36

99 29 3
                                    

Setelah berdiam di lorong hening selama hampir semenit, Cecilia baru bisa menghimpun keberanian untuk mengetuk pintu kamar Connor

Terdengar gerakan langkah yang cukup cepat dari dalam kamar sebelum akhirnya pintu dibuka.

"Kurasa sudah saatnya kita bicara lagi?" tanya Connor. Sebuah senyum terulas di bibirnya.

"Ya," Cecilia menjawab pelan, balas tersenyum simpul. "Boleh aku masuk?"

Kamar lama Connor belum sempat dibersihkan sehingga sang kakak masih harus menempati kamar tamu. Dulu Cecilia masih rajin membereskan kamar tersebut bersama Madam Mary. Akan tetapi lama-kelamaan, kebiasaan itu tidak lagi dilakukan.

Perhatian Cecilia tertuju ke bagian atas nakas di samping ranjang. Terdapat dua hasil ukiran kayu yang sudah selesai dibuat, sementara satu lagi masih dalam proses pengerjaan. Dua yang sudah selesai berupa ukiran burung robin dan bunga sederhana. Sementara yang masih dalam proses pengerjaan memperlihatkan unsur floral yang lebih rumit.

Cecilia tidak tahu harus mulai bicara dari mana demi membantu menuntaskan masalah kakaknya. Kalau dia mau membahas akar dari permasalahan yang dihadapi Connor, maka kelahirannya Cecilia-lah yang harus dibahas. Malam ini bukan saatnya untuk membicarakan sesuatu seberat itu.

Cecilia sudah punya rencana. Kalau Connor tidak ingin meluruskan soal penculikannya, setidaknya dia harus berbaikan dengan Papa.

"Connor, kita perlu bicara."

Sang kakak menghempaskan diri ke ranjang, kemudian merenggangkan tubuh sambil mendesah pelan. "Sungguh? Kupikir sekarang saatnya membaca dongeng. Apa kau ingat, setiap kali bermimpi buruk kau selalu masuk ke kamarku?" ungkit Connor. "Kau akan menarik-narik selimutku, lalu kita akan tidur bersama dalam balutan selimut. Seperti omelet."

Cecilia tidak mengingatnya dengan jelas. Hanya samar-samar. Tapi dia ingat sensasi aman yang melingkupi dirinya saat berada bersama Connor setelah dilanda mimpi buruk. Cecilia terkekeh pelan. "Dion juga begitu denganku."

"Menjadi kakak itu susah-susah gampang, tidakkah demikian?"

Cecilia tersenyum. "Begitulah. Tapi, bukan itu yang akan kita bicarakan malam ini." Dia duduk di tepi ranjang. "Ini soal Papa."

"Kenapa dengannya?"

"Kurasa... akan lebih baik kalau kau mencoba bicara padanya," ujar Cecilia, berusaha hati-hati dalam menyampaikan maksudnya. "Pertemuan kalian diawali dengan... yah, campur aduk. Namun, dia tidak kelihatan marah denganmu."

Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah Cecilia selesai bicara. Dia akan berpikir Connor sudah tertidur, karena suara napas sang kakak pun terlampau tenang.

"Aku akan mencobanya demimu," balas Connor. "Kalau itu bisa membuatmu bahagia-"

"Aku akan bahagia kalau kau sungguh-sungguh berbaikan dengan Papa," potong Cecilia. "Bukan karena terpaksa, atau karenaku. Tapi karena kau benar-benar menginginkannya."

Connor mendenguskan tawa geli. "Kalau kau menungguku menginginkan hal itu, bisa-bisa aku tidak akan pernah melakukannya."

"Connor-"

"Kenapa kau bersikeras, Cecil?" Connor duduk dan bersandar pada kepala ranjang. "Apa yang pernah pria itu lakukan sampai kau membelanya?"

Cecilia bisa merasakan perdebatan yang akan segera terjadi, tetapi dia tidak ingin mundur dengan mudah. "Papa menghidupi keluarga ini, termasuk diriku. Dia mengizinkanku membantu Freya. Dia melindungiku agar tidak dikirim ke Akademi Sihir," Cecilia menyebutkan satu per satu. "Ya, aku pernah marah pada Papa, tapi pada akhirnya itu tidak penting, karena dia ayah kita. Dia telah berusaha."

Daughter of Naterliva [#1]Where stories live. Discover now