22. Merasa Hampa

83 13 5
                                    

Naira sesaat merasa tertegun
ketika mendengar semua penjelasan Shalimar. Semuanya menjadi senyap, isi kepalanya berputar di satu manusia, yakni seorang Ademas Dewanggana.

Rasa bersalah apalagi ini? Naira untuk kedua kalinya membuat Demas tidak nyaman berada ditempatnya sendiri. Rupanya pemuda itu sudah kembali pulang ke rumah kontrakannya sesuai persyaratan yang mereka sepakati kemarin. Ini terlalu merepotkan Demas, tapi Naira juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemuda itu terus mendebat keputusan pemuda itu dan membuat Naira kalah mempertahankan keputusannya sendiri.

Dan perasaan yang sedang menyelimuti hati Naira adalah sesuatu yang tidak tahu diri, ketika gadis itu merasa hampa saat mengetahui kenyataan bahwa Demas tak akan lagi ada di pandangan matanya setiap hari. Mengingat jarak rumah kontrakan Demas dan rumah Shalimar yang cukup jauh terpisah puluhan kilometer meski sama-sama di Ibukota.

"Tante, Demas pulang jam berapa?" tanya Naira penasaran, karena seingatnya pagi buta tadi turun hujan.

Shalimar tersenyum, "Tadi abis subuhan Nai." jawab wanita itu sambil menghidangkan beberapa piring menu sarapan pagi ini.

"Tante bukannya tadi pagi hujan ya?"
tanya Naira lagi, dengan canggung dia memastikan.

"Iya hujan, tapi tenang aja kok Dewa udah Ibun suruh pakai jaket, jas hujan terus dia pake helm, sepatu boot pake sarung tangan juga." jelas Shalimar diringi kekehan kecil, seolah mengerti jawaban itu akan mengurangi rasa khawatir Naira tanpa gadis itu sadari.

Naira tersenyum getir, Ia berfikiran jika Demas masih marah kepadanya. Sebab pemuda itu lebih memilih menerabas hujan daripada menunggunya bangun. Tapi jika Demas benar-benar marah kenapa pemuda itu menitipkan pesan pada Shalimar untuk dirinya selalu makan tepat waktu dan mengobati luka lebamnya dengan teratur.

"Naira udah dulu ngelamunnya, sekarang sarapan, nih pilih Naira mau apa?"

"Eh Tante, Naira ambil sendiri aja."

Naira dibuat terkejut saat Shalimar hendak mengambilkan seporsi sarapan untuknya, langsung saja sinyal rasa tidak enak Naira bekerja dan mencegah Shalimar untuk melakukan hal tersebut.

"Ya udah sok, jangan ngelamun terus ya."

Naira mengangguk setelah dipersilahkan untuk mengambil makanannya sendiri oleh Shalimar, yang sekarang sedang sibuk dengan masakan yang masih ada diatas kompor. Entah apa yang wanita itu masak tapi bau wangi pandan mengisyaratkan rasa manis membuat Indra penciuman Naira termanjakan.

Aneka sayur serta lauk-pauk dan juga sambal yang begitu banyak ragamnya membuat Naira bingung memilih.
Dari semua yang ada di atas meja Naira akhirnya memilih mengambil sedikit sayur kentang krecek (kerupuk kulit sapi) balado juga tempe goreng untuk menemani nasi putihnya.

Disuapnya nasi yang sudah diaduk dengan sayur dan lauk ke dalam mulut, membuat Naira sedikit terperangah dengan kenikmatan rasa makanan yang sedang dikunyahnya.

"Eh eh eh Nasinya ko dikit banget, nambah lagi atuh kedikitan kalo buat berdua."

Seketika kunyahan Naira terhenti sejenak, kala mendengar kalimat Shalimar yang membuatnya sedikit terkejut. Tapi dibalik ucapan yang sama sekali tidak ada unsur nada sindiran ataupun sarkas juga membuat Naira langsung kembali menguasai pikirannya. 'Pasti Demas yang kasih tahu kan?'

"Nambah ya, sini sini piringnya Ibun tambahin."

"Jangan Tante, udah cukup ini, nanti aja ya, Naira habisin dulu ini nanti kalau mau nambah Naira ambil sendiri." kekeh Naira.

Spontan menghindarkan piringnya dari tangan Shalimar yang sudah menggenggam centong nasi siap untuk menambah porsi Naira.
Shalimar ikut terkekeh, melihat tingkah Naira.

"Naira itu kedikitan, gak cukup energinya buat dua orang."
bujuk Shalimar.

Sedangkan gadis itu tetap tidak terbujuk, Naira menyeringai senyum sambil menggelengkan kepala.

