47. Di Bawah Tangisan Hujan (1)

12K 789 53
                                    

Selamat membaca guyss!!

Typo bertebaran:)

---

Gellen menatap datar layar komputer dan ponselnya. Wajah pucat belum lagi kondisi tubuh yang seakan hanya tinggal tulang tersebut kini berdiam diri memandangi layar di depannya. Semua foto-foto dan video mengenai Levin dan Tante Anya hilang dari genggamannya.

Seseorang sudah lancang menyentuh barangnya. Dan Gellen sudah malas menebak siapa orang-orang itu. Tapi mendengar kabar bahwa semua murid menjauhi Levin. Entah kenapa terasa menyenangkan di mata Gellen.

Setidaknya semua murid sekolahnya percaya kepada dirinya.

"Levin Levin Levin. Gimana bisa Lo masih punya percaya diri buat masuk sekolah." Kekeh Gellen memiringkan kepalanya menatap layar ponselnya.

Akun sosial media Levin penuh dengan cacian dan ejekan buruk dari satu sekolah. Tapi kenapa ia belum merasa puas melihat ini?

Gellen melempar ponsel nya ke sembarang arah. Ia bangkit berdiri dari kursi belajar kamar nya. Dirinya berniat turun untuk mengambil air putih. Namun langkah kakinya berhenti, saat melihat Om Beny tengah berbicara melalui telfon di bawah tangga kediamannya.

Fokus nya mendadak buyar saat Indra pendengarannya menangkap percakapan telfon milik Om Beny.

"Ya, bawa anak itu ke tempat kemarin, tunggu aku sebelum menghabisinya. Ahh.. dan pastikan Anya meminum obat penggugur kandungan. Aku tidak sudi jika itu bukan bayi ku." Perintah Beny melipatkan kakinya di sofa tamu.

Mata Gellen melotot tidak percaya, langkah kakinya perlahan mundur. Dengan cepat berbalik kembali menuju kamarnya. Apalagi saat Beny berniat menuju ke arahnya. Gellen langsung merangkak pelan untuk berbaring di kasur.

Dirinya bergelung di bawah selimut seakan membungkusnya bersamaan ia turut memejamkan matanya. Suara pintu terbuka membuat jantung Gellen berdebar kencang. Tubuhnya merinding, ia merinding saat jemari pria itu mengusap dahinya.

"Padahal Om mau kasih kamu obat lebih banyak lagi tapi orang tua kamu mau pulang." Tawa kecil Beny.

Gellen menutup matanya berusaha tenang. Dirinya menggenggam erat guling di pelukannya saat pintu kamar nya tertutup dan suara langkah sepatu Beny menjauh dari kamarnya.

Dengan tangan gemetar Gellen meraih ponselnya. Ia menatap takut pada jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, sisa dua jam sebelum bell pulang sekolah.

Ia terdiam membeku seakan membangunkan otak pintarnya. Sudah lama sekali ia tidak berfikir dengan matang-magang. Gellen ketakutan dan untuk kali pertamanya ia merasa sangat membutuhkan obat dari Beny agar ia tenang.

Sekarang langkah apa yang harus dilakukannya?

***

Kepala Levin rasanya ingin pecah saat berada di panggung lomba debat sekolah nya. Lomba yang diadakan tiap pergantian semester untuk menentukan siapa perwakilan dari sekolah elit ini yang akan diikut sertakan lomba debat tingkat nasional lusa besok.

Levin hampir melupakan agenda tiap semester ini. Sial! padahal ia ingin segera pulang untuk bertemu Anya. Kenapa ia tidak di keluarkan dari list setelah semua masalah kemarin-kemarin.

Kegiatan ini menguras kepalanya pasalnya lagi-lagi Levin bertemu dengan saingan terberatnya dari peringkat satu anak IPA. Siapa lagi kalau bukan Fero yang merupakan salah satu dari geng Alex. Dilihat dari barisan kursi murid-murid jurusan IPS, nyatanya hanya Nathan, Arcas, Reggan menyorakinya seakan dirinya tengah tanding bola.

Sisanya? Mereka semua lebih memilih mengabaikannya dan bermain gadget. Beberapa kali mengambil potret lalu menertawakannya. Membuat kepercayaan dirinya semakin terkikis berdiri di atas panggung seperti badut perwakilan.

The Keyboardist And Sugar Mommy | NAVIGASI SERIESWhere stories live. Discover now