Hold On

4.8K 417 3
                                    


Berkeliling bersama Jessica membuat lutut kaki Elise nyeri. Kakak iparnya itu luar biasa loyal dan juga sangat mudah tertarik pada barang imut. Dan dia selalu dengan senang hati membelikan satu untuk Elise.

Memasuki salah satu butik, Jesika menemukan sebuah gaun dan masuk ruangan ganti sedangkan Elise duduk menanti. Dia meraih ponsel dan menyalakan data seluler. Pesan dari Ethan yang masuk, sudah sejam yang lalu memang.

“Makan siang di tempat aku ya.” Tiga emoji senyum mengikuti.

“No money!” balas Elise.

“Aku traktir.” Emoji senyum lagi, tambah banyak.

Elise menekan lima emoji tawa, mengcopynya dan lalu ditempelkan berulang-ulang hingga panjang membentang.

“Serius tahu, tapi nanti jam setengah tiga biar bisa makan bareng sama aku.”

“Keburu jadi jelly ni badan.”

“Ok. See you.”

Elise baru akan membalas tidak akan pergi, Jessica datang meminta pendapatnya mengenai gaun yang akan dia beli.

“El, nanti makan siang gabung sama aku dan teman-teman aku, yah?”

Teman-teman Jessica, kepalanya mencoba mengingat rupa mereka. Sebelum kepalanya sempat membayangkan, dia segera menolak. “Aku janji sama Kak Ethan. Ka Jes ingatkan tadi ada dia di rumah.”

“Kalian udah baikkan?” tanya Jesika, dia duduk di sebelah Elise meraih tangannya.

“Udah.” Elise menatap Jesika. “Kak, Je emang benar waktu aku jatuh di tumpukan gelas  itu dia ….”

“Yap, dia panik banget. Kita udah coba nahan tungguin ambulance, dianya ngotot jalan sendiri keluar. Dia takut kamu kenapa-napa.” Jesika menghela napas, matanya tertuju pada pantulan bayangan di kaca raksasa di depan tempat tunggu. “Cari gaun untuk kamu yuk.”

“Jangan sekarang deh, Kak Jes, nanti aja,” cegat El, kantong belanja di tanganya sudah terlalu banyak, bahkan satu lagi menambah beban, apa lagi setelah melihat bentangan angka di price tag, semua diikuti enam nol.

“Yakin? Ini aku yang traktir. Nggak usah dengarin Deo!” bujuk Jesika.

“Nanti deh, Kak Jes lain kesempatan.”

Jesika memicingkan mata, dia seolah tengah memikirkan balasan Elise. “Ok. Minggu depan kita ke sini lagi.”

“Elise,” suara akrab di telinga.

Elise menoleh, Nathan dan Karin ada di sana. Nathan dalam setelah rapi, pakaian kantoran, sedangkan Karin menggunakan gaun motif bunga-bunga selutut.

“Kok bisa ketemu di sini?” sapa Karin ramah.

Kedongkolan menghitamkan hati Elise dalam hitungan detik. Bisa-bisanya gadis yang sudah menyebarkan berita bohong mengenai dirinya dan juga mempermalukan keluarga sendiri memasang senyuman manis, dan rupa bayi tidak berdosa.

“Hay!” Elise membalas dingin. Dia berusaha menekan semua kalimat makian dan cacian dari dasar neraka yang mulai mendesis bak rambut Medusa di kepala.

“Kamu apa kabar, El?” tanya Karin lagi.

“Baik.” Satu persatu jemari Elise menekuk menyentuh telapak tangan.

“El.” Jesika meraih tangan Elise. “Kamu tunggu aku di kasir bentar, aku lepasin bajunya dulu.”

Elise mengangguk. Deo pasti sudah menceritakan hal ini pada tunangannya juga. Atau memang dia sudah terkenal.

“Aku mau Cobain gaun ini bentar, tunguin ya Nathan,” ucap Karin tepat saat Elise melangkahkan kaki.

Elise melewati Nathan, setelah memberikan senyuman tipis. Langkah Elise tertahan, sikunya mendapat cengkeraman.

“Kamu kenapa?” Nathan menarik Elise hingga mereka berhadapan.

“Nggak apa-apa. Nathan! Aku mau ke depan dulu. Let me go.”

“Setelah kamu baikan sama Kak Ethan, kamu ngabiin aku. Kamu ingatkan, yang mantan kamu itu aku dan dia udah nolak kamu.”

Lingkaran besar kosong terbentuk di kepala Elise. omongan macam apa itu. Dia segera melepaskan tangannya.

“Emang benar kan kalau kamu yang udah nyebabin Nathan mutusin aku!” Karin muncul kembali. Gaun yang hendak dia coba masih ada di tangannya.

“Shut up!” desis Elise.

“Kamu bilang aku untuk diam? Emang kamu siapa?” tantang Karin, nada suaranya menanjak naik. “Emang benarkan kamu ngerebut ayah dan Nathan juga.”

“Bukti kamu apa?” tanya Elise. Dadanya terangkat, sebagian suaranya tertahan di tenggorokan hingga rasannya dia sanggup menelan satu galon air sekaligus.

“Buktinya kamu nggak pernah jalan bareng cowo … kamu sekarang dekat sama Kak Ethan juga?”

“Iya, aku emang dekat sama Bang Ethan terus masalah buat kamu?”

“Tapi aku nggak yakin. Kamu pasti masih sayangkan sama Nathan. Kedekatan kamu sama Kak Ethan nggak artinya.”

“Kata siapa nggak ada artinya?”


“Kalian nggak pacaran!”

Elise benar-benar sudah tidak tahan lagi. “Iya emang kita nggak pacaran. Karena kita langsung lamaran, terus nikah, punya anak bahagia selamanya.”

“Masa?” Karin menyilangkan tangan di dada dengan pose menatang.

“Emang kalau kamu nggak percaya bakalan ngubah keadaan? Enggak sama sekali!”

Elise menengok pada Jesika memberi tanda dia tisak bisa lagi di sini, sembari mengangkat tas belanjaan. Tunangan Deo itu tersenyum dan mengangguk. Dia membalas dengan gerakan bibir tanpa suara, katanya, “ok. Call me!”

Memacu kakinya cepat, Elise keluar dari butik. Dia mencegat ojek langsung ke restoran Ethan. Lupakan saja jam janji mereka, dia hanya ingin makan sekarang.

Masih setengah dua belas siang, restoran belum ramai. Hanya ada beberapa orang di lantai satu. Dia melihat keliling sebentar, di depan kasir, Ethan dan Kesya berdiri. Secepat mungkin Elise mengalihkan tatapan ke arah tangga menuju lantai dua dan memacu kaki ke atas. Kepalanya terlalu penuh untuk menambahkan kedua sosok di sana.

Meja pojok tempat mereka duduk semalam kosong. Melepaskan kantong belanjaan di tangan, Elise duduk dan membenamkan kepala ke dalam lipatan tangan. Jika tadi dia tidak lari, dia mungkin sudah mencemooh Karin hingga gadis itu hangus dalam api amarahnya sendiri.

“Mau pesan apa?”

“Apa aja? Kalau piring kosong mau?”

Elise mendongak. Ethan memasang cengiran jahil.

“Nggak lucu.” Elise melihat ke arah lain, ada pelayan yang sangat akrab, si gadis manis. Dia melambai memanggil gadis itu.

“Pesan apa, Kak El?”

“Tempura udon, sushi, sama onigiri ah satu lagi tempura sayuran.”

Ethan duduk di depan Elise, tanganya terulur menyentuh keningnya dengan telapak tangan. “Masih sakit?”

“Sakit hati! Ngapain di sini? Masak sana!”

“Nggak mau, kamu nggak tepat janji, pada hal tadi aku pengen kita makan barang tahu.”

“Kak Ethan, aku lapar, mau makan! Udah deh, kalau nggak mau aku makan di tempat lain!” ancam Elise kesal.

“Yau dah, tunggu sebentar. Ponsel kamu mana?”

Elise tanpa menaruh curiga apa-apa mengeluarkan ponsel dari tas samping, menunjukkannya pada Ethan.

Ethan menyambar ponsel Elise. “Aku tahan dulu!”

“Lah?”

“Jaminan kalau kamu nggak bakalan lari!” Ethan mengetuk kepala Elise lalu berbalik meninggalkannya terburu-buru.

















Love Back TAMATWhere stories live. Discover now