"Naira kalo makan kebanyakan takut muntah Tante." ucap Naira beralasan.

Hal itu bukan alasan tidak mendasar, melainkan memang Naira yang akhir-akhir ini mengalami nafsu makan yang berkurang, dan jika dirinya sudah mual selera makannya akan tambah menurun.

Shalimar tersenyum, langsung paham dengan kondisi Naira yang rupanya masih sering mengalami morning sickness.
"Ya udah kalau Naira ngerasa gak bisa makan banyak nanti dua atau tiga jam setelah ini harus makan lagi ya."

Naira langsung mengangguk mantap, untuk melegakan hati Shalimar.

***

Senin pagi yang cerah, Demas yang bangun terlambat sambil tergesa-gesa untuk melengkapi kaos pendeknya Ia menyambar kemeja flanelnya asal yang dibiarkan menjuntai tanpa dikancingkan. Dan bergegas mengendarai roda duanya.

Di kampus, menghiraukan rasa sakit dikepala dan tubuh yang sedikit menggigil Demas buru-buru menaiki tangga menuju lantai tiga dan ke ruangan dosen pembimbingnya, Bu Erlita Anaina S.Ars, M.Pd.
Bisa-bisanya pemuda itu lupa akan jadwal bimbingan skripsinya pagi ini.

Tok...tok ...tok

Di depan ruangan, Demas menghela nafas lega setelah ketukan pintunya mendapatkan sautan dari Bu Lita yang mempersilahkan pemuda itu masuk. Dan segera memulai bimbingan yang sudah dua bulan tidak Demas lakukan.

Dan hampir memakan waktu satu jam sendiri Demas bimbingan. Hasilnya tetap revisi.

Demas tersenyum getir, segera keluar dari ruangan Bu Lita. Pesan dosennya seakan menjadi beban tanggung jawab Demas. Sebelum tanda tangan ACC yang bisa saja sewaktu-waktu Bu Lita berikan, Demas diminta untuk merampungkan tugas akhir sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.  Suksesnya event yang dua Minggu lagi akan terselenggara salah satu tugas akhir Demas yang bukan hak sepele.

Setelah urusan dengan Bu Lita selesai Demas langsung saja bergegas pergi ke ruang sekretariat. Disana tak ada siapapun kecuali barang-barang yang telah disewa atau disiapkan untuk event mendatang.

Persiapan hampir 90%, Demas sebagai Korlap dan Penanggung Jawab terus memantau kinerja para panitia meski hari ini tidak ada rasa semangat Demas tetap harus mengontrol apa saja yang sudah siap. Dan rasa tidak bersemangat itu membuat pemuda itu mengabaikan makan siangnya. Pemuda itu lebih memilih menggeletakan kepala beratnya di atas meja, untuk sejenak tertidur dibanding pergi kekantin memesan semangkuk soto kesukaannya.

"Nanti biar gue yang bilang Dem...as, Demas?"
Dara, wakil Demas di BEM terperanjat ketika melihat pemuda itu berada di ruang sekretariat sendirian.

"Kak Demas Tidur?"
tanya gadis lain yang datang bersama Dara.

"Kayaknya si tidur Mit."

Keduanya saling menebak sebab posisi wajah Demas yang sengaja Ia tutupi dengan almamater membuat keduanya tidak tahu pasti pemuda itu benar tertidur atau hanya sekedar memejamkan mata.

"Coba gue lihat ya kak."

"Eh Mit."

Gadis bernama Mita itu dengan berani membuka almamater yang menutupi wajah Demas secara perlahan untuk memastikan.

"Eh iya kak, pak ketum tidur kok tumben dia bisa ketiduran disini biasanya dia yang paling uring-uringan kalau liat ruang sekret dibuat tidur sama anak-anak."

Dara mengedikan bahu tidak mengerti.

"Capek kali dia abis kerja rodi, liat aja tuh mukanya." jawab Dara asal, ketika melihat wajah Demas yang terlihat kacau.

"Yee kak Dara, muka orang tidur mah emang begitu."

Kemudian disusul beberapa anggota lainnya masuk ke ruang sekretariat, Mita mengisyaratkan mereka untuk memelankan suara sambil menunjuk kepada si ketua yang sedang pulas tertidur.

Semuanya patuh kepada perintah Mita, alhasil mereka yang ingin melanjutkan obrolan memilih untuk saling berbisik atau mengurangi suara sepelan mungkin.

***

Naira dan Demas Update lagi. Setelah sekian lama Hiatus, makasih yang sudah mengikutinya sampai hari ini ya. Cerita ini akan terus berlanjut jadi semoga kalian tetap mengikuti sampai akhir.

See you next chapter.

Nice To Meet You (END)Where stories live. Discover now