47. Akhir Penantian

111 5 0
                                    

***

Keringat sebesar biji jagung banyak tercetak di dahi dan leher Demas. Tangannya yang licin membuat pemuda itu tidak nyaman dan beberapa kali mengusap ke kain bajunya. Gugup yang Demas rasakan kali ini berbeda dengan rasa gugup saat wawancara dengan rektor dan beberapa wakil rektor sebelum pelantikannya sebagai ketua BEM kampus. Meski sama-sama ada tanggung jawab yang harus diemban.

Demas gugup karena akan menandatangani surat persetujuan tindakan seorang pasien gawat darurat atas nama Naira Adelaine. Seolah nyawa Naira adalah pasir yang sedang Demas genggam.

Sambil gemetar tangan Demas menuntun pena hitam membentuk tanda tangan di atas kertas putih yang berisi pernyataan bahwa sebagai wali Demas telah setuju adanya tindakan medis pada pasien dengan segala kemungkinan resiko atas tindakan medis tersebut.

"Sudah pak Demas?"

Menyerahkan surat itu, Demas mengangguk lemah.

Demas yang masih tidak percaya dengan semua ini, tetap diam menatap kosong ke depan. Tangannya menggenggam kuat-kuat udara dingin di ruangan dokter, berharap gemetar itu cepat hilang.

"Kalau begitu saya tinggal dulu ya pak Demas."

Kini gelisah, gugup yang sudah tercampur berubah menjadi rasa takut. Tiba-tiba saja semua bentuk seri muka Naira hadir di hadapan Demas. Mulai dari senyuman, tangisan, rasa sedih, marah, bingung, takut, dan rasa lega Naira satu persatu tampil di depan wajah Demas. Menyadarkan Demas dari ketidakpercayaan ini.

Melihat dokter yang hendak keluar dari ruangan, buru-buru Demas beranjak mengejar sang Dokter yang sudah sampai di depan pintu.

"Dokter...." suara Demas tercekat.Demas yang sudah berkaca-kaca, sambil menelan kepahitan Ia menatap penuh permohonan kepada dokter di depannya.

"Iya?"

"Dokter tolong selamatkan mereka berdua."

"kami pasti akan lakukan yang terbaik pak Demas, tapi Tuhan yang menentukan jadi berdoa saja ya semoga kita semua bisa melalui ini dengan baik." ucap sang dokter meyakinkan Demas, walaupun itu sama sekali tidak meyakinkan Demas sedikitpun, setelah tadiIa dijelaskan mengenai kondisi dan diagnosa Naira.

"Dokter..." cegah Demas lagi saat sang Dokter hendak keluar meraih handle pintu.

"Apapun yang terjadi nanti kalau sampai ada di pilihan yang sulit saya mohon dokter tolong utamakan keselamatan ibunya ya?."

Namun sang Dokter hanya bisa tersenyum, tanpa memberikan jawaban yang pasti. Meninggalkan Demas yang menderita karena ketakutan setengah mati.

Dengan langkah gontai pemuda itu mencari dinding untuk dirinya bersandar. Takut, khawatir, dan gelisah jadi satu dalam benak Demas.

Benarkah ini? apakah wajar ia berada di posisi ini sekarang dan pantaskah Demas memberi tanda tangan setuju untuk hidup seorang Naira.

"Dewa." panggil seseorang yang sudah berdiri di dekat pemuda itu.

"Bun, Dewa takut. Naira bun Naira."

"Iya, Naira pasti baik-baik saja Dewa." Shalimar meraih tangan pemuda itu yang gemetar.

Mata yang biasanya terlihat tenang nan jernih itu kini berair dan ketakutan.

"Bun." panggil pemuda itu lirih dengan pandangan kosong.

Demas menyadari sesuatu.

"Yaa?

"Ini bukan salah Dewa kan Bun?... ini bukan tanggung jawab Dewa kan. Bukan Dewa yang seharusnya ada di sini dan melakukan semua ini. Tapi kenapa Dewa ada disini?"

Shalimar yang melihat Demas ketakutan bercampur gelisah, langsung merangkul putranya. Berharap sedikit menenangkan perasaan Demas saat ini.

Mengusap punggung putranya yang jauh lebih besar, Shalimar terus mengucapkan kalimat-kalimat yang bisa menenangkan Demas.

