41

109 28 12
                                    

Setiap tahun pada akhir September, penduduk Ellesvore mengadakan kunjungan ke pemakaman. Perayaan Avenlora Sals dianggap sebagai waktu ketika para roh di alam lain kembali ke dunia untuk semalam demi bertemu keluarga atau orang-orang yang mereka kasihi.

Biasanya Papa tidak pernah mau ikut. Baru tahun ini dia bersedia. Kepulangan Connor benar-benar membawa dampak besar dalam perubahan sikapnya.

Malam itu, pemakaman umum Wirlow disesaki pengunjung. Setiap orang fokus pada makam masing-masing, tidak menggubris orang-orang di sebelah mereka sekalipun ada yang saling kenal. Ketika Cecilia berpapasan dengan beberapa muridnya pun, mereka hanya saling menganggukkan kepala dengan sopan.

Mula-mula mereka mengunjungi makam Madam Mary terlebih dahulu. Upacara yang dilaksanakan memang tidak rumit. Mereka hanya perlu menyalakan lilin dan menata makanan di sekitar makam serta meletakkan rangkaian bunga marigold di atas depan. Setelahnya, dipanjatkan doa kepada Dewi Meheri, yang merupakan dewi musim gugur sekaligus kematian. Setelahnya, mereka mengambil sedikit makanan dari wadah yang dibawa serta mengambil setangkai bunga marigold untuk dibakar. Upacara berakhir setelah api mulai mereda.

Ketika mendekati makam Mama, Papa sudah lebih dulu bertindak. Dia menyalakan lilin dan menatanya di depan nisan, dekat karangan bunga yang diletakkan Cecilia. Aroma manis berasap menguar dari lilin jingga yang dinyalakan. Connor dan Dion membantunya menata makanan di sekitar.

Cecilia dan kedua saudaranya diam ketika Papa memimpin doa. Dia hanya mengatupkan tangan di dada dan ikut merapalkan doa dalam hatinya.

Selama proses pembakaran berlangsung, Papa mengamati nama yang tertulis di batu nisan: Elena Lockwood. Madam Mary pernah mendeskripsikan rupa Mama. Katanya Mama punya rambut merah bergelombang yang serupa dengan milik Cecilia dan Connor. Matanya berwarna cokelat gelap, bersinar layaknya kayu yang dipoles hingga bening. Dia punya karakter yang bebas, keras kepala, tetapi tetap ramah. Bisa dibilang, Connor dan Cecilia memperoleh sebagian-sebagian dari sifat ibu mereka.

Connor pun terpaku pada nama di nisan. Dia berjongkok ke dekat pusara, mengusap dinding marmer rendah di sekitarnya.

"Aku pulang," bisik Connor. "Maaf karena aku tidak bisa menjaga Cecilia selama ini. Tapi dia menjaga dirinya dan adik kami dengan baik."

Dion mengamit tangan Cecilia erat-erat, sementara Cecilia mengusap bahu Connor.

"Cecilia benar-benar mirip denganmu, Mama," Connor tertawa kecil. Matanya yang berkaca-kaca memantulkan cahaya lilin dan api pembakaran ketika menoleh ke arah Cecilia. "Kuharap aku bisa melihatnya tumbuh. Kadang aku masih merasa kalau dia hanyalah adik kecilku."

"Aku memang masih adik kecilmu," timpal Cecilia. "Itu tidak akan berubah."

"Ditambah," celetuk Dion, "aku akan tumbuh lebih tinggi dari Cecilia. Sudah pasti dia akan jadi yang paling kecil nantinya."

"Apa kita harus membahas itu lagi?" erang Cecilia.

"Ya, Dion sudah pasti akan tumbuh lebih tinggi," Connor menyetujui. "Dengan makanan dan latihan yang tepat, kau bisa menambah ukuran ototmu juga, Dion."

Dion mengulas cengiran. "Lalu Cecilia akan jadi yang paling kecil."

"Bisakah kalian tidak bersekongkol membuatku terlihat kecil?" protes Cecilia.

"Jangan bertengkar sini," tegur Papa, langsung mendiamkan ketiganya.

"Maaf, Mama," bisik Cecilia ke arah pusara sang ibu. "Tapi, Dion dan Connor yang mulai duluan."

"Kalau diingat-ingat, kau dan Connor yang duluan membahasnya," ujar Dion.

Connor menyipitkan mata. "Dion, kaulah yang memprovokasi duluan."

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now