28

113 27 1
                                    

Cecilia tidak tahu hari ini akan menjadi hari kematiannya.

Yah, itu terlalu berlebihan, tetapi Cecilia tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan melewati amukan Papa. Baru saja dia masuk ke dalam rumah, sang ayah sudah berdiri di dekat pintu dapur, menunggunya.

Pria tersebut tidak melakukan apa-apa selain berdiam diri. Namun keheningannya membuat waktu berjalan bagai siput. Cecilia tahu ayahnya marah dan dia menunggu pria itu meneriakinya.

Papa berjalan ke depan dengan langkah yang terlalu cepat, kemudian berhenti di depan Cecilia. Tangannya terangkat dan Cecilia berjengit, memejamkan mata.

Tamparan itu tak kunjung datang.

Cecilia merasa tubuhnya menciut. Dia membuka kelopak matanya sedikit, melihat tangan Papa masih terangkat. Rahang ketat dan tatapan yang siap membunuh terpampang nyata di wajahnya. Akhirnya Papa menghempas tangan ke samping tubuh, disertai dengusan kasar.

"Ke ruang kerjaku. Sekarang." Pria itu melenggang pergi tanpa menunggu Cecilia.

Barangkali Cecilia akan diusir. Pikiran itu membuatnya kian merana. Apa ini saatnya dia merealisasikan niat untuk tinggal di hutan?

Ruang kerja Papa terletak di lantai dua, bersebelahan dengan ruang belajar. Pintunya dibiarkan terbuka lebar, menanti Cecilia datang dengan aura mencekik. Cecilia menangkupkan tangan dia dada, menyempatkan diri berdoa.

Kau memberkatiku sejauh ini, Cecilia berucap pada Naterliva, setidaknya tolong aku dalam hal ini juga.

"Tutup pintunya," suara dingin itu memerintah tatkala Cecilia tiba.

Papa sedang berdiri menghadap jendela. Cecilia masuk dan mendorong pintu dengan berat hati. Seiring gerakannya, Cecilia bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Akankah Papa menampar, mencekik, atau memukulnya? Cecilia sudah membayangkan semua kemungkinan terburuk, termasuk ketika pria itu mendorong Cecilia ke jalanan, menyatakan bahwa hubungan keluarga di antara mereka telah terputus.

Ketika Cecilia kembali menghadap ke ruang kerja, Papa sudah berdiri di dekat mejanya, sedang menyiapkan cerutu.

Embusan asap berbau menyesakkan memenuhi ruangan dalam waktu singkat. Papa berjalan mondar-mandir di belakang meja. Langkahnya lambat dan pria itu larut dalam perenungan. Cecilia menunggu sampai Papa menggulingkan meja, menjatuhkan rak buku, memporak-porandakan ruangan. Semua itu tak kunjung terjadi.

"Aku bersalah," pria itu berucap. Dia menyesap cerutu lebih dalam dan mengembuskannya dalam helaan napas keras. "Aku terlalu mempercayai Mary untuk membesarkanmu."

Mendengar nama pengasuhnya disebut membuat Cecilia tambah gelisah.

"Dia bilang kau akan tumbuh menjadi anak baik." Papa duduk ke kursi. "Dan selama bertahun-tahun aku memercayainya. Kali ini berbeda, Cecilia. Kali ini kau mengecewakanku."

Cecilia menundukkan kepala, tidak berani menjawab.

"Apa yang tidak pernah kuberikan padamu?" tanyanya lagi. "Semuanya kuberikan, Cecil. Pernahkah aku menelantarkanmu?"

Cecilia diam.

"Jawab, Cecil!" bentaknya.

"Ti-tidak, Papa," Cecilia tergagap.

"Benar! Aku memberimu tempat tinggal, pakaian, makan, minum, tutor, uang, semuanya!" Pria itu menaruh cerutu dengan kasar ke meja, menumpahkan sebagian bubuk tembakau di dalamnya. "Lalu kenapa kau melakukan ini pada keluarga kita? Berteman dengan orang-orang asing dan memulai misi perdamaian? Hah!" Pria itu tertawa sinis. "Kau bukan orang seperti itu, Cecil."

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now