22. Heads Over Heels

894 96 17
                                    

" The simple things that you do for me everyday is complete my day. You make me so happy in a way no one else can. "










*
*
*
*
*











" Kamu harus mendapatkan hatinya lagi, Shani. Buat Bobby membatalkan pernikahannya. "

Shani tak menjawab setiap ucapan demi ucapan yang dilontarkan Aya kepadanya. Kepalanya masih berdenyut nyeri, walau tingkat kesakitannya itu memang tidak sesakit hatinya sekarang.

" Mih.. Hidup Bobby udah cukup kita gangguin, udah cukup juga kita recokin. Sekarang Bobby udah bertunangan sama cewek baik-baik, dan itu keputusan yang bagus. Udah ya Mih, tolong jangan ikut campur lagi. " Jawab Shani melirih pelan.

Hatinya sudah terasa cukup sakit melihat Bobby memilih untuk hidup bersama gadis lain, seharusnya sebagai orangtua yang baik, Aya mestinya menenangkannya. Atau setidaknya kalau ia tak dapat membuat situasi jadi membaik, tak bisakah Aya tak semakin berulah dan tak membuat rasa sakit Shani itu malah kian bertambah dengan permintaan egoisnya itu.

" Ck.. Terserah lah. " Kata Aya lalu berbalik pergi begitu saja meninggalkan tempat.

" My mom always being my mom. " Decak Chika memutar bola matanya, ia sungguh muak melihat sifat Aya yang tak kunjung berubah. Perempuan itu selalu saja berlindung dibalik kata 'yang terbaik' tapi sesungguhnya yang dipertahankan olehnya itu tetap kepentingan pribadinya.

" Chika, udah ah jangan marah-marah terus. " Bisik Ara, gadis itu lalu menarik tangan Chika kemudian membawanya kedalam genggamannya, sekedar untuk memberikan ketenangan pada kesayangannya.

Chika masih menyimpan rasa kesal. Hari ini cukup menyebalkan untuknya. Untung saja ada Ara disini bersamanya, atau lebih tepatnya untungnya ia berhasil memaksa Ara untuk ikut pergi bersamanya. Karena keberadaan Ara disisinya ini ternyata sangat membantu Chika, Ara dapat membantunya untuk mengerem seluruh emosinya. Mungkin bila gadis itu tak disini, sudah dapat dipastikan bahwa Chika jelas akan mengacau dipesta pertunangan Bobby.

" Aku ke toilet dulu ya. " Ucap Shani buru-buru berbalik pergi meninggalkan tempat.

Chika yang melihatnya pun lagi-lagi hanya diam memperhatikan punggung Cicinya, sebenarnya Chika sendiri tahu kalau Shani itu hanya tak cukup kuat untuk menahan tangisannya. Memangnya siapa pula yang tidak akan hancur dan tidak akan merasa sakit bila melihat orang yang dicintai telah bertunangan dihadapannya sendiri?

Sekuat apapun Shani berusaha mempertahankan tekadnya, menahan perasaannya, berpura-pura dan berakting baik-baik saja, pastinya akan tetap selalu ada saja hal yang terlalu sulit untuk ia sembunyikan dengan rapih. Terutama dengan sepasang matanya, salah satu bagian indah dari tubuhnya itu rasanya tak akan mungkin sanggup untuk berpura-pura. Meski sekilas semua orang disini pun juga pasti dapat melihat adanya kehancuran yang ada sana.

Sementara Ara.. Setelah melihat kepergian Shani, ia berniat untuk menyusul gadis itu. Entahlah Ara hanya merasa cukup resah, nalurinya cukup sulit untuk sekedar berdiam diri mendapati seseorang terluka seorang diri.

Namun ketika gadis itu hendak beranjak, dengan sekejap lengannya ditahan oleh Chika.

" Gak perlu disusul Ra. "

Chika menghembuskan napasnya. Bahkan tanpa perlu Ara jelaskan, Chika sudah tahu apa yang ingin dilakukan oleh Ara. " Kasih Cici waktu sendiri, gak semua orang itu suka ditemani ketika shock. Apalagi Ci Shani.. Dia cuma butuh waktu tenang kok, Cici bakal bicara kalau udah sedikit lebih tenang. " Kata Chika yang begitu memahami kebiasaan Shani jikalau bersedih.

Kisah Untuk Zahra Where stories live. Discover now