22

112 27 3
                                    

Tidak jauh dari kediaman Lockwood, ada padang rumput yang sering Cecilia kunjungi bersama Felipe, sekadar untuk duduk dan menikmati pemandangan. Hari ini, matahari siang bersinar amat terik, memaksa Cecilia memicingkan mata tatkala hendak menikmati birunya langit.

Di sampingnya, Cecilia bisa melihat wajah buram dari seorang pemuda berambut merah kejinggaan. Pemuda itu tertawa, tapi suaranya kedengaran sangat jauh, seakan telah terkubur dalam waktu.

"Mer ranel," Connor memanggil. Rembulanku. Sudah lama Cecilia tidak mendengar panggilan sayang itu.

Suara tak kunjung keluar dari tenggorokan Cecilia, padahal dia ingin membalas, ingin memanggil kakaknya sekali saja.

Kemudian tanah yang diduduki Cecilia menghilang. Cecilia pikir dirinya akan terjatuh, tetapi dia terduduk di atas ranjang. Hari masih malam dan dari lantai bawah terdengar argumen yang kian lama kian memanas.

Cecilia menuruni ranjang yang berukuran lebih besar dari seharusnya. Atau, mungkin dirinyalah yang semakin kecil. Dia mendekati pintu, mencoba membukanya agar bisa pergi ke bawah. Kalau dia cepat, dia bisa menghentikan Connor dan mencegah sang kakak pergi.

Ketika Cecilia tiba di pintu kamar, tangannya tidak bisa mencapai gagang. Cecilia mendongak ke atas, mengamati pintu raksasa di hadapannya. Selagi pertengkaran di lantai bawah berlanjut, Cecilia terus menggedor pintu, berharap seseorang mendengar dan membukakan jalan baginya.

CONNOR! Nama itu tak bisa diucapkan, tetapi diteriakkan dalam kebisuan. Cecilia mendengar suara pintu di lantai bawah dibanting menutup.

Sudah terlambat, pikirnya. Connor sudah pergi.

Lagi-lagi, Cecilia mencoba berteriak, tetapi suara tangisnya pun tidak terdengar di malam yang sunyi itu.

Jangan tinggalkan aku.

≿━━━━༺❀༻━━━━≾

Sapuan lembut di dahi Cecilia seakan menarik jiwanya ke permukaan. Dia membuka mata pelan-pelan, menyesuaikan pandangan dengan kilau cahaya kejinggaan sore hari.

"Dion."

"Hai, Cecil." Sang adik meraih tangannya. "Espen sudah cerita."

Padahal Cecilia tidak ingin membuat Dion cemas. Dia sudah berhasil pulang diam-diam, kemudian mandi dan langsung istirahat. Dion masih belajar selama semua itu terjadi.

"Aku kurang enak badan," jelas Cecilia. "Makanya aku pulang."

"Sekarang kau benar-benar tidak enak badan." Dion menyentuh dahi Cecilia. "Terlebih setelah semua yang anak-anak itu lakukan."

Bibir Cecilia mengerut. Tentu saja Espen mengadukan segala sesuatu secara lengkap.

Belakangan, Cecilia baru sadar ada kain di dahinya. Sisi mata Cecilia terasa kaku, seakan ada air mata yang baru mengering. Cecilia bergerak sedikit; sekujur tubuhnya terasa sakit dan pegal. Kakinya kembali kehilangan tenaga.

"Dokter bilang kau kelelahan," Dion berucap sambil mengambil kain dari dahi Cecilia untuk direndam lagi ke dalam mangkuk air yang masih sedikit beruap.

Dion tidak mengatakan apa-apa lagi, yang justru membuat Cecilia cemas. Ekspresi wajah sang adik kelihatan tidak menentu, tetapi isi hatinya sudah tertebak sejak awal. Setelah meletakkan kain ke dahi Cecilia lagi, Dion memilih menjauh sebentar. Anak lelaki itu bersedekap dengan tubuh disandarkan pada jendela. Langit kejinggaan sore hari menjadi latar belakangnya, menciptakan siluet panjang dari bayangan Dion di lantai.

"Cecil, aku benci semua ini." Dion menyugar rambutnya dengan gusar. "Kau tidak harus mengajar. Sebenarnya, empat orang terlalu banyak untuk mengajar anak-anak yang jumlahnya tak seberapa."

Cecilia juga berpikir serupa kemarin, tapi kelihatannya, setelah ini Freya semakin tidak setuju untuk memecah mereka. Cecilia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Espen sendirian ketika menghadapi semua itu.

"Dion?" Panggilan itu disusul ketukan di pintu. "Cecilia sudah bangun?"

"Sudah."

Freya membuka pintu, membawa segelas minuman bersamanya. "Merasa lebih baik?"

Cecilia menggeleng lemah. Sendi lehernya terasa kaku. "Tubuhku seperti kertas yang baru diremas-remas."

