17

116 27 7
                                    

Cecilia harus mengawasi Dion agar tidak mencuri muffin cokelat yang baru selesai dipanggang, tak peduli meski sang adik terus bergelayut manja, mengharapkan Cecilia akan luluh.

"Jangan mengikuti taktik Norle, kau tidak akan berhasil," ujar Cecilia sambil mendorong Dion menjauh. "Tolong lihat apakah tamu kita butuh sesuatu."

"Apa yang mereka butuhkan? Memangnya kita membuka penginapan?" Dion mulai merengek. "Satu saja, Cecil."

"Nanti dulu, Dion. Kuenya baru saja jadi." Cecilia membereskan peralatan membuat kue yang masih tersebar di atas meja. "Kurasa kayu bakar di kamar tamu sudah habis. Minta pelayan untuk mengisinya lagi."

Sambil bersungut-sungut, Dion segera mengerjakan apa yang Cecilia minta. Sembari menunggu adiknya kembali, Cecilia menjerang air. Baru saja hendak mengambil kotak daun teh, seseorang tengah berdiri di belakangnya, sibuk mengunyah muffin.

"Espen, lain kali tunggu sampai kuenye dingin," Cecilia menegur. Namun, berhubungan setengah dari muffin sudah lenyap ke perut pemuda itu, maka Cecilia memilih mengurus air yang sedang dipanaskan.

Espen tak kunjung pergi; balas bicara pun tidak. Dia mengunyah sisa kuenya tanpa ekspresi. Cecilia menyiapkan teko dan beberapa biskuit.

"Ini, coba ini saja." Cecilia mengulurkan setoples biskuit buatannya. Espen ragu-ragu, tetapi masih mengulurkan tangan ke dalam toples untuk mengambil sebuah biskuit dan memakannya.

Derap kaki Dion terdengar ribut di sepenjuru rumah. "Semua sudah beres!" seru Dion.

"Duduklah, Dion. Kita makan biskuit dan teh dulu. Espen, bisakah kau memanggil Jaromir dan Freya?"

Espen hanya menjawab dengan dehaman tidak jelas lalu berjalan pergi tanpa suara.

"Aneh sekali dia," dengus Dion. "Dan kenapa dia boleh makan muffin duluan?"

"Dia mengambilnya tanpa izin." Cecilia menyiapkan gelas dan menuang teh yang baru jadi. "Kau baik-baik saja?"

Dion mengangguk, menatap teh dan tumpukan biskuit di piringnya tanpa semangat.

"Ada apa?" Cecilia duduk di sebelah adiknya. "Kau kelihatan cemas."

Dion mengamati biskuit tanpa selera. Bahkan pesona muffin pun tak terlalu memikatnya lagi. "Kau benar-benar harus bekerja sama dengan orang seperti itu?"

"Seperti siapa? Espen?"

Dion mengangguk kecil.

Cecilia menuangkan teh ke cangkir Dion. "Iya. Tapi, Espen bisa bersikap baik."

"Bukannya seringkali dia jahat?" bisik Dion. "Dan waktu itu, ketika kau bertemu naga tanah dan naga batu untuk pertama kalinya, dia mengejekmu macam-macam, 'kan?"

"Aku akan baik-baik saja," Cecilia berucap yakin. Dia mengacak-acak rambut Dion lalu memeluk sang adik dengan gemas, tak lupa memberi kecupan di kepala Dion.

"Wah, andai saja adikku bisa dipeluk juga," Freya berkomentar sambil memasuki ruangan, diikuti oleh Jaromir. Espen menyusul paling akhir, memasuki dapur dengan wajah masam.

"Andaikan kakakku bersikap keibuan alih-alih seperti macan betina," Espen balas menyeletuk. "Lebih tepatnya macan betina yang stres."

"Andaikan adikku bisa bersikap lebih sopan kepada kakaknya."

"Andaikan kakakku tidak gila hormat."

Jaromir mendesah. "Andaikan teman-temanku lebih waras." Pria itu menoleh ke arah Cecilia dan Dion. "Kalian kelihatan tidak pernah bertengkar."

"Tentu saja pernah, apalagi setiap Cecilia melarangku makan kue atau biskuitnya," ujar Dion.

"Karena kau makan dalam jumlah tak masuk akal, Dion," Cecilia beralasan. "Terlalu banyak gula tidak baik bagi kesehatan, aku yakin kau lebih tahu dariku."

Daughter of Naterliva [#1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang