65. Lonely Is Not Being Alone.

2.2K 338 80
                                    


Alec sudah diijinkan pulang, tapi Anggi masih tidak mengijinkan Alec bepergian keluar kota. Dan sementara jangan pergi ke kantor dulu sok bekerja bagai kekurangan duid saja. Alec menyanggupinya, berada di rumah sakit sangatlah tidak menyenangkan, pemandangan itu saja mana calon mertua gagal itu terus saja muncul setiap hari. Dia ingin beristirahat dengan tenang di rumah menikmati kesendirian dan mengistirahatkan otaknya yang kacau.

Hanya ada Mita, yang mana paling setia menemaninya sejak rawat inap hingga pulang ke apartemen. Bagaimana lagi, sudah nasib sepertinya. Sudah dibilang dia sebaiknya pulang saja tapi katanya tak tega, jadilah dia berada di sini menemani dan menyediakan segala kebutuhannya. Mita memang asisten terbaik. Meski rese ketika bergabung dengan Ami, tapi mereka tetap yang terbaik. Tidak ada lagi soalnya yang sanggup bersamanya selain dua orang itu.

"Mau kemana Pak?" tanya Mita ketika Alec keluar kamar.

"Minum," jawabnya menunjuk gelasnya yang sudah kosong.

"Kenapa gak bilang, tadi bisa saya ambilkan Pak," kata Mita.

"Gak usah, aku juga biar gerak," jawab Alec yang menuang air dari teko kaca dan meminumnya.

"Pak, Aleccia hari ini telpon 83 kali, chat hingga 31." Mita melapor.

"Uhukkk ... uhukkk ... !" Alec keselek.

"Pak, Pak Alec gak apa-apa?!" tanya Mita kaget.

"Uhukkk ... Ahhhhhh sakit ... uhukkk," batuk karena keselek tak kunjung berhenti. Mita ditanya ada kabar apa kenapa malah memberi kabar yang itu. Kabar tentang perusahaan atau bagaimana. Sudah lama memang tidak menghubungi putri semata wayangnya, napas saja masih kembang kempis kalau ketahuan bagaimana. Anak itu meski terlihat polos tapi kerap sensitif dan tahu kalau ada yang berbeda, meski tidak secara langsung menanyakannya.

Sakit yang ada ini jangan ditanya lagi rasanya, susah payah Alec menahan tapi batuk itu terjadi dengan spontan dan maraton. Tangannya gemetar memegangi dadanya sementara batuk itu terus saja berbunyi. Wajahnya memerah menahan sakit, kenapa tadi pakai keselek segala, sakitnya belum pulih sempurna. Akhirnya dia meringkuk menahan semuanya, dadanya sakit tidak karuan. Gara-gara Mita. Awas saja nanti pecat sajalah.

"Pak, saya telponin dr. Anggi ya?!" seru Mita dengan smartphone tertempel di telinga.

Mau mengangguk tapi malas, hidup saja rasanya sudah di ujung. Rasanya seperti mau mati, sakitnya tidak karuan lagi. Sekarang bahkan dipakai bernapas pun sakitnya minta ampun sementara batuk itu masih ada sesekali. Yang bisa dilakukannya hanya meringkuk di atas lantai, merana. hingga entah berapa menit kemudian Anggi datang dengan tergesa.

"Lec, Alec ... kenapa? Keselek apa sih?" tanyanya memeriksa.

"Sa ... kit," gumamnya lirih memegangi dada. Begini amat hasil gelud dengan kakak ipar. Tahu begitu kemarin hajar saja biar sama benjud, eh kalau Jully mengamuk bagaimana? Ah sudahlah, dada ini rasanya semakin sakit.

"Iya, aku ngerti ... sini tanganmu, aku beri painkiller. Intra Vena saja biar cepat. Tak ada masalah kan?" tanya Anggi yang segera memasang turniket sementara Alec hanya pasrah saja. Rasanya seperti di pinggir akhirat.

"Dok, gimana?" tanya Mita yang ikut nimbrung kuatir, jangan saja pak boss mati habis ini, cari majikan yang duid lancar dan bonus banyak itu susah. Kalau rese sabarin saja.

"Aku beri painkiller, coba sini bantuin pegang." Anggi dengan cekatan memasukkan  beberapa cc cairan ke pembuluh darah temannya.

Alec hanya diam dan pasrah, belum ada satu menit rupanya obat itu sudah bereaksi. Sakit di dadanya berangsur mereda dan wajah itu sudah tidak lagi memerah menahan sakit. Anggi masih berada di hadapannya dan memasang plester di punggung tangannya. Entah apa yang dilakukannya yang pasti dia berterimakasih. Ada gunanya juga manusia ini.

Mommy, Please Say Yes !Where stories live. Discover now