Freya menaikkan alisnya sekilas. "Ini, kubuatkan minuman dari kunyit." Freya menyelipkan tangan ke punggung Cecilia dan membantu mengangkatnya bangun.

"Pelan-pelan." Freya meletakkan gelas yang masih hangat ke tangan Cecilia.

Minuman itu tidak langsung membuat Cecilia sembuh, tapi kehangatannya memang membuatnya lebih nyaman.

"Aku yakin semua peristiwa ini akan memberi kita keuntungan," ucap Freya.

"Keuntungan?" Dion tertawa kasar. "Kadang aku berpikir kau kurang memahami bahasa Ellesvore, Freya."

"Bocah, aku tahu betul apa yang kukatakan," Freya membalas tenang. "Pikirkanlah. Orang-orang selalu takut pada Cecilia; takut kekuatannya lepas atau omong kosong lainnya. Setelah mereka mendengar ini dan menyadari kesalahan mereka, akan lebih mudah mendulang keuntungan dari rasa bersalah yang timbul."

"Memangnya mereka masih paham soal rasa bersalah?" Dion mendengus.

"Cecilia pernah melakukan hal-hal baik bagi desa ini, bukan?" Freya membantu meletakkan gelas kosong Cecilia ke nakas. "Bayangkan apa jadinya bila kita bisa memanfaatkan semua itu. Ditambah, Cecilia adalah wujud nyata dari keberadaan Dewi Naterliva. Orang-orang tentu akan berpikir dua kali sebelum berurusan lebih lanjut dengannya."

Freya menunjukkan kedua tangannya. "Rasa bersalah, ditambah ketakutan terhadap sosok dewi." Perempuan itu mempertemukan kedua tangan, membuat efek ledakan. "Duar."

Dion mengusap dagunya. "Tapi, masa kita mau mengumbar-umbar kebaikan Cecilia begitu saja?" Sekarang sang adik malah ikut tertarik dengan rencana itu.

"Tidakkah itu terlalu licik?" tanya Cecilia.

Freya mendecakkan lidah. "Jadi kau mau anak-anak itu lolos begitu saja? Bisa kau bayangkan separah apa orang tua mereka kalau anak-anaknya saja sudah begini?" Perempuan itu menggeleng. "Kita harus memanfaatkan keadaan ini untuk mengurangi kecemasan rakyat terhadap kita, terutama kepadamu." Gadis itu memelankan suara. "Seisi kediaman Lockwood sudah mendengar ceritanya. Dion, kalau kau mau membalas kejahatan yang terjadi pada kakakmu, maka kau harus menghayati peran sebagai adik yang sedih dan terluka."

Kata-kata Freya tidak menenangkan Cecilia sama sekali. Entah kenapa semua ini terasa salah. Seharusnya mereka tidak perlu sampai seperti ini.

"Ini memang tidak mudah, Cecil." Freya berhasil membaca raut wajahnya. "Kau harus sadar kalau kita perlu melakukan ini. Hanya sekadar menyadarkan penduduk Wirlow bahwa kau tidak seperti yang mereka duga." Perempuan itu mengusap bahu Cecilia. "Kau bisa berhenti kalau mau."

Berhenti? Dan membiarkan anak-anak itu menang?

Ide itu tidak buruk. Cecilia bisa saja menghindari pertikaian. Sekalian saja dia bisa menghilang dari peradaban dan menetap di hutan sepanjang sisa hidup daripada mempermalukan keluarganya.

"Ketahuan sekali kalau kau memikirkannya," gumam Freya.

Cecilia merengut. "Seumur-umur baru kali ini aku mengalami hal semacam itu."

"Dan semua itu akan terjadi lagi ke depannya." Freya beranjak dari tepi ranjang dan membawa gelas dari nakas. "Kau sudah cukup membantu sejauh ini. Kau tidak perlu ikut mengajar."

Kalau sejak awal Freya berkata demikian, pasti Cecilia akan menurut.

Freya sudah pergi duluan sebelum Cecilia menjawab. Setiap kali Cecilia berpikiran untuk keluar dari misi ini, rasanya tidak terlalu adil. Dia sudah mengungkap identitasnya sebagai Putri Naterliva. Dia juga sudah diserang oleh anak-anak yang salah paham terhadap kekuatannya.

Mata Cecilia terbuka lebar. Sebuah ide terbesit dalam benaknya, mulai tersusun sedikit demi sedikit. "Itu dia!"

"Apa?" Dion mendekati Cecilia. "Apanya, Cecil?"

"Mereka hanya tahu hal-hal buruk dari kekuatanku, 'kan?" Semangat Cecilia kembali terpupuk. Dia punya ide yang lebih baik dibanding milik Freya. "Kalau begitu, akan kutunjukkan apa yang tidak mereka ketahui."

Daughter of Naterliva [#1]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt