21. Refuse

12.2K 857 104
                                    

"HAMIL?" Axel membulatkan matanya dan menatap Alexa terkejut.

Alexa mengangguk pelan dan menunduk. Ia tidak siap mendengar jawaban Axel selanjutnya.

"Gugurkan."

Deg

Alexa membulatkan matanya tidak percaya. Meskipun ia juga tidak siap menjadi seorang ibu, tetapi ia tidak pernah berpikiran untuk melakukan hal sejahat itu. Memang ia belum pernah melihat sama sekali bayinya, namun ia sudah menyayanginya. Naluri seorang ibu, maybe?

"Bagaimana bisa?" Alexa menatap nanar ke arah Axel. Bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu dan menolak bayi ini mentah-mentah? Ini semua hasil perbuatan mereka dan bayi ini tidak bersalah sama sekali.

"Bisa, tentu bisa. Kandunganmu masih sangat kecil, akan lebih mu-"

"Fuck you!" Alexa berteriak tepat di depan wajah Axel dan mengacungkan jari tengah di kedua tangannya.

Setelah itu Alexa turun dari ranjang dan keluar dari kamar Axel dengan membanting pintu. Ia sungguh emosi sekarang, darahnya serasa mendidih di kepala. Brengsek tetaplah brengsek. Ia tetap Axel yang dulu, Axel yang kejam. Bagaimana mungkin ia ingin membunuh bayi tidak bersalah ini?

Alexa menutup pintu kamarnya dan tersungkur di lantai. Ia menangis di balik pintu itu. Alexa memeluk kedua lututnya dan menangis tersedu-sedu. Ia pikir Axel akan membantunya menghadapi kehamilan ini bersama, tetapi nyatanya pria itu mengangkat tangan tak bertanggung jawab.

Alexa mengusap kasar air matanya. Giginya bergemeretak, tatapannya tajam ke depan. Tidak, ia tidak boleh terus-terusan menangis bodoh seperti ini. Ini bukanlah Alexa. Ia harus menghadapi ini semua layaknya seorang Alexa, mampu menghadapi apapun tanpa rasa takut.

Alexa mengusap lembut perutnya dan berusaha tersenyum.

"Kita hadapi ini bersama ya sayang, kita tidak butuh pria brengsek itu." Ucap Alexa.

***

Hari sudah mulai larut. Di sinilah Axel, di ruang VVIP sebuah kelab malam. Berbotol-botol alkohol sudah berantakan di meja hadapannya. Ia bersama temannya, Johanes. Meskipun pria itu tidak ikut minum karena ia adalah seorang dokter, ia tidak boleh terpengaruh alkohol apalagi besok ia akan melakukan pembedahan.

"Jadi wanita yang kemarin itu hamil?" ucap Johanes sambil menatap serius ke arah Axel. Ia terkejut karena Axel tiba-tiba memintanya ke kelab, ia tahu betul pria itu pasti sedang ada masalah. Karena meskipun pria itu brengsek, ia jarang sekali menginjakkan kaki di tempat ini, kecuali jika ia sedang stress.

"Ya,"

"Lalu? Bukankah itu berita bagus? Dengan begitu Shea akan memiliki adik,"

"Apakah bisa memiliki anak dari seorang wanita yang tidak aku cintai?"

"Kau tidak mencintainya?" Johanes mengerutkan keningnya. Mustahil, jelas sekali ia dapat melihat raut khawatir dari wajah Axel saat Alexa sedang sakit.

"Aku masih ragu,"

"Lalu dengan begitu, janin kecil itu yang akan menyatukan kalian. Percayalah, seorang anak memiliki kekuatan hebat seperti itu."

"Tidak. Cinta juga dapat tumbuh karena seks."

"Pemikiran bodoh dari mana itu?" sewot Johanes.

"Ya, aku mulai menaruh perasaan pada wanita itu semenjak kita melakukan hubungan seksual. Lalu, aku salah?"

Johanes menggeleng, tidak! Bukan berarti ia mengatakan Axel tidak salah. Ia hanya tidak habis pikir dengan pria itu.

"Aku mengatakan padanya akan mencoba untuk mencintai wanita itu. Setelah itu hubungan kami sangat dekat, kami sering bercinta panas hingga pagi. Dan sekarang kau bayangkan wanita itu hamil, lalu aku? Aku tahu betul seorang wanita tidak boleh berhubungan seksual sebelum usia kandungannya empat bulan, oh c'mon! Siapa yang tahan?"

Falling In Love With A KillerWhere stories live. Discover now