11. Kehidupan Dua Sisi

2.8K 297 39
                                    

Tepuk tangan bergemuruh, Robin dengan bangga melihat ke arah putranya yang berkalung medali perunggu. Baru permulaan dan itu sudah cukup bagus, Alec masih punya banyak waktu meraih perak maupun emas. Alec hanya punya sedikit waktu mempersiapkan turnamennya, dan perunggu itu adalah hasil kerja kerasnya. Putranya menjadi lebih bandel lagi sejak kepergian istri dan ibunya, dia mengiringinya dengan prestasi. Robin demikian bangga, Alec bukan anak manja yang cuma bisa merajuk, meski tingkahnya kadang membuat ayahnya menggelengkan kepala.

Setelah kepulangan oma dan opanya, mobil baru itu segera dipakai balapan. Alec memamerkan kemenangannya kepada omanya yang menyambutnya dengan tawa. Alec mulai agak memiliki kehidupan semenjak itu. Kenakalannya bertambah dan Robin tidak keberatan, beberapa kali Alec juga menggandeng teman gadisnya. Robin hanya berpesan, jangan sampai Alec menghamili anak orang lagi, cukup Jully atau hidup Alec akan kembali berantakan.

Alec masih belum melupakan Jully, di kamar yang pernah mereka tinggali sebelumnya, banyak terpasang foto mereka berdua. Pakaian Jully juga masih tersimpan rapi di sana. Alec menyimpannya sebagaimana dia menyimpan sisa cinta kepada ibu dari anaknya itu. Suatu hari Robin menangis di dekat pusara istrinya, hatinya terasa remuk lagi begitu melihat Alec pulang membawa satu set baju bayi berwarna pink. Sepasang sepatu kecil itu begitu lucu terpajang di atas meja. Mungkin Alec merindukan putrinya, sebagaimana Robin juga menginginkan untuk melihat cucunya.

"Kamu hebat jagoan," puji Robin dengan senyum lebar.

"Anak siapa dong?" tanya Alec menyombongkan medali yang terkadang di dada.

"Memang kamu anaknya siapa?" tanya Robin menggoda.

"Putra Robin dan Aline Andreas," jawab Alec sambil tertawa.

"Kau tau? Ayah bangga, sangat bangga," Robin kembali memeluk putranya.

"Harus bangga dong, kerja keras nih dapet medali ini," jawab Alec yang membalas pelukan ayahnya.

"Aku juga bangga, keponakanku yang jago gelud dapet medali perunggu," kata omnya yang tiba-tiba muncul.

Mendengar suara itu tidak urung Alec jadi merengut, sesekali dia melirik ke arah manusia yang memakai jas dan berperut sedikit buncit itu. Siluman labi-labi ini kenapa ikut kemari, Alec sangat risih bertemu dengan makhluk yang merupakan adik satu-satunya dari ayahnya. Meski kakak beradik tapi sifat mereka jauh berbeda, Roland itu bermulut tajam dan sangat cocok bila beradu mulut dengan Alec. Meski selalu ribut tapi Roland tetap tidak kapok, karena bagaimana pun Alec adalah keponakannya satu-satunya. Alec tampan juga pintar meski dia jarang mau belajar. Dia lebih suka gelud dan menghajar orang.

"Ayah, kenapa labi-labi ini muncul kemari?" tanya Alec melirik kesal kepada om Roland.

"Alec, yang sopan sama om," kata Robin melerai sebelum keributan terjadi.

"Padahal aku datang mau beri selamat, keponakan songong," balas Roland sudah mulai memantik api.

"Om yang songong," sahut Alec kesal.

Roland berkacak pinggang melihat ke arah keponakan satu-satunya itu. Untung saja anak-anaknya tidak ada yang sesongong bocah ini. Coba kalau Leona dan Leo bersikap seperti ini, pasti akan langsung Roland masukkan karung saja dan dibuang ke sungai biar diambil oleh siluman buaya ijo. Robin terlalu memanjakan anak ini, memang dia berprestasi tapi kenakalannya juga seimbang.

"Jangan gitu, Om datang mau jemput kamu," kata Robin sambil merangkul putranya.

"Kan ada ayah, kenapa aku harus ikut labi-labi ini?" tanya Alec menunjuk tepat di wajah Roland.

"Ayahmu mau keluar negeri satu minggu, kamu tinggal sama om saja, lumayan bisa jadi teman gelud Leo," kata Roland memberitahu.

"Mending di rumah sama budhe Sum," gerutu Alec dengan sikap songong seperti biasa mengeloyor pergi.

Mommy, Please Say Yes !Where stories live. Discover now