38. The Most Beautiful Things

880 103 23
                                    

" Dunia itu seperti kertas kosong. Hanya sebuah tempat atau wadah yang bersifat netral. Manusia dan mahkluk hidup lainnya itu yang berperan sebagai tintanya. Jadi secara sadar atau enggak, kita sebenarnya ikut andil dalam menciptakan hukum dan keadilan. Nggak hanya itu, kita juga lah yang akan mempengaruhi sekali pendapat tentang keadilan itu sendiri. "









*
*
*
*
*










" Gito.. "

Veranda mulai membuka matanya, ia memegangi kepalanya yang ternyata masih terasa pusing dan cukup berat. Hingga setelahnya, perlahan ia berusaha untuk bangkit dari ranjang karena sadar bahwa tak mendapatkan sebuah jawaban ketika memanggil nama putranya.

" Maaf, tapi Gito pergi ke Ruangan Ara. " Ujar Keenan, ia beranjak menghampiri Veranda setelah melihat perempuan itu akhirnya terbangun dan sadar dari pingsannya.

Sontak Veranda terkejut, ia sampai mengerjapkan kelopak matanya berulangkali mengira matanya itu mungkin salah melihat. Tapi ternyata apa yang ia lihat, sungguh benar-benar nyata, tubuhnya bahkan sampai ikut menegang hebat mendapati laki-laki yang telah cukup lama menghilang dari pandangan dan kehidupannya itu sekarang tiba-tiba muncul kembali dihadapannya.

" M-Mas Keenan. " Veranda mengangkat tangannya dan meletakkannya dimulutnya tak percaya. Apakah ia sedang berhalusinasi lagi?

Keenan mengangguk lalu memberikan secangkir teh hangat yang sempat ia buat. " Minum dulu ya Alis-, Ah.. Maksudku Veranda. " Ucapnya, ia masih belum terbiasa untuk memanggil nama asli dari mantan istrinya.

Veranda kemudian menerimanya dengan canggung, sebelum memang setelahnya ia pun meneguk teh hangat tersebut.

" Maaf ya. "

Perempuan itu lantas terhentak merasa cukup bingung akan kalimat maaf yang baru saja terucap dari bibir Keenan. Dia mendongakkan wajahnya memperhatikan wajah Keenan, berusaha untuk mendalami sorot pandang lelaki itu yang saat ini kelihatan kosong. Seperti menyimpan sebuah keresahan sekaligus pilu disana.

" Maaf untuk segala hal yang telah terjadi pada kehidupan kamu. " Celetuk Keenan, ia mencoba untuk memberanikan diri menatap dan bertukar pandanhan dengan Veranda.

Veranda meneguk ludahnya masuk ke dalam tenggorokannya, hatinya seketika berdenyut nyeri merasa sangat bersalah terhadap Keenan. Karena seharusnya memang bukan laki-laki itu yang menyebut kata maaf, tetapi semestinya dirinya lah yang perlu meminta maaf atas semua rasa sakit yang terpaksa harus Keenan telan baik-baik dimasa lalu akibat ulahnya dan Keluarganya.

" Aku yang mestinya minta maaf, Mas. " Celetuk Veranda, ia menghela napasnya berat.

" Aku udah melukai hati kamu dengan berbohong mengenai latar belakang Keluargaku. Aku juga bohong soal nama asliku dan dari mana tempat asalku. Bahkan karenaku dan Keluargaku, kita dan anak-anak terpaksa harus berpisah. Aku.. Aku nggak hanya menghancurkan hati kamu Mas, melainkan juga hidup kamu yang sudah kamu miliki. " Jelasnya melirih pelan.

" Nggak, Ve. "

Laki-laki itu mengambil sedikit jeda untuk sekedar menarik dan menghela napasnya. " Kamu salah jika mengganggap seperti itu. Mungkin kamu benar soal menghancurkan seluruh hatiku, tapi nggak mengenai hidupku. "

Jawaban Keenan membuat Veranda tertegun dan mengunci rapat bibirnya untuk berucap.

Jemari Keenan langsung tergerak mengambil sebuah bingkai foto yang telah berdiri tegak diatas meja kerjanya, yang dengan sengaja memang ia pajang untuk motivasinya dan sebagai penyemangat hidupnya selama ini.

Kisah Untuk Zahra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang