12. Slices Of Life

2.7K 290 51
                                    

"Kurang kerjaan amat sih, kenapa pula aku yang kudu disetor ikut Olimpiade mewakili sekolah? Mana nanti siang pake disuruh try out segala, sial." Alec meracau meluapkan kekesalan, sementara Sandy, teman baiknya hanya tertawa terbahak.

Waktu berjalan, sedikit demi sedikit Alec kembali ke dalam kehidupan normalnya. Tidak ada yang tahu kalau dia sudah pernah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan. Dan lagi dia sudah tidak satu sekolah dengan Lana, si mulut ember itu nilainya terlalu pas-pasan untuk masuk ke sekolah Alec. Tidak heran, waktu SMP saja Lana selalu mencontek Jully. Sudah tentu akademis Lana tidak bagus-bagus amat. Alec tentu sangat bersyukur, tanpa ada Lana hilang sudah salah satu pawangnya.

Alec mengeluh, bagaimana mungkin dia yang jadi wakil dari sekolahnya untuk mengikuti Olimpiade Fisika. Alec tidak suka belajar, berulang kali Alec bicara dengan gurunya bahwa nilai sempurna itu tidak sengaja dan dia kebetulan mujur. Tapi gurunya tidak percaya, mereka mengetes Alec lagi dengan sebundel kertas. Alec yang mencari cara agar lolos dari ikut serta Olimpiade akhirnya menemukan cara, dia sengaja menjawab dengan salah waktu try out itu.

Bukannya gurunya membatalkan, tapi mereka malah tertawa. Karena jawaban Alec benar-benar salah semua dan nilainya adalah 0. Alec dengan sengaja membuat kesalahan tapi melupakan ilmu probabilitas. Kalau orang mengawur, soal sebanyak itu pasti ada benar dan salahnya meskipun sedikit. Tapi hasil pekerjaan Alec benar-benar salah semua. Mereka paham itu hanya akal licik anak nakal itu.

"Sabar ya Bro," kata Sandy menepuk pundak Alec.

"Gantiin Sand," pinta Alec kepada Sandy.

"Enak aja, aku gak pinter fisika, pinternya cuma godain cewek," jawab Sandy jujur.

"Kan jadi gagal kita mainnya ya Sand, udah janjian sama si cantik Chiquita," keluh Alec membayangkan kencannya gagal total.

"Makanya jangan pinter-pinter jadi orang, ntar banyak yang manfaatin," sahut Sandy cuek.

Alec menelungkupkan kepala di atas meja, jadi teringat ketika di SMP dulu. Jully itu salah satu siswi yang pintar, kalau ada yang seperti ini pasti Jully yang disetor mewakili sekolah. Jully sekarang sudah sebesar apa, apa dia sehat saja, Alec tiba-tiba jadi kepikiran. Dan juga bayi itu, sudah berapa tahun ini mungkin bayi itu sudah tumbuh lebih besar. Mungkin bayi kecil itu sekarang sudah bisa berjalan dan berlarian.

Hati Alec semburat pedih, dia begitu penasaran akan wajah istri dan anaknya. Jully mungkin semakin dewasa dia semakin cantik. Dan si bayi, entah seperti apa wajahnya. Dia bayi perempuan, apa mungkin dia mirip dengan Jully, ketika ngambek atau merepet mungkin. Rindu ini semakin menancap dalam ketika Alec berusaha melupakan. Bagaimana pun darah Alec mengalir di tubuh bayi itu. Alec ingin bertemu dengannya, entah kapan.

"Ngelamun apa Bro?" tanya Sandy dengan kepo.

"Kepo aja kau!" sembur Alec dengan galak.

"Kasian amat, cuma karena Olimpiade fisika saja jadi tertekan, galak gitu," gumam Sandy menggeleng.

"Bacod aja sik, mau aku hajar?"

***

"Speak in Bahasa, please!" seru Jully kepada Aleccia yang sekarang sudah bisa berlarian kesana kemari.

"Yessh Momi," jawab Aleccia menurut.

"Mama," kata Jully mengajari anaknya.

"Momiiii," jawab Aleccia tetap teguh pendirian.

"Elahhh karepmu," gerutu Jully kesal.

Jully merapikan rambut Aleccia, semakin hari Aleccia semakin gindut saja. Bila tidak mengunyah ya dia mengomel. Baju ini dibelikan oleh Finn dua bulan yang lalu, dan sekarang baju ini sudah sampai pantat saja, dan itu pun hanya separuh saja yang tertutup. Undies-nya masih terlihat, saking Aleccia cepat sekali tumbuh. Aleccia semakin aktif bicara dan bertanya, Jully terkadang kerepotan harus menjawab satu persatu pertanyaannya. Tapi Jully tidak kurang akal, dia melemparkan pertanyaan itu kepada Finn, jadinya Finn yang harus menjawab segala yang ditanyakan oleh Aleccia. Good uncle.

Mommy, Please Say Yes !Where stories live. Discover now