86. Boys Will Be Boys.

2.1K 143 58
                                    

Percakapan yang begitu absurd antara dua orang, yang satu sedang menggenggam cemburu dan yang satunya berusaha menjelaskan tapi dia tetap tidak paham salahnya apa. Jully Tentu saja menginginkan sebuah komitmen kalau Alec ingin kembali kepadanya lagi, tapi rupanya pria itu masih tetap saja seperti dulu bermain perempuan di setiap kesempatan.

Kalau begini, apa yang harus dipertahankan lagi. Pernikahan itu bahkan belum digelar, seumpama tidak mampu bukankah sebaiknya dihentikan sampai di sini saja. Alec tadi sudah mengatakan setumpuk alasan kenapa dia begitu, mungkin kali ini Jully harus mengalah dan memberinya kesempatan.

Cangkir itu sudah berpindah tangan, memang mereka ini jarang sekali berbicara dengan dalam seperti ini. Ya memang paling hanya bicara sebentar, membicarakan hal yang ringan. Mau bicara dengan serius jelas tidak bisa, putri satu-satunya itu akan selalu ikut bersama. Dan kali ini entah dia ada di mana, suara anak itu tidak terdengar dari manapun.

"Dulu itu, kamu manis loh Lec," kata Jully yang sepertinya sudah mulai berdamai dengan hatinya dan juga kerusuhan yang disebabkan oleh pria yang berada di sebelahnya ini.

"Kalau ngomongin manis sampai sekarang aku juga masih manis lah Jul," sanggah Alec tidak terima.

"Kamu dulu, cewek kayak gini juga gak sih?" tanyanya.

Alec terlihat menghela nafas dalam, mau bohong atau pencitraan juga percuma. "Aku sih udah main cewek sejak dulu."

"Lana dulu pernah bilang lho, ketika aku hamil kamu juga masih mengejar-ngejar cewek di sekolah." Jully tersenyum kecil, memang kurang ajar sekali orangnya ini.

"Ya kan aku kurang kerjaan, pikiranku juga gak karu-karuan. Ya sudah aku cari hiburan saja, dimulai dari situ sih. Aku dulu juga gak brengsek amat kok." Alec menyahut dengan pelan.

"Boleh tahu gak, aku ini wanita nomor berapa di hati kamu?" tanya Jully yang memang sengaja mencari masalah sepertinya.

Sebuah pertanyaan yang konyol, tapi bukankah dia ingin semuanya transparan mulai dari sekarang? malah tidak akan berbohong. "Kamu nomor 2."

Jully sedikit tersenyum, baguslah kalau nomor keluar. Setidaknya dia bukan wanita dengan nomor setelah satu lusin atau satu kodi. Meski begitu dia merasa tidak nyaman hatinya, kenapa harus nomor 2, kalau dia ingin menikahinya bukankah posisinya haruslah di nomor satu.

"Siapa wanita yang beruntung itu?" tanya Jully seperti tidak rela tapi berusaha menerima.

"Aline van de Graaf," jawab Alec dengan kalem.

"Aline?" Jully mengernyitkan keningnya.

Mau tidak mau Jully harus tersenyum, rasanya dia seperti terlihat bodoh sendiri. Tentu sajaAlec yang akan menyebutkan nama itu sebagai yang pertama, dia tidak akan tergantikan oleh siapapun meskipun itu dirinya juga Aleccia. Alec memujanya sejak pertama kali dia bernapas dan hingga nafas terakhir dari wanita itu. Aline van de Graaf tetap akan menjadi cinta pertama dan selamanya bagi pria ini. Dia adalah seorang wanita berketurunan Belanda yang juga berambut coklat seperti Alec.

"Kalau dengan dia, aku bersedia mengalah." Jully menyimpulkan senyum.

"Aku tahu, sayangnya, dia juga pergi setelah kamu pergi. My number one and number two, Semuanya pergi meninggalkanku dalam waktu yang bersamaan, semuanya pergi tanpa pamit." suara Alec terdengar lirih dan parau.

Jully mengingat itu, wanita berketurunan bangsawan Belanda itu pergi hanya beberapa bulan setelah dirinya pergi ke Melbourne dengan membawa janin yang berada di perutnya. Kehilangan yang bersamaan itu membuat seorang bocah laki-laki yang berusaha belasan tahun itu goyah. Dia sendirian, kesepian. Ayahnya juga jarang ada di rumah. Sebagai putra satu-satunya sudah bisa dipastikan kalau Alec itu begitu bergantung kepada ibunya.

Mommy, Please Say Yes !Where stories live. Discover now