Mr. Devil

10.3K 763 45
                                    

My room
My kingdom
My rule

Tulisan itu ada di depan kamar Elise, ditulis dengan tinta putih pada cat kayu abu-abu. Dia sendiri yang membuatnya menggunakan pilox. Tanggapan orang lain di rumah tidak lebih dari satu, gadis gila. Well, reaksi pertama jauh lebih meledak sebenarnya.

Elise memiliki semua yang dia perlukan di dalam kamar. Mie instan, buku bertumpuk, komputer, jajanan sehat. Dia masih waras jadi masih memikirkan Kesehatan. Intinya semua benda di dalam kamar Elise adalah apa yang dia butuhkah termasuk penghalus lada, dia bahkan tidak ingat kenapa membelinya. Sekarang di dalam ruangan sempit penuh peralatan itu, dia merapatkan jidat di dinding berusaha mendinginkan wajah yang memanas karena ulah Ethan. Satu hal yang tidak Elise sadari setelah melakukan Tindakan keras pada Ethan, Deo ada di balik panggunya menyaksikan drama kecil mereka.

“He deserves to get that!” ucap Elise. Dia berusaha tersenyum sedangkan dada mengembung oleh kedongkolan.

“Setan cerewet,” itu komentar Ethan sebelum Elise keluar.

Elise menekan kaki berlapis sandal jepit biru yang sudah sangat tua, pernah putus pula sekarang bagian depannya direkatkan dengan jahitan senar. Dia berbalik melepaskan kaca mata agar tidak bisa menangkap rumah Ethan. “Koreksi, aku bukan setan biasa, I’m  Evil Devil! So shut up you fffffff! Serah lu, Deo!”

Elise menarik napas, membuka jendela kamar yang besar membiarkan angin masuk.  Di lantai satu, keluarganya sedang berkumpul dan Elise sudah jelas menjadi selebriti, bahan pokok gosip mereka sekarang. Ibunya tidak akan memaksa Elise untuk turun lagi kecuali saat harus membersihkan rumah dan mencuci piring.

“Numb” lagu Linkin Park mengalun dari ponsel yang tergelak di bawah kolong tempat tidur. Elise menarik napas, lalu meraih sapu yang ada di pojok kamar kemudian menarik ponselnya. Semalam dia memang sibuk mengedit video dan gawainya itu sedikit merusak konsentrasi jadi harus disingkirkan sesaat. Ponsel Elise sudah sangat tua, layarnya sudah retak dan bagian belakang terkelupas, batterynya  juga bermasalah. Dicarger berjam-jam paling muat tiga puluh persen.

Nama Ester tertera di layar, segera Elise menjawab.

“Kak, El. Tolongin dong. Tadi aku kepagian datang ke rumah Meri sampai lupa nyiapin kado.”

“Truzzz?” balas Elise setengah menguap.

“Di lemari pakaian aku ada tuh baju kaos putih masih baru. Kak Ell ….”

“Gambarin wajah Meri?”

“Ide bagus tuh, Kak. Padahal Ester cuman pengen kutipan injil aja tadi. Ya udah, tolong buatin yah, yah. Nanti sore baru aku kasih ke Meri. Bye, bye Kakakku tercinta.”

Elise menghela napas, dasar adik tidak pengertian hobinya selalu saja dadakan. Melukis mungkin akan membuatnya melupakan masalah mengenai Abang Tetangga sialan di sebelah.

Elise mulai menyibukkan diri, menyalakan komputer, mencetak salah satu foto Meri dan menyiapkan palet lukisan. Elise bisa melukis setelah Latihan bertahun-tahun lamanya, dia tidak memiliki bakat alami kecuali suara falls saat menyanyi. Yah, Elise menyebutnya bakat, karena itu dia tidak perlu ikut paduan suara seperti anggota keluarga yang lain. Benar memang dalam keluarganya she’s the evil between the angel.

Elise naik ke atap, mulai bekerja. Sejam dihabiskan untuk membuat sketsa kemudian koreksi lalu baru dia mulai memoles warna pada lukisan. Dia selalu lupa waktu saat melukis.

“Woy! Tasmanian Devil!” Deo muncul tanpa diminta.

“Ngapain lagi? Minta maaf sama …  geez, i forget that already,” jawab Elise tanpa menoleh.

Love Back TAMATWhere stories live. Discover now