"Dewa takut Bun." ucap Demas lirih dan gemetar.

"Takut semua ini salah Dewa, takut semua yang Dewa lakukan akan berakhir buruk, Dewa takut Naira ...." ucap Demas tercekat, tak bisa melanjutkan kalimatnya.

Melihat Demas ketakutan seperti ini, Shalimar sedikit merasa lega, seolah tanda bahwa pemuda itu sudah mulai terbuka dengannya. Karena Demas terbiasa dengan wajah datar dan kaku jika bersama Shalimar.

Tapi hari ini, Shalimar melihat bagaimana pemuda yang menjadi putranya itu menangis selayaknya anak kecil yang merengek kepada ibunya. Tanpa rasa malu, tanpa rasa sungkan lagi.

"Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri Dewa, ini bukan waktu yang tepat menyalahkan diri. Kalau kamu mau melakukan itu, nanti saja kalau memang semuanya sudah jelas termasuk bagaimana nantinya keadaan Naira. Yang terpenting sekarang kita harus banyak berdoa untuk mereka. Tenangin diri kamu ya."

Demas mengangguk lemah, seolah kata-kata Shalimar adalah mantra yang berhasil menghipnotis Demas untuk menurut dan meredakan sedikit sesak di hatinya.

***

Di depan ruang operasi, Demas, Shalimar, Radit dan Ayu duduk sambil menunggu pintu itu terbuka dengan harap-harap cemas di depan ruang operasi.

Demas menunduk sambil terus merapal banyak doa, begitu juga dengan Shalimar yang terus berada di samping pemuda itu. Begitu juga dengan Radit dan Ayu, masing-masing dari mereka diam dan membatin doa untuk Naira.

Setelah menunggu hampir tiga jam lamanya, akhirnya lampu di atas ruang operasi mati, menandakan bahwa operasi telah selesai.

Demas langsung sontak berdiri, dan berjalan menuju pintu. Bersiap untuk menghadang sang dokter yang belum juga keluar dari ruangan.

"Kenapa dokternya belum juga keluar." gumam Radit.

Ayu yang merasa setuju pun langsung menimpali ucapan Radit, "iya kenapa lama banget gak keluar-keluar si."

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang, sang dokter keluar. Semua berdiri penasaran dengan kondisi Naira dari penjelasan dokter.

"Dokter bagaimana keadaan Naira dan bayinya?" tanya Demas cemas.

"Alhamdulillah, ibu Naira dan bayinya berhasil selamat."

Kalimat dokter barusan membuat semua yang mendengarnya merasa lega. Tanpa terkecuali Demas yang hampir saja limbung sebab rasa cemas yang dirasakannya hilang seketika, seakan mengurangi sedikit beban di pundaknya.

"Tapi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada wali Ibu Naira yang bertanggung jawab yaitu pak Demas."

Demas dan lainnya saling pandang, seolah rasa cemasnya tak pernah benar-benar hilang.

"Ikut ke ruangan saya ya pak." ucap sang Dokter.

Melihat Demas yang menatapnya penuh khawatir Shalimar mengangguk, isyarat untuk meyakinkan Demas agar menuruti perintah dokter.

Dengan kegelisahan yang masih tersisa, Demas melangkah pelan mengikuti sang dokter berjalan menuju ruangannya.

"Silakan duduk pak Demas, saya membersihkan diri sebentar."

Demas mengangguk paham. Pemuda itu duduk di tempat yang sama sewaktu ia menandatangani surat persetujuan penanganan Naira beberapa jam yang lalu.

Aneh, Demas merasa seperti De Javu,  tapi secepat ini? bahkan hanya selang beberapa jam saja?

Jika ini bukan hal serius tidak mungkin dokter akan menemui Demas dengan cara seperti ini, padahal tadi Ia sudah memberi tahu bahwa Naira dan bayinya selamat.

Kepala Demas rasanya ingin meledak, ia tidak sakit sungguh bahkan kakinya yang masih sedikit pincang bukan masalah baginya, tapi dibuat khawatir, cemas dan takut jadi satu seperti ini membuat Demas merasakan sekarat yang tak berkesudahan.

🌞🌞🌞

See You Next Chapter.

Nice To Meet You (END)Where stories live. Discover now