73. All you need is love.

19.7K 1.1K 71
                                    

Sejak bapaknya kembali, sepertinya anak itu tidak pernah melewatkan satu momen pun, setiap hari menempel seperti bekicot yang menempel pada dinding. Dia sudah belasan tahun, tapi tingkahnya tetap seperti bocah berusia lima tahun yang harus perhatian juga kasih sayang. Dia mengoceh bercerita banyak hal hingga mulut berbusa, kalau dibuat versi cetak mungkin sudah menjadi bookset, 4 season.

Ada personel lengkap kali ini sayangnya Lana baru saja berpamitan pulang dengan alasan jemuran. Menyisakan satu keluarga kecil dan salah satu orang asing, Finn. Tapi setidaknya mereka rukun, ya setidaknya di depan Aleccia. Karena tidak ada seorang pun yang ingin mencari gara-gara dengan bocah itu atau mereka akan ribut sendiri.

"Aleccia, turun Nak. Daddy masih sakit." Jully sekali lagi memperingatkan Aleccia yang sepertinya tidak ambil peduli.

"Siapa bilang?" balas Aleccia dengan cuek merangkulkan tangannya ke pundak bapaknya.

"Kan kemarin habis anter Daddy ke dokter, gimana sih? Lupa?" tanya Alec mencibir hidung bocah yang selalu menganggap pangkuannya adalah tempat ternyaman di dunia.

"Ke dokternya sudah kemarin, Daddy sudah sembuh," kilahnya tidak perduli.

"Boleh nangkring disini, tapi jangan nyender ya," kata Alec menunjuk dada, retak itu belum pulih seutuhnya.

"Enak nyenderlah Daddy," balas Aleccia dengan cuek, lagi.

Dari semuanya sepertinya tidak ada yang mempan, Finn hanya mengamati saja tanpa bicara. Mengurus anak satu saja tidak bisa mau menikah lagi. Baik Jully dan Alec, keduanya berkata tapi anak itu masih juga duduk di sana padahal sudah jelas diberitahukan kalau bapaknya masih belum pulih total. Finn terus saja mengawasi, kepada keponakannya yang terlihat riang mencandai bapaknya. Dia terlihat begitu bahagia.

"Aleccia, turun, sit on the couch. Not on daddy's lap ... !" suara Finn terdengar tegas.

Seketika Aleccia menggeser tubuhnya dari pangkuan Alec tanpa mendebat lagi, dari semuanya memang yang paling ditakuti cuma Finn. Sejak masih berada di Melbourne, ketika semua memanjakannya hanya Finn saja yang demikian tegas. Sehingga, ketika bocah itu bandel selalu saja akhirnya pamannya itu yang disodorkan untuk membereskannya. Memang itu mungkin gunanya seorang paman.

"Mendingan?" tanya Jully menyodorkan air.

"Thank you," balas Alec meraih gelas, lega rasanya.

"Sesak? Infeksi?" tanya Jully. Alec terdiam beberapa lama tapi kemudian mengangguk dengan pelan. "Komplikasi dari fraktur?" tanyanya lagi.

Alec hanya mengangguk lagi, seandainya dia tidak ingin membahas ini. Dia lebih suka merasakannya dalam diam, menikmatinya sendirian sebagaimana lelaki sejati. Dia terbiasa tidak mengeluh, banyak hal pahit di dalam hidupnya yang telah mampu dilewati, kalau hanya yang seperti ini, bukan masalah besar.

"Sorry." Finn mengangkat minuman kalengnya, setelah berucap maaf.

"Maafmu ga ada gunanya Finn, kamu minta maaf pun aku ga langsung sembuh." Alec meminum lagi air di gelasnya itu tanpa berniat menatap kakak Jully itu.

"At least I say sorry," kata Finn yang sepertinya dia juga tidak terlalu peduli.

"Whatever," balas Alec tidak ingin terpancing.

Memang katanya dia sudah ke dokter, entah  dokter apa yang pasti setelah itu anaknya ribut minta adek. Jadi heran waktu itu Alec periksanya model apaan. Jully membuka sedikit baju Alec tanpa permisi tapi sepertinya yang punya badan tidak keberatan.

"Memarnya udah ilang, tapi kelihatan kalo itu belum pulih," kata Jully, dari cara bernapas saja terlihat jelas.

"Ya, begitulah." Jawab Alec yang tidak ingin membesarkan.

Mommy, Please Say Yes !Donde viven las historias. Descúbrelo ahora