69. Jawaban Dari Ratusan Purnama

15.7K 1.1K 106
                                    

Gamang, kotak beludru berwarna merah itu hanya dimainkannya saja. Bukan cara yang romantis untuk melamar anak orang, apa ini memang nasib yang sial. Pernikahannya yang dahulu hanya begitu saja, sekarang ini, akan seperti apa bila dia menerimanya. Ada secuil cinta yang masih ada, tapi mengakuinya kepada Alec adalah hal lain. Lelaki itu, apakah benar dia sudah berubah. Katanya sih begitu.

Tadi dia kemari, wajahnya masih terlihat pucat, sepertinya memang belum pulih benar. Terlihat jelas dia meringis ketika meletakkan benda ini di dekat kakinya. Hatinya ini menjadi berderik sakit, hati dan jiwa ini, ingin menerima tapi kepala ini berteriak menolak. Mengulang lagi sebuah cerita, apakah itu nanti akan berjalan baik-baik saja?

"Jully, makan," kata Finn setelah menyaksikan adiknya hanya bengong setelah kunjungan si kunyuk itu.

"Gak pengen," jawab Jully masih memainkan kotak itu.

Lapar itu hilang sirna, pikirannya yang sebelumnya kacau karena rengekan Aleccia sekarang rumit karena permintaan bapaknya Aleccia. Ratusan purnama itu telah berlalu, rupanya perpisahan yang lama tidak bisa membuat seseorang lupa. Dia dulu pergi, dengan janin yang menendang perutnya, dengan marah dan dendam yang sepertinya tidak mampu dimaafkan, tapi lihatlah kini.

"Kamu itu dokter, nasehati orang pintar. Tapi lihatlah dirimu sendiri," kata Finn sekali lagi.

"Finn, tolong kali ini jangan berisik aku pusing." Jully menelungkupkan kepalanya.

Lelaki itu mendekati adiknya. "Apalagi?" tanyanya

"Diterima, apa tidak?" tanya Jully menunjukkan kotak itu, lalu menelungkupkan kepala lagi padahal Finn juga belum menjawabnya.

Kakaknya itu hanya melirik sekali, buat apa juga dipertanyakan lagi dan dipertanyakan terus. Mau alasan apapun baginya Alec tetaplah berandalan brengsek. Kalau ada kesempatan ya bakal dihajar lagi saja orang itu. Jully kenapa bisa sebuta ini. "Pendapatku, tidak pernah berubah. Aku tetap membencinya," jawab Finn.

"Percuma tanya," gumam Jully kesal.

Mau menolak tapi ada cinta juga Aleccia, mau menerima itu juga bagaimana nanti konsekuensinya. Cinta ini memang terkadang seperti perjudian, di mana hari esok kita tidak pernah tahu. Lelaki bernama Alec itu, seharusnya hanya masa lalu. Tapi bocah bernama Aleccia itu adalah saksi dosa yang tidak akan mudah terlupakan begitu saja.

"Kamu, sayang?" tanya Finn sekali lagi melirik adiknya

"Iya," jawab Jully.

Rasanya ingin memaki, bagaimana bisa Jully berkata dengan semudah itu. Dia masih sayang, masih cinta rupanya. Setelah apa yang terjadi, dan ketika ditanya ternyata masih sayang. Apakah cinta itu bisa membuat orang menjadi bodoh dan memberikan kesempatan kedua untuk orang yang bahkan telah menyakitinya hingga babak belur?

"Aku tidak mau ikut campur, itu urusanmu," balas Finn yang akhirnya mengalah. Memang dia benci, tapi kebencian ini adalah urusannya. Sebenci apapun dia kepada Alec, tetap saja hak Jully untuk menentukan jalan hidupnya. Lagipula dia sudah tidak bisa dinasehati. Kalau Alec mencederai adiknya lagi, kali ini pasti bukan babak belur lagi, tapi mati.

"Finn, makasih" gumam Jully tersenyum, lega.

"Apapun pilihanmu, aku tetap kakakmu. Akan kujaga kamu, juga Aleccia." Finn meraih adiknya. Memang akhirnya, sebaiknya mengalah saja.

"Finn, you're best brother, my best brother." Jully memeluk Finn erat.

"I know, and you're my best sista," balas Finn membalas pelukan adiknya.

"Jadi, Finn ... aku harus jawab apa?" tanya Jully.

"Terserah kamu," jawab Finn cuek, kenapa masih tanya.

Mommy, Please Say Yes !Where stories live. Discover now