20

150 27 3
                                    

"Menurutmu, kenapa Raja Avinas setuju?"

Cecilia masih sibuk memilih gaun yang akan dikenakannya Senin nanti sampai tidak fokus mendengar Dion. Padahal baru tadi sore Freya menyampaikan keberhasilannya memperoleh izin mengajar dragenologi. Cecilia berusaha untuk menanggapinya dengan tenang, tetapi kenyataannya tidak semudah itu.

"Gaun mana yang lebih bagus, Dion? Yang hijau atau biru?"

"Cecil!"

Cecilia mendesah. "Baiklah, maaf. Aku cuma agak cemas." Cecilia menyandarkan kedua gaun itu ke atas kursi. "Aku tidak tahu. Freya sibuk membahas materi yang akan kami ajarkan. Setelah itu dia melewatkan waktu di kamarnya."

"Kita harus mencari tahu," desak Dion. "Aku curiga Freya memakai kekuatannya."

"Tidak mungkin, Dion. Dia sudah bersumpah."

Sang adik mendecakkan lidah sambil mendekati Cecilia. "Kau pikir dia bisa dikekang dengan sumpah tanpa arti?" bisik Dion. "Dia bukan kau, Cecil!"

"Tapi ...." Cecilia menggigit bibir bawahnya. Kegelisahannya bertambah parah gara-gara tertular Dion. "Kau benar. Aku akan bicara pada Freya."

"Jangan bertanya terang-terangan."

"Baik, baik. Aku bisa mengatasinya." Cecilia mengacak rambut sang adik dengan gemas. "Kau mau tunggu di sini atau kembali ke kamarmu?"

Tanpa menjawab, Dion naik ke ranjang Cecilia. Sebuah buku dibuka di pangkuannya, pertanda dia akan menunggu. Norle pun berbaring di tengah ranjang dengan santai, tidak terpengaruh oleh perdebatan kecil mereka tadi.

Lampu minyak yang dibawa Cecilia membantu membelah kegelapan sepanjang tangga. Karena lantai tiga jarang ditempati, tengkuk Cecilia masih bergidik kalau harus naik ke sini malam-malam begini.

Cecilia memikirkan kata-kata Dion. Semula dia tidak terlalu tertarik pada percakapan antara Freya dan Raja Avinas. Toh, yang penting hasil akhirnya cukup bagus. Sekarang, beban tambahan memenuhi dadanya.

Salah satu pintu kamar terbuka sedikit. Di ujung lorong, terlihat seseorang sedang berdiri di balkon, menikmati embusan angin malam. Cecilia berjalan pelan-pelan ke kamar Freya, tidak ingin mengganggu pria yang sedang bersantai itu.

"Aku tidak akan mengetuk kalau jadi kau."

Tangan Cecilia terhenti, nyaris saja mengetuk pintu kamar Freya. Espen sudah membalikkan badan ke arahnya. Dalam kegelapan seperti ini, sosoknya tidak tampak jelas. Hanya suara yang menjadi pertanda.

"Apa kakakmu sudah tidur?"

"Mungkin sudah. Kau tahu sendiri dia tidak bisa istirahat dengan tenang sampai mendapatkan kejelasan. Sekarang dia sudah mendapatkannya."

Kalau begitu Cecilia bisa bertanya besok saja. Mereka pun masih harus melanjutkan diskusi pembagian kurikulum dragonologi.

Cecilia ingin kembali ke bawah, tapi Espen masih berdiri di tempatnya, bersandar pada tepian balkon. Tanpa dilihat pun, Cecilia bisa merasakan tatapan Espen tertuju padanya.

Setelah bimbang antara jalan menuju tangga dan balkon, Cecilia melangkah ke dekat Espen. Mata Espen mengikutinya, lalu pemuda itu kembali memutar tubuh ke luar.

Tidak banyak yang bisa mereka amati pada malam hari. Bintang menjadi satu-satunya pengisi langit malam. Dengan bantuan lampu minyaknya, Cecilia hanya bisa melihat tepian balkon serta detail gaun tidur yang dikenakan.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Cecilia. "Ini yang kalian rencanakan sejak awal. Kau dan kakakmu, maksudku."

"Hanya kakakku," ralat Espen. "Dia yang selalu punya rencana. Dan sejujurnya aku senang bisa membantu."

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now