Kebetulan Atau Memang Takdir

4.8K 393 8
                                    

Menghindar apa lagi lari tidak lagi menjadi pilihan untuk Ethan. Sosok itu harus dihadapi dengan berani. Satu hal yang perlu Elise pegang adalah kendali diri, jangan sampai perasaan mengambil alih dan mengacaukan hubungan mereka sama seperti dulu. Meski, dia harus mengakui, rasa ... bisa dikatakan cinta tumbuh seperti bola berduri nan lentur, terus tumbuh di dalam, menggelinding dari satu sisi terpental ke sisi lain, jejak luka mengekor di belakang.

Elise membuat keputusan, dia harus terus di dekat Ethan dan mencoba membiasakan diri sebagai hubungan tanpa melibatkan perasaan. Kapan pun itu.

Saat istirahat sejenak, buru-buru dia mengetik pesan singkat pada Deo matanya tidak begitu fokus lantaran harus terbagi dengan dinding. Isinya, "Kakak pulang jam berapa? Bisa jemput nggak, aku pulang setengah sebelas." Di kirim, setelahnya, Elise memasukkan gawai ke dalam tas.

Bekerja di rumah Daniel dia mendapatkan semua kebutuhan dan kenyamanan yang diperlukan, bahkan Ibu Daniel secara paksa memberikannya uang jajan. Dia menengok pekerjaan Elise seusai makan siang. Terkesima. Wanita itu pencinta seni sedangkan isi kepala Elise terbatas pada warna dan gores lebih banyak mendengar.

Jam sembilan malam, lukisan Darth Vader dalam pakaian hitam dan memegang lightsaber setengah jadi. Cukup cepat karena beberapa orang ikut membantu, pekerja di rumah Daniel. Diseleksi satu-satu oleh sang pemilik rumah.

Ponsel Elise berdering nyaring. Ia masih berdiri menggunakan tangga, malas sekali kalau harus turun. Daniel menawarkan diri untuk mengambil, dia menolak dan mengatakan biarkan saja. Tak sampai lima menit, ponsel kembali berdering. Perlahan, Elise turun.

Nama Ethan tertera di layar.

"Aku pulang jam sepuluh lewat, kamu nggak apa-apa nunggu?"

"Hah?" Elise melogo, kepada siapa tadi pesannya terkirim?

"El, kamu nggak becandakan minta aku jemput?" tanya Ethan lagi.

"Aduh, maaf. Tadi harusnya aku ngirimnya ke Deo. Tapi, kalau Kak Ethan nggak keberatan, boleh deh." Sebuah pilihan berani, Elise ucapkan.

"Ok. Kamu kirim alamatnya, nanti kalau udah di depan aku telepon kamu lagi. Jangan matiin ponsel!"

"Kalau kilat pasti mati."

"Aku serius Celistia!"

"Canda. Ok, bye!" Elise menekan tombol merah lalu menepuk jidat keras. Kebodohan macam apa yang sudah dia lakukan.


Diakui secara jujur pada pemilik rumah, besok, dia tidak bisa datang pagi. Letih sekali rasanya melukis dinding lebar dan juga tanganya makin sakit melilit. Elise segera pamit saat Ethan menelepon. Dia diantar sendiri oleh Daniel ke depan.

Gemerlap lampu taman warna-warni menghiasi halaman luas rumah Daniel. Kembali, Elise merasa seperti orang yang lama mengasingkan diri ke tengah hutan, wajar saja Ester yang jarang terpesona ikut tergoda.

"Besok harus masuk sekolah," ucap Elise pada Daniel sebelum melesat ke luar dari gerbang raksasa.

"Besok masuk tapi bolos aja," balas Daniel.

"Wah! Kalau kamu bolos proyek aku hentiin!" ancam Elise.


"Iya, Kak El! Nah itu mobil pacarnya sampai." Tangan Daniel menunjuk ke mobil yang mendekat.

"Pacar alismu itu!" dengus Elise.

Ethan bahkan tidak tersenyum saat Elise membuka pintu mobil dan masuk. Rupa itu melenyapkan lekukan manis yang sudah terpajang di wajahnya.

"Sorry ...," ucap Elise sembari memasang sabuk pengaman.

"Maaf buat apa?"

"Maaf udah nyita waktunya buat ngejemput ...." Kepala Elise memilah kata sebagai lanjutan, mendadak otaknya kosong.

"Nggak apa-apa kali, ini juga searah sama Resto. Jangan gitu ah, jelek tahu." Ethan menarik pipi Elise dan tertawa.

"Abis Kak Ethan gitu sih, senyum dikit napa!"

Ethan kembali tertawa. Perlahan, dia mulai melajukan mobil. "Tangan kamu gimana?"

"Masih sakit."

"Kok maksa kerja sih?"

"Ya, gimana aku kan perlu uang juga."

"Kamu perlu berapa? Aku usahain deh."

"Masih bisa cari sendiri, makasi! Lagian tangan aku perlu krim otot aja, paling beberapa hari ke depan sembuh," jawab Elise tenang.

Kebisuan mengambil alih sesaat.

"Kamu sama Nathan gimana?"

"Gimana? Kita nggak apa-apa."

"Dia ngomong sama aku kalau ...."

"Tahu nggak, aku lagi ngerjain lukisan Dart Vader gede banget!" Elise merentangkan tangan, detik berikutnya dia mengucapkan sumpah serapah, sengatan rasa sakit kembali menikam.

"Kamu nggak mau ngomongin Nathan?"

"Rasanya emang nggak perlu aja. Aku sama Nathan ya begitu, fine-fine aja. Cuman kemarin karena Karin mood aku jadi hancur lebur."

"Cemburu sama Karin?"

"Cemburu?" Ulang Elise. Dia menepuk jidat dan mengempaskan punggung ke sandaran kursi mobil. "Kak Ethan kenapa terus aja ngusik itu sih?"

"Cuman nanya."

"Mulai detik ini, janji sama aku nggak nanyain itu lagi?" Jari kelingking tangan kiri Elise mengulur. "Pinky promise!"


Ethan tertawa datar. "Promise!"

Jari mereka bertaut beberapa saat, lalu seperti ada gelombang kuat mereka memisahkan diri.

Makan malam di rumah Daniel adalah yang termewah, dimasak oleh koki khusus. Sayangnya, di jam seperti ini, perut Elise mendadak tertendang rasa lapar, bergemuruh seolah belum diisi dari pagi.

"Lapar," desisnya sembari menepuk perut.

"Kamu nggak minta aku masakan?"

Pertanyaan Ethan, menyentakkan Elise. Dia hanya mengeluh pada diri sendiri. Mungkin seharusnya dia tidak menyuarakan hal itu. Kepalanya mungkin tengah disetir suasana.

"Nggak!" Elise buru-buru menempelkan tangan di kedua pipi, hangat sekali. Matanya nyalang ke luar, mencari mini market 24 jam untuk membeli bahan makanan yang bisa dia masak sendiri di rumah. Ada jaraknya beberapa meter di depan.

Ponsel Ethan berdering. Dia menepikan mobil. Elise melirik, Keysha. Mengingat malam pertunangan Deo, Keysha menjadi prioritas bagi tetangganya itu baiknya dia langsung turun sebelum diusir ke luar. Elise membuka sabuk pengaman. Rumah mereka masih berjarak tiga puluh atau empat puluh meter lagi.

"Aku turun di sini aja!" Dia keluar tanpa menunggu jawaban dari Ethan. Segera setelahnya dia memacu kaki, menuju mini market.

"Baka!" Jeritnya melepaskan gundah di dada.

Kasir mini market menyambut dengan senyuman lebar. Elise membalas senyuman itu mencoba ramah. Dia mendekati rak mengambil spageti dan sausnya, juga kornet dan sosis. Tidak lupa beberapa bumbu, jaga-jaga kalau stok di rumah habis.

Beberapa menit dia sibuk di depan deretan permen karet, teman untuk bekerja besok. Elise tidak membawa kantong belanja. Dia juga malas menumpuk plastik. Beberapa bungkusan dimasukkan ke dalam tas, sisanya menjadi tameng dalam pelukan.

Di depan mini market, Ethan bolak-balik di sisi mobil sembari mengacak-acak rambut panjangnya.

Elise ingin segera pergi saja dia pasti ingin mengomelinya dulu sebelum pergi ke tempat Keysa. Namun, malaikat dalam hati memintanya menjadi anak baik.

Ethan menatapnya dengan mulut membuka.
"Elise, kamu bikin panik tahu." Ethan mendekat cepat, lalu memeluknya erat. Yang dipeluk jadi kikuk seperti boneka kayu.

"Mau dimasakin apa? Aku ...."

Elise menggeleng tanpa kata. Dia menunduk.

"Aku masakin, di rumah. Yuk masuk mobil."

Elise menggeleng lagi.

"El, udah malam begini. Dingin, entar flu kamu kumat lagi, ayo!"

"Aku jalan kaki aja. Tadi Kak Keysha telepon kan, udah sana. Makasih tumpangannya."

"Kamu tuh ya!" Ethan menarik daun telinga kiri Elise, kebiasaannya dari kecil. "Selalu aja asik sama pikiran sendiri. Aku jantungan waktu kamu ngelompat dari mobil tahu. Janji, jangan ulangin lagi!"

"Cross my heart!"

Ethan mengalungkan tanganya ke bahu Elise, lalu membuka pintu mobil untuk Elise. Hal yang tidak dia lakukan tadi.

Mobil kembali melaju. Pembicaraan mereka berlanjut hangat lagi saat Ethan menanyakan sandal jepit Elise yang putus hingga tiba di rumah.

"Jadi mau dimasakin apa tadi?" tanya Ethan, saat ini nada bicaranya hangat penuh kesungguhan.

"Laparnya minggat," balas Elise membuang muka.

"El!" Suara Ethan setengah merengek sengaja. "Jangan ngambek dong, please!"

"Udah malam, Kak Ethan sana balik istirahat. Besok jatuh karena kelelahan lagi, aku pula yang disalahin."

Ethan menggeleng. "Kalau aku belum masakin apa-apa buat kamu aku belum bisa tidur."

"Aku udah beli spageti, bisa aku masak sendiri. Lain kali aja, ok? Dah jam segini, nanti berisik. Orang rumah dah pada tidur."

"Kamu lagi ngerjain aku ya? Besok malah lari lagi ngindarin aku." Ethan memegang kedua bahu Elise. Mata mereka beradu, ditambah wajahnya yang pura-pura merenggut.

"Kagak. Ih, Kak Ethan kok jadi melow!" Elise berusaha bergeming. Namun, tatapan Ethan membuatnya membatu.

Ethan menyambar bungkusan makanan dari tangan Elise, juga kunci cadangan di tangannya. Dia membuka pintu. Elise mengikuti tembus ke dapur. Ini akan menjadi malam yang panjang.
















Love Back TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang