39

100 26 9
                                    

Bastian tidak ingat kapan pastinya Aeryn mulai menghindarinya, dengan cara yang dibuat-buat pula. Gadis itu menghindari tatapannya, dan setiap kali Bastian hendak merapikan rambutnya, gadis itu akan menjauh.

Entah kenapa ada bagian dalam diri Bastian yang pedih, seperti baru terkena cubitan maut Aeryn.

Bastian masih mengangkat tangannya dengan ragu di depan pintu kamar Aeryn. Sudah lima menit yang lalu dia berdiri di sana, berniat mengetuk tetapi ragu pada saat bersamaan. Sekarang masih jam sembilan. Aeryn seharusnya belum tidur.

Terbukanya pintu kamar nyaris membuat Bastian jantungan. Sudah terlambat untuk kabur karena Aeryn sudah melihatnya, tak kalah terkejut dari Bastian.

"Demi dewa-dewi," desis gadis itu. "Aku hampir menendangmu. Ada apa?"

"Bisakah kita bicara?"

"Kita sedang bicara, bukan?"

"Aeryn, kau bersikap aneh," Bastian langsung menyebut inti pembicaraannya. "Apa aku telah melakukan sesuatu?"

Aeryn mengerutkan kening. "Tidak ada apa-apa. Itu hanya--"

"Kau tidak bisa bilang kalau ini hanya perasaanku," sela Bastian. "Robert dan Edwin menyadarinya juga. Tapi kau tidak berlaku demikian kepada mereka."

Aeryn bersedekap, mendecakkan lidahnya perlahan. Tatapannya dipalingkan dari Bastian, tetapi ada sekelumit kekesalan di matanya. Sehelai rambut gadis itu terjatuh di depan wajah, menambah kefrustrasian dalam tampangnya.

Bastian mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambut itu, tetapi Aeryn menepis.

"Kau tidak bisa melakukan itu terus." Aeryn merapikan rambutnya sendiri. "Kau sudah punya calon istri."

"Jadi itu persoalannya?" Bastian mengerutkan dahi. "Apa ada orang yang mengatakan sesuatu? Ataukah Cecilia mengatakan sesuatu padamu saat kunjungannya yang lalu?"

"Kalau waktu itu Cecilia memang mengatakan sesuatu, kau mau apa, Bas?" Aeryn menaikkan kedua alis. "Seandainya dia tidak suka aku dekat-dekat denganmu, apa kau akan menurutinya?"

Pertanyaan dadakan itu membuat Bastian tambah tidak paham. "Apa maksudmu? Dia mengatakan semua itu?"

Aeryn mendengus. "Tidak, tapi semisalnya dia berkata begitu, kau akan berbuat apa?"

"Kau temanku, Aeryn." Mulut Bastian terasa kering tatkala mengatakannya. "Tidak mungkin aku mengabaikanmu."

"Dan kalau Cecilia marah?"

Sulit membayangkan hal itu terjadi. "Aku tinggal melakukan apa yang dia mau di depannya, bukan begitu? Aku akan menjelaskannya padanya juga bahwa tidak ada apa-apa di antara kita."

Kalimat itu tidak enak diucapkan, menciptakan kepahitan yang tidak Bastian pahami. Luka di tatapan Aeryn menjelaskan segala sesuatu yang dirasakan gadis itu.

"Kau sahabatku," tegas Bastian. "Itu tidak akan berubah sampai kapan pun."

Aeryn kini mengeluarkan tawa mencemooh. "Kalau dipikir-pikir, sekarang aku merasa bodoh."

"Kenapa?" Bastian berjalan mendekati gadis itu, mencoba mencari jawaban yang belum diucapkannya. "Kalau kau tidak mengatakannya, aku tidak akan paham, Aeryn." Dia mencoba menjelaskan selembut mungkin. "Kau bisa mengatakan apa pun padaku."

"Sungguh?" Suara Aeryn melirih. Gadis itu larut dalam perenungan singkat sebelum menghela napas. "Aku harus ke toilet. Dari tadi kau menghalangi jalan."

Sikap itu mengoyak sesuatu dalam diri Bastian. Dia tidak suka apa yang dilihatnya saat ini. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Aeryn dan dia tidak bisa membantu. Namun, mau tak mau Bastian memberinya jalan, mengamati kepergiannya dengan denyutan pedih di dada.

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now