56. Cicip Sedikit

2.2K 304 21
                                    

Lounge luas hampir 70% dindingnya terbuat dari kaca, puluhan lampu dengan desain minimalis bergantung dengan cantik. Ada Alec yang berkostum modis dan formal tampak di sana bersama dengan 2 orang lainnya bersantai di salah satu round table. Tidak biasanya memang mereka bersama seperti ini, sepulang meeting disempatkan sebentar menikmati waktu bersantai sebelum kembali ke rutinitas yang menguras tenaga dan waktu.

"Sekali - sekali ayolah main ke club, sudah kangen sam a dance floor." Jody membuka suara.

"Alec tobat Jo, mau pergi semalaman anaknya bisa nyariin. Pulang telat aja itu hempon sering mulu kayak alarm," cibir Rob.

"Gak pinter sih, masa udah jadi bocah aja," sindir Jody sama pait.

Alec hanya tersenyum masam dan mengambil kopi, "Dulu masih bodoh Jo, taunya cuma enaena aja ngikutin naluri," jawabnya.

"Pantes bodoh, itu minuman kenapa jadi penurunan? Laki cuma ngopi," protes Jody meminum Margaritanya.

Rob tertawa mengejek, mereka semua bukan pemabuk tapi sesekali minum tidak apa-apa. Beberapa shot minuman seperti ini tidak akan membuat mereka mabuk. Setelah penat bekerja dengan kejaran deadline juga tagihan dari klien, sedikit bersenang-senang sepertinya bukan hal yang berlebihan. Rob menuang lagi minumannya dan menyodorkan kepada Alec, "Vodka?" tawarnya.

"Tobat minum Vodka, pulang mulut bau alkohol runyem lagi dah urusan." Alec menggeleng.

"Terserahhh," gumam Rob.

Jody mencolek pundak Alec dan bertanya, "Kapan nikah?"

"Dianya nolak mulu," gumam Alec.

"Kalo dia gak mau gak usah dipaksa Lec, ama aku aja gimana? Kan ya gak jelek amat juga nih," tanpa tahu diri Jody menawarkan dirinya.

"Gak kencan ama bawahan," jawab Alec menolak seketika.

"Sombongnya tetep nih orang," gumam Rob.

"Ya kalo kamu nikahin aku ya gak jadi bawahan lagi lah Lec. Ngapain juga aku kerja lagi, enak juga jadi pengangguran kelayapan ngabisin duitmu," jawab Jody jujur.

"Savage," balas Rob.

"Jo, mulut." Alec tidak peduli.

"Kan bener lah, aku kerja dia juga kerja. Yang ngabisin duitnya siapa?" tanya Jody.

"Ogah, enak aja mo resign. Pokoknya kamu kudu kerja di kantorku sampe tua. Sapa lagi yang bisa pegang marketing cakep seperti kamu," tolak Alec.

"Ya tau begitu, tambahin dong boss gajinya," rayu Jody.

"Cibu?" tanya Alec cuek.

"Buset, hari gini cibu dapet apaan? Permen?" tanya Jody kesal.

Tawa Alec dan Rob berderai seketika, Jody memang tidak pernah basa-basi. Memang terkadang membuat jengkel tapi bagi mereka berdua omongan wanita itu tidak pernah dimasukkan ke hati. Percuma. Mereka saling mengenal ketika sama berada di sekolah menengah atas, ya masih ada satu lagi, si Sandy. Tapi dia lebih banyak sibuk sendiri, karena kabarnya dia berhasil mendirikan sebuah pabrik obat cacing. Padahal mereka semua merindukannya.

"Lec, sampe kapan ngejar tu dokter?" tanya Rob serius.

"Sampe dapetlah," jawab Alec yakin.

"Sulit banget ditaklukinnya, padahal biasanya meski brengsek asal good looking mah iya aja, apalagi mobil cakep trus banyak duid." Jody kembali bergumam.

"Tuh dokter manusia apa bukan sih, heran." Rob menggeleng.

"Di situlah tantangannya, ngerti apa sih kalian soal cinta." Alec menyesap lagi kopinya yang pahit, sepahit kisah cintanya.

Mommy, Please Say Yes !Место, где живут истории. Откройте их для себя