20. Quality Time

48K 4.2K 110
                                    

Happy reading!

"Ada apa?"

Kening Alissa mengerut kala mendengar pertanyaan dari suaminya itu. "Hah? Kamu nanya siapa?"

"Kamu." Alanzio menolehkan kepalanya ke arah Alissa yang tengah duduk di sebelahnya saat ini, wajah gadis itu tampak sangat bingung sekarang. "Kenapa ngelamun terus?"

"Mana ada aku ngelamun, orang aku dari tadi nonton kok," sanggah Alissa cepat.

Ia menolehkan kepalanya ke arah lain, mengindari tatapan Alanzio yang mungkin bisa membuatnya goyah dalam berbohong. Ia akui, sejak tadi memang dia terus saja melamun, memikirkan ucapan Sia siang tadi.

Kepala Alissa rasanya benar-benar berat memikirkan semua itu, belum lagi kedatangan Aiden yang menambah beban pikirannya.

"Jangan kebanyakan melamun, mending belajar. Udah kelas dua belas juga," nasihat Alanzio.

Alissa sama sekali tak menjawab ucapan suaminya itu, ia memilih menyandarkan kepalanya di pundak suaminya. Awalnya Alanzio tersentak kecil, tetapi dengan cepat ia menormalkan kembali tubuhnya, membiarkan Alissa bersandar di sana.

"Udah tau mau lanjut ke mana?" tanya Alanzio dengan mata yang lurus menatap layar kaca di depan sana.

Televisi itu menampilkan sebuah drama Korea yang cukup terkenal, yang diadaptasi dari salah satu komik online di aplikasi berwarna hijau. Tentang seorang gadis yang disukai oleh dua orang pria tampan di sekolahnya.

"Belum. Kalau kamu sendiri? Pasti udah tau dong mau lanjut kemana kan?" tanya Alissa seraya melirik wajah Alanzio dari ujung matanya.

Kepala Alanzio mengangguk kecil. "Iya. Aku mau lanjut di fakultas teknik," ucap Alanzio mantap.

"Teknik? Universitas Budi Bangsa?" tanya Alissa memastikan.

"Iya, kayaknya bakal di Budi Bangsa."

Alissa mengangguk-angguk kepalanya kecil mendengar penuturan Alanzio. "Kenapa mau masuk teknik? Kalau masuk MIPA atau kedokteran pasti bakal lebih gampang, secara kamu udah punya banyak sertifikasi olimpiade kan."

"Hm kenapa, ya?" gumam Alanzio pada dirinya sendiri. Ia mendongkakkan kepalanya ke atas, menatap lekat ke arah langit-langit rumah yang berwarna putih. "Aku mau ambil jurusan teknik robotika dan kecerdasan buatan, aku pengen buat sesuatu yang berguna buat banyak orang, yang bisa membantu mereka di masa depan."

Alissa tertegun mendengar alasan Alanzio. "Kan kalau mau bantu orang bisa jadi dokter, kamu gak perlu susah-susah buat sesuatu segala."

Kedua sudut bibir Alanzio tertarik ke atas mendengar pernyataan Alissa, tangannya mengelus surai panjang yang lembut milik istrinya itu.

"Kedokteran terlalu sulit di mata aku, Lis. Bertaruh akan nyawa manusia dan bernegosiasi dengan Tuhan, aku gak sanggup." Senyum manis yang tadinya terukir di wajah itu kini berubah kecut. "Aku lebih pengen buat sesuatu yang bisa membantu banyak orang, membantu anak-anak kita nanti."

Anak-anak kita nanti. Ucapan itu berhasil membuat Alissa mematung dan terharu mendengarnya, Alanzio bahkan sudah berpikir matang ke depan. Pria itu sudah memikirkan tentang masa depan anak-anak mereka nantinya.

"Zi, seandainya kita ternyata enggak jodoh dan pada akhirnya harus pisah gimana?" tanya Alissa ragu.

Tubuh Alanzio menegang, ia menolehkan kepalanya ke arah Alissa dan menatap gadis itu tajam dan dingin. Hal itu membuat nyali Alissa seketika menciut dan memikirkan ulang pasal ucapannya barusan.

"Jangan pernah berucap atau berpikir tentang perpisahan, Lis. Pernikahan itu sakral dan bagi aku menikah itu bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang keluarga aku dan kamu, tentang kita, juga tentang kita dan Tuhan."

Marry Me! Donde viven las historias. Descúbrelo ahora