23

116 24 3
                                    

Pada ketukan kelima, Espen membuka pintu.

"Bukannya kau masih sakit?" tanyanya, mengamati wajah Cecilia tanpa ekspresi.

Cecilia membetulkan pegangannya pada alat lukis dan kertas gambar yang dibawa. "Aku sudah merasa lebih baik. Boleh aku masuk? Ada yang perlu kita bicarakan."

Espen bersedekap, mengamati barang-barang yang dibawa Cecilia dengan alis terangkat. "Kalau ini soal pengunduran dirimu, maka bicarakan saja pada Freya."

"Dengarkan dulu." Cecilia mengisyaratkan agar Espen memberinya jalan masuk. Pemuda itu bergeser dengan malas. "Jaromir bilang kau bisa menggambar."

"Oh?" Espen menggaruk tengkuknya. "Masa?"

Semua peralatan yang dibawa Cecilia kini diletakkan di atas lantai. "Naga pertama yang akan dipelajari adalah naga daun. Aku ingin kau membantuku membuat ilustrasi lengkap dengan warna. Menurutmu, kertas ini sudah cukup besar?" Cecilia menggelar kertas yang Dion belikan di pasar tadi sore. "Aku tidak terlalu pandai menggambar atau mewarnai, tapi—"

"Tunggu sebentar." Espen berjalan mendekat dan duduk di seberang Cecilia. "Ini artinya kau masih ikut mengajar?"

"Tentu saja," Cecilia menjawab heran. "Bukankah itu sudah jelas?"

"Freya bilang kau mungkin saja menyerah setelah serangan tadi."

"Aku memang mau menyerah dan kabur ke hutan untuk menjalani pengasingan, tapi kita coba cara ini dulu," jawab Cecilia sambil membantu menyiapkan alat gambar satu per satu dan meletakkan Ensiklopedia Naga di atas pangkuannya.

Espen membuka kotak berisi pastel, meneliti warna-warna di dalamnya. "Kau bilang tidak bisa menggambar, lalu ini dari mana? Kelihatannya sudah lama tidak dipakai."

"Kakakku sempat tertarik untuk melukis, atau begitulah kata pengasuhku dulu. Lalu, dia beralih ke seni mengukir dan ternyata lebih menyukainya." Cecilia merentangkan kertas yang hendak digunakan. "Sepertinya kita butuh alas. Omong-omong, pensilnya sudah kuasah."

Espen mengamati pensil yang akan digunakan, lalu menggeser kertas ke lantai yang tidak ditutupi karpet. Dia meraba permukaan kertas, memastikan tidak ada celah yang mengganggu. "Seperti ini sudah bisa."

"Aku butuh gambar naga secara keseluruhan, detail sisik, kuku, sayap, dan detail daun firnen."

"Baik, nona," dengus Espen. "Akan kugambar naga secara keseluruhannya dulu. Kau luruskan kertas yang masih tergulung."

Cecilia melakukan apa yang disuru, sementara Espen membuat garis bantu dengan pensil. Keseriusan dan keluwesan tangannya dalam bergerak di atas kertas memang tidak disangka-sangka. Orang tidak bakal percaya kalau tangan itu sebenarnya bisa meremukkan seorang anak kecil.

"Aku sudah melakukan tugasku," Espen berkata tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya, "lalu kau akan apa?"

Cecilia tidak punya rencana khusus, tetapi dia menyampaikan garis besarnya. Sesekali Espen melirik ke arahnya, membuat suara Cecilia memelan. Dia bersiap menerima komentar pedas pemuda itu, tetapi Espen melanjutkan pekerjaan tanpa komentar. Begitu Cecilia selesai bicara pun, Espen tetap diam. Wajahnya terlihat netral, tidak ada penolakan atau persetujuan.

"Jadi?" Cecilia meminta pendapat. "Kalau kau keberatan, aku akan membatalkannya."

"Tidak, begitu boleh saja." Espen mulai menggambar bentuk tubuh naga daun, dibantu oleh kerangka dasar yang sudah dibuat sebelumnya. "Aku agak mengkhawatirkan reaksi para penyihir."

Cecilia menghela napas. "Terserah mereka mau berpikir seperti apa. Aku bukannya mau mencekik seseorang. Lagi pula, aku selalu menjadi contoh yang baik untuk anak-anak, bukannya malah menyuruh mereka menyerang orang tidak dikenal."

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now