Epilog

54.9K 3K 128
                                    

Happy Reading!

Alissa membuka pelan pintu berbahan besi itu dan melangkah pelan masuk, mengintip kecil pada keadaan di dalam sana. Hari ini ia nampak cantik dengan gamis panjang berwarna pastel dipadukan dengan hijab berwarna senada. Namun, pakaiannya dilapisi dengan pakaian steril khusus dan masker.

Ia mendudukkan bokongnya di kursi yang tepat berada di sebelah ranjang rumah sakit serba putih itu, menatap nanar pada pria yang terbaring lemah di atas sana. Aroma obat-obatan yang sangat khas menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya.

Hanya ada suara dari monitor yang menunjukkan bahwa jantung pria itu masih berfungsi memompa darah dengan baik ke seluruh tubuhnya, memecahkan keheningan yang ada di ruangan itu.

"Assalamu'alaikum, Zio," bisik Alissa dengan suara bergetar.

Sial, selalu saja seperti ini. Alissa tak pernah bisa kuat menahan tangisnya jika memasuki ruangan ini selama dua bulan terakhir. Tangannya terulur untuk meraih punggung tangan Alanzio yang kian kurus, memegangnya erat dan menciuminya beberapa kali. Walaupun tak bisa menyentuh secara langsung karena terhalang masker.

"Zi, hari ini hari kelulusan kita loh. Apa kamu enggak mau bangun dan ambil ijazah kamu?" tanya Alissa dengan suara lemah. "Tadi di sekolah semua orang tanyain kamu loh, Zi."

Berbagai pertanyaan orang-orang saat acara kelulusannya tadi terputar layaknya kaset rusak di dalam kepalanya. Tatapan kasian dari teman-temannya membuat Alissa benar-benar risih dan memilih pulang lebih cepat.

Ia hanya datang untuk mengambil ijazahnya dan memilih merayakan kelulusannya dan suaminya bersama-sama.

Walaupun tak mengikuti ujian, Alanzio tetap dinyatakan lulus oleh sekolah, sebagai bentuk kompensasi. Apalagi mengingat nilai-nilai pria itu bagus dan sering membawa piala bagi sekolah. Hanya saja nilainya menjadi turun agar tidak ada kritik dari siswa lain yang berusaha mengikuti ujian.

Alissa memejamkan matanya sejenak. "Kamu enggak capek tidurnya, Zi? Kamu enggak pengen bangun?" Terdengar hembusan napas kasar dari gadis itu.

Dia merasakan dadanya kian menyesak seiring air matanya yang mulai tumpah, ia pun membaringkan kepalanya di ujung ranjang Alanzio.

"Kamu emang tepatin janji kamu, Zi. Kamu tidur ... kamu gak tinggalin aku, tapi tidur kamu lama banget. Aku jadi kangen ..."

"Liat! Aku sekarang udah pakai hijab, udah gak bolong-bolong lagi, Zio. Aku juga udah gak pernah ikut tawuran lagi, kamu harus bangun, ya?" tutur Alissa.

Memang beberapa minggu belakangan ini ia memutuskan untuk memakai hijab sepenuhnya, tak seperti dulu yang hanya memakai hijab jika ingin ke rumah mertuanya saja.

Alissa tak tahan melihat keadaan suaminya yang layaknya mayat hidup. Tak ada lagi perhatian dari Alanzio atau wajah dinginnya. Buru-buru Alissa bangkit dan keluar dari ruangan, rasanya sangat sesak berlama-lama di dalam sana. Bukan karena membenci suaminya, tetapi Alissa tak tahan melihat keadaan suaminya.

Seperkian detik setelah keluar, ponselnya berdering, membuat Alissa buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

Keningnya mengernyit kala melihat nama Sagara tertera dengan manis di layar itu. Namun dengan cepat ia menekan tombol berwarna hijau di sana, mengangkat panggilan yang membuat ponselnya terus berdering.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ga?" tanya Alissa cepat.

"Waalaikumsalam. Lis, gue mau ngabarin berita duka nih," ucap Sagara dari seberang sana.

Alissa bisa menangkap adanya suara tangisan dari beberapa orang yang terdengar di seberang sana, membuat Alissa bertambah bingung sekaligus penasaran. Jantungnya berdegup kencang mendengar kata berita duka.

Marry Me! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang