39. Di jalan yang panjang

61 6 0
                                    

Enjoy for reading

***

Kaki Naira kebas, dibawanya tubuh Naira yang berat untuk sejenak duduk di salah satu kursi panjang pinggir trotoar jalan. Naira mengusap perutnya yang terasa lapar. Air matanya menetes lagi, tak bisa lagi dibendungnya.

Bahkan dalam keadaan seperti ini Naira tidak bisa melindungi dirinya sendiri dan sekarang dirinya memikirkan bagaimana nanti jika anaknya lahir.

"Maaf ya nak." gumam Naira dalam tangisnya.

Tak ingin menjadi pusat perhatian sambil menunduk gadis itu terus meratapi nasibnya sendiri. Sampai tidak sadar ada seseorang yang sudah berdiri di samping Naira dan membuat gadis itu terkejut.

"Naira?"

"Hah?"

Naira mengusap air matanya kasar setelah tahu siapa yang berdiri di depannya.

"Lo Naira kan? Lo ngapain disini Nai?"

"Ayu?."

"Iya ini gue."

Langsung saja Naira menghambur ke arah orang yang rupanya adalah Ayu teman SMA sekaligus tetangga Naira dulu.

"Nai Lo gak papa kan?"

Ayu yang melepas pelukan Naira dengan perlan mencoba memeriksa keadaan Naira yang terlihat berantakan. "Gak ada yang luka kan Nai?"

Naira menggeleng namun bersamaan dengan hak tersebut tangis Naira semakin pecah bahkan tangisan itu bersuara layaknya anak kecil dan berhasil membuat Ayu kaget sekaligus panik.

"Naira kenapa?!" pekik Ayu khawatir, lagi-lagi gadis itu memeriksa tubuh Naira barangkali ada yang luka, dan lebam.

"Gue laper Yu." ucap Naira lirih sebelum akhirnya Ia kembali menangis.

Mendengar kata-kata itu Ayu langsung menarik perlan tubuh Naira ke dalam pelukannya "Astaga Naira."

"Gue laper Yu gue kelaperan , tapi gue  gak bisa kasih makan apa-apa ke anak gue " Isak Naira keras.

Ayu ikut meneteskan air matanya ketika mendengar pengakuan Naira dalam isakan gadis itu ada rasa bersalah, dan putus asa.

"Kita cari makan dulu ya Nai, abis itu kita pulang ada yang mau omongin sama Lo Nai."

Naira yang mendengar itu langsung menarik diri dengan menegakan dadanya. "Omongin apa Yu?"

Ayu yang melihat wajah pucat dan lelah Naira seolah tidak tega untuk langsung menceritakan apa yang sebenarnya ingin Ia beritahu kepada Naira, apalagi gadis itu baru saja mengeluhkan kelaparan. Entah sudah berapa lama Naira seperti ini tapi wajah kelelahan begitu kentara di wajah Naira.

Ayu meraih tangan Naira untuk digenggamnya dengan erat, dengan berat hati juga Ayu memasang senyum simpul untuk sedikit menenangkan Naira yang mimik mulanya mulai berubah menjadi khawatir dan penasaran. Seola awalh memang ada yang sedang di khawatirkan gadis itu.

"Kita cari makan dulu yuk, kasian dia Nai." ucap Ayu sembari mengusap sekilas perut Naira mengajak gadis itu bangkit dari duduknya.

Naira menuruti perkataan Ayu, tangan Ayu yang tidak melepaskan rengkuhannya membantu Naira membawa langkahnya yang mulai melemah. Karena jujur saja kaki Naira benar-benar kebas dan lelah.

Tidak jauh dari tempat mereka sebisa mungkin Ayu memilih rumah makan terdekat, alhasil Ayu memutuskan untuk berhenti di rumah makan Padang yang jaraknya lumayan dekat.

Semua makanan yang Ayu pesan telah tersaji, tanpa menunggu lagi langsung saja Ia menyuruh Naira untuk segera memakan makanannya. Naira yang tidak menolak pun menyantap seporsi nasi beserta lauk pauk khas Padang itu.

***

Kemarin

Radit datang ke kampus dengan perasaan campur aduknya, mencari-cari sosok yang saat ini sedang membuat pemuda itu naik pitam.

