45. Bos Somplak

17.8K 1K 36
                                    

Alec baru pulang jogging ketika melihat Jully hanya bengong menggaruk kepala di depan mobilnya yang kapnya terbuka. Dilihat dari sisi mana pun sepertinya tidak ada yang salah dengan mobilnya, karena memang Jully lebih memahami anatomi manusia daripada body dan mesin sebuah mobil. Kabel yang kesana kemari itu mengingatkannya dengan usus duabelas jari juga usus kecil, mungkin bulatan itu adalah lambung dan sebelah sana itu paru-paru, sementara didekatnya itu adalah sepasang ginjal, entahlah.

Mobilnya mogok, tadi ketika mau memanaskan mobilnya malah anteng saja tidak ada respon ketika tangan Jully memutar kuncinya. Dan dengan percaya diri dia membuka kap mobil seperti yang biasa dia lihat di film-film, sayangnya meski dilihat hingga beberapa kali tetap saja tidak mengerti, masalahnya ada di mana. Memang sebaiknya Jully mengurusi orang sakit saja di bengkel manusia. Kalau begini rasanya merana, pergi ke klinik harus naik apa.

"Ada orang ganteng lewat, gak mau godain?" tanya Alec dengan percaya diri menghampiri.

"Gak usah bercanda," jawab Jully galak.

Ditanya baik-baik kenapa jawanya masih galak saja, sesekali jinak macam anak kucing kan enak. Sudah tinggal bersama agak lama tapi tingkah masih begitu saja. Ada orang ganteng kenapa dicuekin, mana masih suka tarik ulur, ini hati dia pikir karet gelang apa bagaimana. Ini kalau tidak ada bocah berwujud Aleccia, rasanya Alec ingin menyerah saja. Ada begini orang yang galaknya amit-amit, waktu kecil lho imut.

"Pagi udah marah aja, makin cantik kan jadi gemes." Alec semakin senang menggodanya.

"Lec, sudah cukup kepalaku pusing." Jully berkacak pinggang dengan merana.

"Dokter pusing kok sambat, obati sendiri," kata Alec mengejek.

"Bisa gak sih gak usah ngejek?" tanya Jully yang masih mempertahankan sewot.

"Kenapa?" tanya Alec peduli. Marah terus, padahal kalau ada masalah tinggal bilang.

"Mogok," jawab Jully lemah.

"Cuma mogok aja, pake mobilku aja." Alec menawarkan si mobil sport hitamnya. Dikira ada apa ternyata cuma mogok.

"Lah kamu gimana?" tanya Jully kuatir, kan manusia ini juga perlu kerja.

"Gampanglah, biar dijemput Ami," jawab Alec enteng.

Terhenyak, berani sekali menyebut nama wanita lain. "Ami siapa?" tanya Jully segera, pacar?

"Ada deh," jawab Alec menggoda Jully.

"Siapa?" tanya Jully menuntaskan penasaran.

"Mau tau?" tanya Alec mendekat.

"Iya," jawabnya dengan serius.

"Cium dulu dong," bisik Alec mesra.

"Plaaakkkk ... !!" sebuah tamparan mengenai pipi.

"Ahh," desahnya ketika panas itu kembali menjalari pipi, ini tampol yang keberapa semenjak tinggal di sini. Wajahnya sudah bagaikan sandsack, tempat pelampiasan kemarahan ibu dari anaknya ini.

Alec berkacak pinggang menghela napas dalam, pipinya yang kiri terasa panas. Jully sejak dulu hingga sekarang galaknya kenapa masih tetap sama, dan tangan itu kenapa ringan sekali menampar seorang pria. Memang kesal, tapi sejurus kemudian Alec menggeleng dan tertawa, kenapa pagi begini sudah harus sarapan tamparan dari tangan seorang wanita. Dengan sedikit menggerutu Alec mengeluarkan smartphone dari kantungnya dan mulai scrolling.

"Nyium itu pake bibir, bukan pake tangan." Alec membisikkan dengan nada kesal.

"Pak Alec mau ditampar lagi?" tanya Jully galak.

Alec hanya tersenyum sinis dan menelpon seseorang, "Mi, jemput!" perintahnya.

"Baik Pak," jawab Ami dari seberang.

"Pake mobil 4 seaters," tambahnya.

"Pasti Pak, kalo 2 seaters saya ditaruh mana," jawab Ami pintar.

"Pinter, buruan," perintahnya lagi.

