43. Masih Runyam.

17.4K 1K 42
                                    

Hubungan masih rumit seperti biasa, Alec dengan menggebu ingin kembali tapi Jully tetap mencipta batas. Bahkan ketika mereka duduk bersama pun tidak ada mesra-mesranya. Kali ini juga sama, mereka bersama menikmati rintik hujan dengan masing-masing secangkir kopi di tangan. Hanya memanfaatkan waktu, ketika si anak pterodactyl biang kerok itu sedang sibuk di belakang dengan kura-kura Brazil yang dibelikan Alec tempo hari.

"Ini udah malem, kenapa malah minta kopi?" tanya Jully kalem.

"Cuma mau meresapi kehidupan," jawab Alec perlahan.

"Apa hubungannya dengan kopi?" tanya Jully yang memandang benda cair yang menghitam itu.

Alec menyesap lagi kopi itu, panas, pahit tapi menenangkan. Secangkir kopi memang sarat makna, ditambah kafein yang bisa meredakan gemuruh dalam kepala. Wanita di sebelahnya ini begitu keras kepala, umur tidak membuatnya melunak tapi semakin mengeras. Memang ada dosa, tapi bukanlah seharusnya semua bisa diperbaiki kalau dia diberi kesempatan.

"Kamu liat kopi ini? Apa yang kamu lihat?" tanya Alec.

"Ya kopi, hitam ... memang apalagi?" tanya Jully tidak paham.

"Itu kalo kamu hanya memakai mata Jully," sahut Alec.

"Kan kamu cuma bertanya apa yang kulihat," elak Jully.

Jully sedang menebak kemana arah pembicaraan pria di sampingnya ini. Sempat terpikirkan apa mungkin demamnya Alec belum sembuh juga sehingga bicaranya tidak karuan. Perasaan sejak waktu itu sudah beberapa kali diberikan penurun panas. Itu sebenarnya yang sakit itu fisik apa hati, seingatnya obat yang diberikan sudah benar. Begini juga Jully kan dokter. Atau mungkin Alec sedang kerasukan makhluk lembut, arwah Socrates mungkin.

"Ketika minum kopi, aku hanya menikmati kopi Lec," tambah Jully.

"Ketika menelan cinta, apa kamu juga hanya menikmati cinta?" tanya Alec yang semakin tidak jelas arahnya.

"Entahlah Lec, aku lebih paham kenapa virus itu selalu bersifat parasit sedangkan bakteri ada yang saprofit dan parasit." Jully hanya mengeluh pelan.

"Dan aku juga paham, berusaha memilikimu kembali aku harus bersabar lagi," ucap Alec.

"Apa cinta harus memiliki?" tanya Jully memancing.

"Tentu saja, cinta harus memiliki," jawab Alec dengan yakin.

"Itu cinta yang serakah," ucap Jully.

"Cinta memang serakah, cinta tanpa memiliki hanya menyakiti hati. Bagiku itu bukan cinta, itu siksa." Alec tetap dengan teorinya.

"Siksa?" tanya Jully.

"Siksa, sebagaimana aku dulu merindukan kalian." Alec menghela napas dalam.

"Apa betul itu siksa? Seburuk apa?" tanya Jully dengan sesak yang mulai terasa. Tapi tetap jaim.

"Seburuk seperti hatimu terbelah tapi kamu tidak tahu sebelah lagi ada di mana. Seburuk kamu ingin bernapas tapi kamu tak punya paru-paru. Seburuk kamu ingin bangun dari mimpi buruk padahal kamu tidak sedang tidur." Alec mengucap semua yang dia rasakan.

"Bukankah itu berlebihan?" tanya Jully berusaha mengurai kenangan rumit.

"Iya, itu berlebihan. Sangat berlebihan. Tapi begitulah adanya," gumam Alec.

Jully tidak mau bicara lagi, tangannya hanya menggenggam cangkir kopi dengan erat, rasanya hangat. Matanya memang hanya melihat hitam, tapi tangannya terasa hangat, demikian juga hatinya. Tapi membuka hatinya lagi adalah cerita lain.

***

Alec menuruni anak tangga sambil meregangkan tubuhnya, pegal. Kunjungan kerjanya hari ini ke kota sebelah menguras energinya hingga payah. Proses merger vertikal itu akhirnya berjalan dengan baik, perusahaan yang dipimpinnya menjadi lebih besar. Seandainya Robin dan Aline masih hidup, mungkin mereka akan bangga. Putra semata wayangnya ini berhasil mengelola semua dengan baik.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang