Episode 28: Momen Akhir Semester bagian 3

467 63 10
                                    

Aku berjalan menyusuri jalanan. Hendak pulang ke apartemen rumahku. Hembusan angin sore kian menyapa hari-hariku yang terasa indah pada hari ini.

Selang beberapa waktu, langkahku terhenti kala mendengar sebuah derap langkah kaki yang mendekat. Kini, aku menjadi was was. Aku menyiapkan kuda-kuda. Aku takkan lengah. Tak ada seseorang yang boleh mengganggu waktu terbaikku.

"Loh, pendengaran murid karate tajam sekali ya?" Terdengar suara dari ujung gang yang kian lama semakin dekat saja. Aku semakin waspada mendengarnya.

Aku terus menatap fokus ke arah gang itu. Selang beberapa waktu, muncul sesosok pria bersurai merah yang selalu duduk di sebelah bangku kananku. Siapa lagi kalau bukan Karma?

"Yah, kamu toh..." kesalku memukul pelan bahu Karma.

"Hahahaha, Yo! Kecewa ya, yang keluar bukan preman?" godanya yang tak bosan-bosannya selalu membuatku kesal. Entahlah, aku juga merasa aneh dengan gelagatnya yang senang sekali membuat orang lain kesal.

"Tidak juga sih..." gumamku lirih.

"Tenang aja. Kamu kan, alat pancing yang bagus untuk preman..." kekeh Karma.

"Nggak gitu juga konsepnya. Tapi aku malah bisa santai sih, kalau di sepanjang jalan tidak ada preman sama sekali," sanggahku agak kesal.

Karma tertawa kecil kemudian melanjutkan, "selamat ya, buat peringkat paralelnya. Kamu memang hebat. Kamu sudah pintar tapi tetap rajin belajar."

Aku menatap intens setiap inci manik mata milik Karma. Tak ada kebohongan maupun kelicikan di dalam dirinya. Aku pun tersenyum kearahnya. "Terimakasih!"

Tetapi tak lama kemudian, wajah Karma bersemu merah. Ia segera menutup wajah dengan kedua tangannya. Loh, Karma kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi begini? Ini tidak apa-apa, kan? Penyakit ini tidak berbahaya, kan?

"Karma, kamu kenapa? Sakit kah? Mukamu tadi sempat merah. Kayaknya kamu sakit, deh. Tapi ini bukan penyakit yang berbahaya, kan?" Aku sungguh khawatir. Karma benar-benar tidak sedang sakit, kan?

"Penyakit ini berbahaya. Bahkan bisa membuat jantung dan hati kita tidak normal..." sahut Karma.

"Hah, gitu toh... Oh maaf ya, Karma tadi-" Ucapan dariku terpotong tatkala Karma malah menjentik keningku keras. Sakit woy!

"Ck, bocil mah mana paham yang ginian." gumam Karma. Hah? Apa yang aku tidak pahami? Berarti aku harus mendapatkan peringkat satu agar bisa paham penyakit sejenis ini ya? Oke deh...

Beberapa menit setelah kami berjalan kaki lagi, muncul derap kaki dari balik gang di depan kami. Kali ini, derap kakinya terdengar seperti orang yang bergerombol. Langkah kami berdua langsung berhenti. Tatkala kami juga terus saja menatap was-was kearah gang itu.

Terlihat empat orang berbadan besar di gang tersebut. Wajahnya menakutkan, badannya gemuk nan besar serta gaya penampilan mereka yang norak dan rambut yang agaj naik keatas. Astaga, kalian lahir dari zaman apa? Zaman Showa?

"Minggir dari jalan ini atau kalian akan kami bunuh!" seru salah satu dari mereka yang kemungkinan adalah bos gerombolan orang itu.

"Loh, kok main ngusir kami gitu aja? Bukankah ini adalah jalan umum? Berarti semua orang berhak untuk melewati jalan ini, dong?" sergah Karma berani.

"Kalian mau minggir atau akan tetap disini?" tanya mereka lagi.

"Tetap disini, lah..." jawab Karma dengan santai.

Semua orang di kelompok itu, dengan sontak langsung mengepalkan tangannya secara serempak. Bersiap-siap untuk melakukan baku hantam.

"Habisi mereka! Kalau bisa, bunuh sehingga tak bersisa!" titah seseorang yang kemungkinan bos besar mereka.

Aku langsung menatap mereka tajam. Aku menundukkan kepala ke bawah. "Bunuh? Kalian sungguh-sungguh dalam mengatakannya? Memangnya kalian tahu apa soal membunuh?" Aku mulai tertawa dengan menyeramkan. "Hei... Mari, akan kuajari kau cara membunuh dengan baik dan benar. Karma! Bersiaplah."

"Yosh, mari kita lakukan!" seru Karma amat bersemangat.

Kami kini beradu kekuatan. Pukulan, tangkisan, akan kutunjukkan semua bakatku disini. Manusia tak boleh bersikap semena-mena. Aku tak ingin ada yang merasakan derita yang dirasakan oleh orang yang berbuat seenaknya. Aku tak ingin ada yang mengalami kejadian sepertiku. Maka dari itu, takkan kubiarkan kalian semua.

Aku dan Karma masing-masing akan mengalahkan dua orang. Kami berdua juga masing-masing sudah mengalahkan satu anggota mereka. Jadi yang tersisa tinggal dua anggota mereka.

"Woi, bocil pendek. Tidak sopan sekali bertindak kepada orang tua!" bentak seseorang yang akan kulawan.

Aku menyeringai tipis, "Masa sih? Aku kan hanya tak ingin ada manusia yang bertindak semena-mena. Apalagi mengaku kalau kalian hendak membunuh orang yang menghalangi kalian..."

Aku menghindari pukulan orang itu dan langsung memukul tengkuknya agar pingsan. Yosh, musuh terakhir sudah kukalahkan. Eh, ternyata belum, ya?

Karma masih saja memukul orang terakhir yang ia lawan. Padahal kan, mukanya sudah babak belur begitu. Astaga, kasihan sekali mukanya. Si Karma seperti tidak ada rasa kasihan-kasihannya terhadap manusia.

Aku pun segera memukul tengkuk orang terakhir itu agar pingsan. Namun sebelum itu, aku berbisik. "Aku harap, Tidak akan ada lagi orang yang berbuat semena-mena terhadap orang lain. Baik kalian maupun yang lain."

Karena menjadi korban orang yang berbuat seenaknya itu sungguh tidak enak. Aku tak ingin itu terjadi lagi. Merekalah yang membuatku harus berusaha belajar mati-matian agar bisa menang taruhan. Tapi mereka jugalah yang membuatku bisa bertemu dengan orang-orang baik seperti kalian.

Setidaknya aku bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Koro, Pak Karasuma, Bu Bitch, dan kelas E. Aku takkan bisa menemukan kesenanganku disini tanpa kalian. Rasanya pelajaran terasa menjadi lebih menyenangkan ketika bersama kalian semua.

Semuanya, terima kasih banyak...

Karma menangkup kedua pipiku, "kenapa kau buat pingsan? Bukankah ia lebih baik kita buat sekarat?"

"Hei... kita hanya harus membunuh nafsu membunuh mereka saja. Itu saja. Itu lebih dari cukup," timpalku santai.

"Yah... terserah kau saja, lah..." pasrah Karma. Aku terkekeh pelan. Ah, aku ada satu pertanyaan yang sampai sekarang aku masih belum menemukan jawabannya. Kenapa aku terus saja diganggu oleh preman? Bukankah harusnya mereka takut kepadaku karena aku ini juara karate.

Aku menepuk pundak Karma, "Ehm... Karma, aku mau nanya. Kenapa aku selalu saja ditemukan oleh preman?"

Karma menyeringai lebar. Aku merasa akan ada yang tidak benar dengan jawabannya sebentar lagi. "Soalnya kamu pendek dan seperti bocil jadi sangat cocok untuk dijadikan korban mereka."

Kan, sudah kubilang juga apa. Aku jadi merengut kesal. Masa, itu jawabannya sih...

Karma kemudian terkekeh dan mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Soalnya kamu adalah gadis yang paling cantik, paling pintar dan yang paling aku sukai."

Hah, apa?

1011 kata

Beneran part terakhir nggak nih, guys?
Apa kalian mau minta lanjut aja?

PEMBUNUH MERAH PUTIH// Assassination classroom season 1 x ReaderWhere stories live. Discover now