Jully hanya mendengarkan saja, Ami itu siapa dan kenapa dia bisa dengan mudah mengiyakan saja ketika disuruh menjemput Alec. Apa wanita itu adalah salah satu teman kencan, teman tidur, teman apa. Lagipula mereka sepertinya terdengar dekat ketika berbicara di telpon. Jully segela menggeleng dan menepis segala pikiran. Tidak, dia tidak sedang cemburu.

"Apa liat-liat? Kalo suka bilang aja gak usah gengsi," kata Alec sinis.

"Geer," jawab Jully melengos.

"Galak," bisik Alec.

"Bodo,"

Kalau begini, kapan akur?

***

"Kaus kaki Aleccia yang sebelah ada di mana Mommy ... !!" baby of pterodactyl pagi sudah berteriak.

Alec hanya menggeleng saja mendengar keributan itu, ibu dan anak itu selalu mempunyai alasan untuk ribut di setiap waktu dan tidak memandang tempat. Si bocah tadi turun membawa kaus kaki tapi ketika dipakai ternyata hanya sebelah saja, entah satunya jatuh di mana. Kenapa ada saja acaranya, hanya berangkat sekolah saja dramanya bisa seperti ini. Alec memasang dasinya dengan tenang sementara smartphone di meja sampingnya tidak berhenti berdering, Ami menelpon.

"Ya Mi," jawab Alec.

"Bapak, ini Bapak di mana? Saya ketuk pintu dari tadi gak ada yang buka. Tolong dong Pak kalo minta jemput itu pintunya dibukain," tanya Ami bingung.

Alec segera melongok keluar, ketuk pintu apanya dari tadi. Di luar saja tidak ada siapapun. "Gak ada siapapun tuh di luar, emangnya kamu jemput di mana?" tanyanya dengan ringat tanpa dosa.

"Di apartemen lah Bapak kayak biasa," jawab Ami polos.

"Yang minta dijemput di apartemen siapa? Kan aku gak tinggal di sana lagi sekarang," tanya Alec polos.

"Lahhhh, ya Tuhan Bapak kenapa gak bilang?" tanya Ami mengeluh.

"Ini bilang," jawab Alec.

"Bilang daritadi kek," gerutu Ami.

"Kamu gak tanya, gimana sih kamu ini. Udah cepetan jemput anakku mau sekolah!" perintah Alec galak.

"Bapak, mohon maap. Alamatnya Pak," pinta Ami.

"Rumah emaknya Aleccia," jawab Alec cuek.

"Iya alamatnya emaknya Aleccia di mana Bapak?" tanya Ami merana.

"Tanya Pak Amar, dia pernah nganter ke sini." Alec memerintah semena-mena.

"Biar cepet Bapak shareloc saja ya Pak," rayu Ami.

"Kamu kok merintah aku Mi?" tanya Alec tegas.

"Bukan gitu Bapak aelah. Ini saya sama Pak Hasan Pak, hari ini bukan jadwalnya pak Amar," jelas Ami.

"Itu urusan kamu, sekretaris kok gak pinter," balas Alec tidak mau tahu.

"Oke deh Bapak, siap," jawab Ami memelas.

Alec kembali merapikan dasi, dalam hati dongkol dan akhirnya bibirnya menggerutu. Ami itu sudah ikut bekerja dengannya sejak mereka sama-sama baru lulus kuliah dan hingga kini. Seharusnya Ami lebih pintar, masa urusan boss-nya ada di mana kok tidak tahu, malah dengan santai pergi ke apartemen. Jelas saja sepi, di sana tidak ada orang. Sepertinya Ami ini sudah perlu di upgrade.

Sementara itu Ami di sana sudah berteriak sebal seperti orang gila, berkali dia mempertanyakan kenapa punya boss kelakuannya seperti ini. Memangnya kepala sekretarisnya itu adalah google atau bagaimana yang bisa tahu segalanya. Padahal tinggal share lokasi saja dan dia akan datang secepat kilat dan semuanya berakhir bahagia. Entahlah rasanya Ami sudah mau mengamuk, mengirim shareloc saja apa susahnya, heran.

"Hhhhhhh, jadi pengen nyewa dukun santet sekalian dukun pelet, kali aja pak boss jadi rada jinak." Ami berteriak sebal.

"Jangan Mbak, dosa," sahut pak Hasan.

"Aaaaarghhhhh ... ! Kezel,"

***

Mommy, Please Say Yes !Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz