17. Rumah Keluarga

941 112 14
                                    

" Hendak tumbuh menjadi orang seperti apa itu adalah keputusan kita. Karena pilihan untuk jadi manusia yang baik atau buruk itu tetap cuma kita yang bisa kendalikan. "







*
*
*
*
*








Chika menekuk wajahnya masam ketika matanya bertemu dengan sosok yang sangat dibenci dan tak ingin dilihat olehnya. Berulangkali ia telah menggerutu dan berdecih sebal didalam hatinya, gadis itu cuma tidak suka dengan kedatangan Shani tiba-tiba di Rumah Keluarga.

" Caper banget. " Gumamnya malas melihat Shani yang sedang berbincang dengan anak-anak disini.

" Harusnya kamu usir dia dari sini. " Sahutnya lagi, namun kali ini ia tujukan pada Anin yang baru saja berjalan melewatinya.

Anin seketika menghentikkan langkahnya. Gadis bertubuh mungil itu lalu  berbalik menghampiri Chika dengan kedua tangannya yang telah dilipat pada dadanya. " Kenapa aku mesti mengusir sukarelawan yang berniat buat membantuku mengajar dan mengurus anak-anak disini? Ara kan sekarang lagi enggak ada, aku jelas sedang kekurangan orang. "

" Kan ada saya. " Chika menyahut masih dengan nada tak terima.

" Ha? Kamu? " Seketika Anin langsung tertawa sekejap mendengar sahutan penuh kepercayaan diri itu, " Jangan buat aku ketawa pagi-pagi deh. Kamu itu kan mesti sekolah, lagian selain itu emangnya kamu bisa apa sih? Untuk sekedar senyum aja kamu sangat payah, Chika. Gimana kamu ingin mengakrabkan diri ke anak-anak? Yang ada nantinya mereka justru semakin gak betah melihat kamu. "

" Loh? Yori senang kok sama saya. " Jawab Chika.

Anin nyaris dibuat kembali tertawa, ternyata Chika benar-benar gadis konyol. " Yori adalah satu dari tiga puluh anak yang risih melihat keberadaan kamu disini. " Tekan Anin menggelengkan kepalanya dengan raut wajahnya yang terlihat meremehkan Chika.

Kalimat dari Anin berhasil membungkam mulut Chika untuk beragumen kembali. Obrolannya jelas kalah telak, karena apa yang barusan dikatakan oleh gadis mungil itu memang benar adanya. Anak-anak ditempat ini tak ada yang menyukainya. Bahkan sejak kemarin pun kehadiran Chika sudah tidak teranggap disini.

Mungkin agak sedikit berbeda untuk satu gadis kecil bernama Mayori. Dia pernah bertemu dan berbincang dengan Chika sebelumnya, maka dari itu ia kelihatan tak bermasalah dengan kehadiran Chika. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa memang hanya Yori lah satu-satunya anak disini yang mengajak Chika berbicara.

" Jangan egois.. Tuan Putri. Yang punya masalah disini sama Cici kamu itu adalah kamu. Bukan aku atau pun anak-anak. " Anin berucap tegas, setelah itu, ia memilih untuk berlalu pergi meninggalkan Chika yang masih berdiri ditempatnya.

Chika menghentakkan kakinya ke lantai semakin merasa sebal. Sebenarnya ia tak membenci tempat ini, sebelum pada akhirnya ia melihat Shani dapat berkeliaran disini. Lagi pula kenapa Cicinya itu terus bersih keras untuk mendekatinya, padahal sudah ribuan kali ditolak mentah-mentah dan diacuhkan dengan kasar oleh Chika.

" Kakak cantik kenapa? " Chika terkejut merasakan sebuah jari-jari mungil baru saja menyetuh tangannya. Yori, anak itu tengah memandangi Chika dengan wajah lugunya. " Kok mukanya cemberut gitu? Kakak cantik nggak suka yah sama Cici cantik yang ada disitu? " Dengan polosnya ia bertanya dan menunjuk ke arah Shani.

Chika tertegun mendengar pertanyaan dari bocah manis itu. Sejujurnya, ingin sekali rasanya Chika mengangguk untuk mengakui hal itu namun lagi-lagi ia harus urungkan mengetahui bahwa Yori masih terlalu kecil untuk mengerti dan memahami perihal masalah orang dewasa.

" Enggak kok. " Jawab Chika.

Yori memiringkan kepalanya, raut wajahnya nampak tak mempercayai ucapan Chika. Lagi pula siapa orang yang dapat percaya dengan perkataannya bila Chika sendiri saja masih menekuk wajahnya seperti itu? " Kata Kakak Malaikat, berbohong itu perbuatan yang gak baik. Tuhan gak suka kalau umatnya bohong. " Celetuknya.

Kisah Untuk Zahra Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin