21

106 24 1
                                    

Cecilia tidak pernah pergi ke sekolah, demikian pula kedua saudaranya. Mereka bertiga selalu belajar di rumah, diajari oleh beberapa tutor pribadi yang dibayar Papa. Sekolah umum tidak terlalu menarik perhatiannya, mengingat dirinya punya teman-temannya di hutan sehingga keinginan untuk memiliki teman manusia jarang terlintas dalam pikiran.

Ketika tiba di Sekolah Dasar Wirlow, waktu istirahat sedang berlangsung. Jadwal mengajar mereka akan berlangsung setelah ini. Mereka terlebih dulu melapor kepada kepala sekolah, yang sudah terang-terangan menunjukkan wajah masamnya serta sengaja menatap Cecilia dan ketiga temannya dengan sorot mata sinis.

"Perlu diingat bahwa anak-anak yang akan kalian ajar berada di tahun kelima dan keenam. Artinya mereka akan agak nakal, tetapi hal tersebut harus dimaklumi," sang kepala sekolah memperingati. "Aku tidak ingin tindak kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap mereka."

"Mr. Xanderson, Anda tidak perlu mencemaskan itu," Freya membantu menenangkan. "Kami hendak mengajar di kelas, bukan di arena bertarung."

Cecilia hanya mampu tersenyum lesu. Setelah memuntahkan sarapannya sebelum berangkat, dia tak punya tenaga untuk beramah-tamah. Ditambah, perutnya yang nyeri tidak membantu. Kenapa pula tamu bulanannya harus datang hari ini?

"Masing-masing kelas akan diawasi oleh dua penyihir. Dan aku yakin kalian sudah mendengar bahwa tindakan mencurigakan sekecil apa pun bisa ditindaklanjuti oleh mereka."

"Kami sadar betul akan hal itu, Mr. Xanderson," Espen menjawab tak sabaran. "Segalanya sudah dijelaskan. Tidak perlu diulang-ulang."

Mr. Xaderson tersenyum kaku, mencoba menutupi keinginannya untuk menerjang Espen. Freya menatap tajam sang adik, lalu kembali tersenyum manis kepada sang kepala sekolah.

Mengabaikan sopan santun Freya, Mr. Xanderson berdiri dari kursi dan melenggang pergi. "Mari, biar kuantar kalian ke kelas masing-masing."

Mereka keluar dari kantor tepat ketika bel tanda istirahat berakhir berdentang. Para siswa berlarian memasuki ruang kelas. Beberapa dari mereka bahkan nyaris menabrak Jaromir. Suasana hati Mr. Xanderson begitu buruk hingga dia tak segan meneriaki anak-anak malang itu agar berjalan lebih tenang.

Kelas Cecilia dan Espen tiba lebih dulu. Palang kayu bertuliskan angka lima tergantung di pojok atas bingkai pintu. Ketika memasuki kelas, perhatian Cecilia langsung tertuju pada dua penyihir yang sudah menunggu di ujung ruangan. Mereka teman-teman Bastian: Magistra Edwin Mamond dan Magistra Robert Villmare. Para murid duduk diam di kursi masing-masing.

Berpasang-pasang mata mengikuti arah langkah Cecilia, membuat konsentrasinya sedikit teralihkan. Hampir saja dia menabrak meja guru.

Espen mengambil kapur dan mulai menuliskan nama mereka berdua. Cecilia mengatur napasnya dan tersenyum. "Halo, namaku—"

Kata-kata Cecilia terhenti ketika sesuatu dilempar ke arahnya, mengenai pipi Cecilia. Benda itu terjatuh, dan terlihatlah sebuah kerikil seukuran kenari.

Seorang anak laki-laki berdiri dari bangkunya, menimbulkan suara gesekan keras antara kaki kursi dan lantai. "Tidak ada yang mau mempelajari ilmu sesat itu!" serunya. "Pergi dari sekolah kami!"

Teriakan barusan menjadi awal mula kekacauan yang sesungguhnya. Espen langsung berhenti menulis dan pada saat bersamaan, hujan batu menyerang mereka berdua.

Cecilia bisa saja lari, berteriak, atau apa pun. Namun, dia malah menyambar buku catatannya untuk melindungi kepala. Kakinya terasa menyatu bersama lantai, tidak mampu digerakkan seujung kuku pun. Espen yang biasanya cepat marah pun cuma mematung di posisinya. Ekspresi pria itu tertutupi oleh lengannya.

Segala sesuatu terjadi terlalu cepat. Sejenak, Cecilia pikir dia hanya berkhayal.

"PEMBUNUH!" teriak seseorang. "KAU TIDAK ADA BEDANYA DENGAN PEMBUNUH ITU!"

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now