14. Retaknya Kepercayaan

1K 116 29
                                    

" Bahwa memang memiliki kehidupan yang tak sama dengan oranglain itu tak salah dan tak juga mengapa. Karena pada hakikatnya, setiap manusia selalu punya takdir yang berbeda."













*
*
*
*
*












Sepuluh tahun yang lalu..



Shani menghentikkan langkahnya ketika menemukan Chika lagi-lagi tengah termenung berdiri diseberang jalan. Mendapati pandangan Chika yang telah melayu membuat Shani pun langsung segera memutuskan untuk menghampiri Chika.

" Chika. " Panggil Shani lembut.

Gadis kecil itu menoleh, mengangkat tangannya lalu melambaikannya pada Shani bermaksud untuk menyapa Cicinya yang baru saja tiba karena ingin menjemputnya pulang setelah kegiatan disekolahnya usai.

" Cici terlambat dua jam. " Kata Chika pelan.

" Aduh maafin Cici ya sayang. Tadi Cici ada urusan yang gak bisa ditinggal soalnya. " Balas Shani merasa bersalah, ia terlambat karena adanya jadwal Casting film yang tak bisa ia reschedule.

" Bukan hari ini aja. Tapi Cici selalu terlambat. " Tutur Chika lagi.

Shani terdiam sejenak memperhatikan wajah Chika yang sepertinya cukup kesal padanya. Hingga kemudian, Shani pun mulai membuka tasnya lalu mengambil sebuah permen yang tadi sempat gadis itu beli diperjalanan untuk membujuk Chika siapa tahu berjaga-jaga bila nantinya ia merajuk. Dan ternyata dugaannya benar, untungnya ia sudah mempersiapkan hadiah pengganti sebagai permintaan maafnya.

" Chika.. Maafin Cici ya? " Ucap Shani mengulas senyumnya seraya mengulurkan permen itu dihadapan Chika.

Chika cuma mengangguk lalu mengambil permen itu dari tangan Shani. Dia berusaha untuk tak mempermasalahkannya dan berniat untuk melupakan kekesalannya terhadap Cicinya. Karena meski Shani itu suka sekali terlambat menjemputnya, tetapi syukurnya ia masih memiliki kesadaran untuk datang. Jadi hanya untuk alasan itu gadis kecil itu akan memaafkannya.

" Cici, Kita boleh duduk dulu gak? Chika capek banget dari tadi berdiri terus. " Tanya Chika mengenggam tangan Shani.

Shani tersenyum lagi sembari memberikan anggukkan kecil pada Chika. Hingga kemudian, ia pun kembali melangkah berjalan mengikuti langkah kecil Chika yang sekarang menuntunnya untuk duduk dikursi yang disediakan dihalte bis.

Semenjak Chika kecil, Aya selaku Mamih Shani dan Chika sudah sibuk bekerja setiap hari untuk membiayai hidup mereka. Dan atas karena itu, tugas merawat dan menjaga Chika jadi diberikan kepada Shani, Putri sulung Aya yang memiliki perbedaan umur kurang lebih sepuluh tahun dengan Chika.

Banyak yang bilang hidup Shani dan Chika itu nampak begitu indah. Ada cukup banyak orang yang sampai pula mendambakan dan menginginkan kehidupan layaknya Shani atau Chika. Dapat terlahir sebagai seorang manusia yang memiliki bentuk fisik yamg nyaris menuju kesempurnaan, siapa juga kira-kira yang tak ingin?

Belum lagi dari segi keuangan Keluarga Aya pun masih terbilang berada, sehingga pastinya akan semakin membuat para tetangga tambah mengirikan kehidupan luar yang terlihat dari Keluarga kecil Aya.

Tapi bukankah cuma sebatas itu mereka mengetahui kehidupan Keluarga Aya? Mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi didalamnya. Bila mana sesungguhnya apa yang mereka lihat itu tidak sepenuhnya indah atau sama persis dengan apa yang ada didalam bayangan penglihatan mereka ketika melihat kehidupan di Keluarga itu.

Human still being human.

Bukankah hampir seluruh manusia selalu seperti itu? Mereka pasti akan jauh lebih senang dan akan merasa jadi yang paling tahu untuk menentukan apa yang baik untuk oranglain serta mendadak pun akan menjadi yang paling pintar apabila diminta untuk berkomentar dan menilai bagaimana kehidupan seseorang, meski hanya dari sekilas kisah hidupnya yang terlihat.

Kisah Untuk Zahra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang