13

158 30 2
                                    

Bastian masih tak menyangka dia akan segera lulus.

Sekitar sepuluh tahun lalu, dia pertama kali dibawa ke Akademi Sihir setelah gelombang sihirnya memancar keluar. Menyadari bahwa dirinya merupakan seorang penyihir memang pengalaman terbaik, akan tetapi itu hanyalah permulaan dari perjalanan sesungguhnya.

Bastian selalu datang ke salah satu taman di Akademi Sihir untuk belajar ketika dia sedang butuh waktu sendiri, terlebih ketika perpustakaan sedang lebih sesak dari biasanya. Lokasi tamannya cukup jauh dari bangunan utama sehingga jarang ada yang berkeliaran di sini. Taman ini terletak di dalam rumah kaca, dengan tumbuhan yang hanya tinggal jalinan cokelat kering semata karena tak pernah dirawat. Pada musim semi atau panas pun, hanya ada rumput liar dan bunga-bunga kecil yang tumbuh di bagian tanah. Tempat ini cukup menyenangkan jika cuaca cerah. Selain udaranya sejuk, pencahayaannya juga bagus.

Salah satu bagian bangku senantiasa bersih karena cukup sering diduduki Bastian, begitu pula meja di dekatnya yang biasanya ditaruhi buku pelajaran.

Pagi itu Bastian habiskan dengan membaca buku untuk UKPETA—Ujian Kelulusan Penyihir Tingkat Atas. Walau namanya menggunakan embel-embel penyihir, pelajaran yang diberikan tidak hanya seputar sihir. Para pelajar juga mempelajari ilmu di bidang yang berbeda, mengingat jasa penyihir tidak mungkin sering dipakai, maka mereka juga harus menyesuaikan diri agar dapat bekerja layaknya manusia normal.

Pada hari ujian nanti, selain pengujian secara teori, energi para penyihir juga akan diperiksa, memastikan mereka masih punya banyak energi. Selama Bastian tidak melawan makhluk-makhluk sihir atau memakai energinya secara berlebihan, maka dia tidak perlu khawatir.

Insiden penyerangan naga daun itu bisa dijadikan pengecualian. Bastian beruntung dia dan ketiga temannya bisa bertahan dengan berbekal mantra pelindung.

Suara keriut pintu yang engselnya berkarat memecah lamunannya, disusul sebuah suara yang berkata, "Aku tahu kau di sini."

Bastian mengangkat pandangan dari halaman penuh kalimat bertinta hitam. Dia sudah bosan dengan nuansa cokelat dari taman ini, tapi tidak jika warna serupa datang rambut dan mata Aeryn yang selalu terlihat lebih menyegarkan.

"Mana Edwin dan Robert?" tanya Bastian sambil mengelap tempat duduk di sebelahnya, sekaligus membersihkan permukaan meja dari daun kering dan debu.

"Edwin masih tidur. Robert di perpustakaan, mencari pacar baru."

Bastian mendengus. "Padahal dia baru saja dicampakkan."

Seraya tertawa pelan, Aeryn duduk di posisi yang sudah disiapkan baginya. "Kau tahu dia itu tak pernah kapok dalam hal hubungan asmara. Tidak sepertimu yang sudah siap melangkah ke jenjang berikutnya."

Konsentrasi Bastian surut semenjak Aeryn datang. Dia mencoba memakukan tatapan kembali ke buku, tetapi selalu mendapati dirinya melirik ke arah Aeryn. "Yah, sejujurnya aku tidak sesiap itu. Mr. Lockwood juga ingin aku bekerja di salah satu toko perabotannya terlebih dahulu sebelum aku melamar Cecilia secara resmi."

"Kalian akan benar-benar menikah?"

Bastian mengangguk. "Semua sudah diputuskan."

Aeryn mengangguk kecil. "Senang mendengarnya. Aku yakin Cecilia Lockwood akan bahagia."

"Menurutmu begitu?" Bastian sedikit menyangsikan kata-kata tersebut. "Sejak insiden para naga, kurasa penilaiannya terhadapku tidak sebaik awalnya."

"Oh, ayolah. Gadis mana pun beruntung menikahimu," Aeryn menyemangati. "Aku bisa meyakinkan Cecilia kalau sampai dia ragu. Lagi pula, aku senang salah satu sahabatku akhirnya memiliki pacar yang bisa kujadikan teman. Semua mantan kekasih Robert menolak bicara padaku gara-gara sikap berengsek Robert. Sementara Edwin, yah, aku tak bisa membayangkan dia memiliki kekasih. Akan lebih memungkinkan jika dia menikahi... buku-bukunya."

Daughter of Naterliva [#1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang