25. Reuni Keluarga

3.2K 413 31
                                    

Jully murka, wanita itu marah besar begitu sampai di sekolah putrinya. Miss Karin, homeroom teacher Aleccia masih terdiam menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Dia mengerti seorang ibu pasti tidak terima bila putrinya dianggap seperti itu dan dipermalukan. Sekolah memang tidak mentolerir hal semacam itu tapi kenakalan remaja itu memang wajar terjadi.

Jully begitu marah, tadi dia segera meluncur ke sekolah putrinya begitu menerima telepon. Dan dia menemukan putrinya sedang mengurung diri di salah satu bilik toilet. Sekolah macam apa ini yang tidak bisa memberikan perlindungan kepada muridnya. Kalau terjadi apa-apa dengan Aleccia kepada siapa Jully akan melempar tanggung jawab. Dengan senang hati dia akan menunjuk sekolah putrinya dan akan menuntutnya.

"Saya tidak berkata begitu Ma'am, tapi ada berita yang menggemparkan. Kita harus segera meredamnya dan membereskan akar permasalahannya." Miss Karin berusaha menjelaskan.

"Anda telah menuduh putriku sebagai anak nakal, sekolah macam apa ini?!" tanya Jully dengan emosi.

"Maaf Ma'am, kami hanya perlu mengkonfirmasi dan membereskan ini dengan segera." Miss Karin bicara dengan penuh kesabaran.

Menjadi tenaga pendidik di lingkungan elit seperti ini kesabaran harus berlapis juga tebal. Berita ini saja sudah sampai kepada beberapa orang tua siswa dan mereka sudah mulai menyatakan sikap. Kredibilitas sekolah akan dipertaruhkan dan itu tidak akan bagus. Miss Karin mengenal Aleccia dan gadis itu bukan tipe anak yang menjual diri demi uang. Tapi bagaimana lagi, bukti fisik itu menyatakan hal seperti yang dituduhkan.

"Anda tetap bisa bertanya dengan baik Miss Karin, tanpa harus menyebut putriku seperti itu." Jully masih juga dikuasai emosi.

"Saya minta maaf Ma'am, saya tidak bermaksud menyinggung anda." Miss Karin berusaha memilih kata lagi.

Airmata ini ingin segera turun dari wajahnya yang sudah terasa panas, tapi Jully menahannya setengah mati. Ada putrinya dan dia tidak ingin terlihat lemah. Kepada siapa nanti Aleccia harus bersandar bila mamanya saja lemah tidak berdaya upaya. Jully akhirnya berhenti setelah sejak tadi mondar-mandir sambil mengomel. Dia menghampiri putrinya dan menodongkan tangannya.

"Aleccia, gimme your phone," suruh Jully.

"Orang itu, dengan napa apa kamu simpan di kontak Aleccia?" tanya Jully begitu smartphone sudah berada di tangannya.

"Daddy Alec," jawab Aleccia menunduk.

Jully segera keluar setelah menemukan apa yang dia cari, entah mereka membicarakan apa tapi sepertinya dia memang marah besar. Jully memang seperti itu, bila ada yang mengganggunya dia dengan mudah tersulut emosi. Sikapnya memang tidak banyak berubah sejak kecil, hanya saja sikap keibuannya semakin tampak dan dia sangat menyayangi putrinya lebih dari apapun.

"Thank you Aleccia," kata Jully menyodorkan kembali smartphone putrinya yang hanya mengangguk.

"Maaf Ma'am, saya hanya memastikan, dan mencari kebenaran juga solusi dari masalah ini." Miss Karin masih berusaha menenangkan Jully.

"Dengan mengatakan putriku adalah sugar baby? Anda keterlaluan!" seru Jully kembali emosi.

"Saya tidak bermaksud begitu." Miss Karin masih berusaha bicara.

Jully duduk di kursi, menunduk dan memegangi kepalanya. Dasar memang Alec sialan, dulu dia menyusahkan Jully dan sekarang dia juga masih memberikan anaknya masalah. Memang seharusnya mereka tidak pernah bertemu, Alec adalah kesalahan dan tetap saja sampai nanti tetap begitu. Dia seperti tidak cukup membuat kesalahan dengan menghadirkan nya ke dunia tanpa persiapan, dan sekarang dia melukai putrinya meski tidak dengan tangannya sendiri.

Hanya dalam belasan menit kemudian ada seseorang yang datang. Seorang pria jangkung berambut coklat yang datang dengan tergesa. Setelah menerima telepon dari seorang wanita yang mengomel juga marah berteriak Alec tidak membuang waktu, dia segera meluncur menuju sekolah Aleccia. Ini reuni keluarga, namun tidak indah.

Mommy, Please Say Yes !Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu