut kalau semua tidak berjalan lancar. Masa gara-gara semangka, kamu abaiin calon ipar toh.”

“Aku nggak ada maksud kaya gitu, Yah. Cuman, tadi pikiran aku tertekan banget. Aku udah nggak tahu lagi harus bagaimana.”

“Masalah Ethan?”

Elise mengangguk.


“Udah, sekarang udah selesai kan? Kita pulang.”

“Kak Deo nggak pengen aku di rumah.”

“Iya. Kamu toh bisa ngilang kaya ninja, diam aja di kamar sampai Kakakmu itu redah marahnya. Nanti Ayah yang ngatrin makan ke kamar kamu, ok?”

Elise mengangguk, akhirnya pulang ke rumah. Dia berharap bisa berjalan dengan tenang. Namun, di depan sana ada Nathan, yang kelihatan menanti mereka tiba di sana.

“Yah, aku nggak mau ngobrol sama Nathan,” bisiknya pada sang Ayah.

“Sapa aja, toh.”

“Nggak mau, sekali ini aja selamatin Elise!”

“Ya, udah. Nanti Ayah ajak ngobrol kamu lari masuk rumah.”

Rencana ayahnya terlaksana, meski dengan jelas Nathan ingin berbicara. Namun, Elise sendiri belum siap, tidak sekarang. Mereka akan bicara nanti untuk mengakhiri semua kekacauan ini.

















Love Back TAMATWhere stories live. Discover now