Pemuda itu bak orang yang sedang kesetanan, Radit terus meneriakkan nama orang yang sudah ingin sekali Ia hajar. Orang yang telah membuat sahabatnya tertidur pulas meski Radit tau kalau sahabatnya selama ini selalu mengalami sulit tidur tapi bukan berarti harus tidur pulas seperti ini.

Semua pasang mata kini tertuju pada Radit si pecundang yang berwajah tengil.

"Radit!"

"Radit lo ngapain si!" teriak Dara menarik lengan pemua itu dengan keras membua keduanya hampir bertabrakan.

"Gue cari Niko dimana dia?"

"Gak ada."

"NIKO!!"

"GAK ADA."

Dara menatap nyalang Radit yang tak menghiraukan ucapannya. Sedangkan pemuda itu terkejut karena suara Dara tak kalah keras darinya. Tatapan keduanya tajam seolah mereka siap untuk saling membunuh.

"Ini kampus bukan hutan rimba, etikanya dipake Dit."  ucap Dara terdengar dingin.

Radit tak mau kalah, menghiraukan mereka yang sedang menjadi pusat perhatian. Masih berusaha menahan untuk tidak berbicara kasar kepada Dara.

"Gue mau cari Niko, kalo Lo tau kasih tau ke gue." nada suara Radit sebisa mungkin tak keluar kasar.

"Ada urusan apa sama Niko?"

"Gak ada urusan sama Lo Dar, jadi gak usah ikut campur "

Dara yang mendengar itu langsung merubah raut wajahnya. Ucapan Radit seolah telak untuk Dara bahwa Ia telah ikut campur urusan mereka berdua, tapi cara Radit yang salah karena harus berteriak-teriak tidak jelas di kampus membuat semua orang terganggu.

"Niko gak ada, dia udah terbang ke Singapur hari ini."

"Argghhh sialan."

Umpat Radit sembari memukul udara, karena semua firasat yang ada di dalam pikirannya benar-benar terjadi dan semakin membuat Radit kesal sekaligus marah karena merasa gagal untuk membalas ketidakadilan yang Demas sahabatnya terima.

Teman-teman Radit lainnya datang, Riko, William, dan dua lainnya mencoba meraih pemuda itu untuk memastikan ucapannya di telpon sebelumya.

"Sorry Dit kita gak bisa nahan Niko, Lo tau sendiri kuasa orang tuanya di kampus kita." ucap William yang juga merasa gagal.

Riko yang sekarang melihat jelas wajah kacau Radit mendekati pemuda itu. Sekali lagi ingin memastikan apa yang telah terjadi pada Demas dan Niko. "Lo gak salah sangka kan Dit?"

"Kalau pun bukan Niko sendiri pasti orang suruhan rumahnya Rik. Gue gak ngada-ngada karena gue sendiri yang nemuin Demas di sana."

Dara yang masih di sana sontak menutup mulutnya yang sempat terbuka sejenak, karena terkejut dan baru mengerti apa yang sedang terjadi.

Dan sekarang sudah terlambat, nyatanya ungkapan yang kaya yang berkuasa benar adanya. Niko dan kekayaan orang tuanya mampu menyelesaikan masalah dengan dalih yang lebih masuk akal, daripada laporan dan tuduhan yang ditujukan.

Laporan dan tuduhan itu akan menjadi bahan guyonan para ahli lapor, karena lebih masuk akal jika pemuda yang terkenal pintar itu memiliki alibi bahwa dia tidak melakukan apa-apa dan tidak ada di sana, di lokasi kejadian. Dan mungkin nantinya kasus dibatalkan karena tidak adanya bukti-bukti.

"Gue gak ngerti apa-apa Dit, coba cerita apa yang terjadi sama Demas, terus kenapa Lo ngamuk sama Niko. Apa disini cuma gue yang gak ngerti apa-apa."

Kalimat Dara menyiratkan kekesalan karena hanya dirinya yang merasa kebingungan sendirian di sana. Semuanya yang ada di sana terdiam tak satupun hendak menjawab maupun menanggapi ucapan Dara.

***

Jangan lupa untuk beri vote, komen dan sarannya dan Terimakasih untuk kalian semua yang sudah mengikuti cerita Demas Naira sampai sejauh ini.

See you soon

Nice To Meet You (END)Where stories live. Discover now