38. Seperti Daun Kering

59 7 0
                                    

***

Shalimar ditemani Isti dan Radit tak kuasa menahan air mata ketika melihat putra semata wayangnya yang selalu terlihat kuat dan sehat harus tertidur pulas di ranjang rumah sakit dengan selang infus menempel di tubuhnya.

"Dewa bangun Dewa, Ibun takut lihat kamu kaya gini, bangun nak bangun sayang." pilu Shalimar sembari menggenggam tangan Dingin Demas.

Isti, kerabat yang paling dekat dengan Shalimar tak melepaskan rengkuhannya pada wanita setengah parubaya itu. Tangan wanita itu juga tidak lelah untuk terus mengusap bahu untuk menenangkan Shalimar.

Sedangkan Radit yang tak bisa ikut campur urusan keluarga ini hanya bisa diam juga menatap sedih ke arah Demas yang sedang tertidur lelap.

"Dewa...."

Melihat pemandangan itu membuat Radit memilih keluar dari ruangan.

Dokter mengatakan bahwa luka yang di miliki oleh Demas adalah luka karena pukulan keras yang mengenai beberapa titik vital tubuh Demas sehingga itulah yang membuat tubuh pemuda itu tak sadarkan diri. Dan semua itu membuat Radit marah, bingung, takut, kesal dan gelisah semuanya menjadi satu.

Sebelum ini terjadi, Radit sangat berharap bahwa perasaannya salah. Semua sangkut paut tentang Demas pasti terbelenggu oleh kisah Niko dan Naira. Tadinya Radit berusaha menepisnya.

Saat dini hari tadi sekitar pukul empat pagi, ketika Shalimar menghubungi Radit dengan kalimat yang menyiratkan ke khawatiran akan Demas yang belum pulang dalam jangka waktu cukup lama membuat Radit terlonjak dan langsung bergegas menuruti permintaan Shalimar untuk mencari Demas segera.

Namun apa boleh buat, keputusan Radit setelah putus asa menghubungi teman kelas dan semua teman yang sering bersama Demas tak membuahkan hasil. Maka dengan berat hati laju rumah Radit ke rumah Niko agak berat, seolah firasat itu menuntun Radit dengan paksa.

Dan benar saja apa yang terjadi disana membuat ketakutannya sejak tadi menjadi nyata hingga sekarang hari kembali menjelang malam.

***

"Maaf kak, sekali lagi tapi unit apartemen ini sudah habis kontrak dan hari ini sudah harus kosong."

Beberapa kali Naira masih mencoba untuk memahami situasi yang sekarang sedang terjadi. Membuat gadis itu sedikit membengong karena masih juga tak paham.

"Maksudnya?" ucap Naira lirih dengan mata yang sudah dikelilingi kaca.

"Iya jadi unit ini sudah harus dikosongkan per hari ini karena kontrak telah habis." jelas seorang wanita dengan pakaian rapih hitam putih bersama beberapa orang lagi di belakangnya.

"Boleh saya dan staf saya masuk kak, ada beberapa hal yang harus di bereskan karena per hari ini juga akan ada penghuni baru."

Dengan tatapan kosong memberi jalan orang-orang itu untuk masuk, kaca yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah juga, tetesan air mata itu menggambarkan bagaimana gadis itu gagal memahami semua situasi sekarang.

Mau tidak mau, Naira pergi dari gedung mewah itu. Tanpa siapapun yang memberi tahu alasan kenapa gadis itu harus pergi. Padahal kemarin Niko baru saja berkata bahwa itu apartemen miliknya.

Naira menatap ke atas gedung, dan akhirnya dengan langkah linglung penuh kebingungan gadis itu berjalan menuju jalan raya. Sejak pintu apartemen terbuka Niko bahkan tak bisa dihubungi, berkali-kali panggilan masuk dari Naira tapi satupun tak ada yang pemuda itu angkat. Panggilan untuk Niko tak lagi berguna, bahkan benda pipih ini juga tidak bisa membantu Naira untuk memilih menghubungi orang selain Niko.
Bodoh memang Naira, karena kemarin mau menuruti Niko untuk mengganti kartu perdana dalam ponselnya.

Apakah Naira sedang terjebak, meski telah melawan isi hati, rasanya baru kemarin Naira memilih keputusan yang tepat dan benar. Namun hal yang Naira anggap tepat dan benar itu merupakan sebuah batu loncatan yang membuat Naira terjerumus kesakitan lebih dalam.

***

Tok...tok ...tok

"Assalamualaikum."

"Ibun, Bun?!"

Naira masih menunggu jawaban. Selang beberapa menit tak ada suara yang Naira nanti nantikan, melainkan hanya suara burung yang hinggap di pohon jambu pojok pagar depan.

Sekali lagi "Bun... Demas...." dengan suara sedikit parau Naira berusaha memanggil mereka yang sangat Naira harapkan kehadirannya di hadapan gadis itu.

Satu menit dua menit hingga sepuluh menit telah berlalu namun tak ada yang berniat untuk menjawab panggilan Naira di depan pintu.

Kenyataan itu membuat Naira meluruh, mengabaikan perutnya yang terasa sedikit kaku mungkin efek gadis itu terlalu lama duduk di dalam tiga mobil angkot secara bergantian untuk bisa sampai ke rumah ini.

Tangis gadis itu pecah, hanya saja suara yang biasanya akan keluar dalam setiap isakan Naira kini berganti dengan gerakan tubuh selayaknya orang gemetar.

"Demas?" sebut Naira lemah dalam tangis sedu sedan gadis itu.

Memeluk lututnya sendiri adalah cara Naira untuk tetap meredam suara tangis yang kapan saja bisa mengeras.

Dan sekarang hampir dua jam Naira berada disini tanpa jawaban dari dalam rumah. Pikirannya benar-benar kalut hari ini, seolah semua orang sedang mengerjai Naira dan menguji seberapa kuat gadis itu bertahan dalam kesendirian dan ketakutannya.

***

Setelah berperang batin dengan dirinya sendiri akhirnya Radit memutuskan untuk kembali datang ke rumah Niko, tempat dimana dirinya menemukan Demas terakhir kalinya.

Lima menit sudah Radit berada di pintu gerbang rumah mewah itu, tidak lupa pemuda itu juga telah beberapa kali mendobrak-dobrak pintu gerbang raksasa itu.

"Niko keluar!!!"

"Niko!!!"

Ting tong ...Ting tong... Ting tong

Suara bel rumah Niko pun tak luput dari geraman Radit yang terdengar berbunyi dengan tidak sabaran.

"Sialan."

Radit berkacak pinggang, matanya coba menyapu keadaan sekitar dan langkah gusarnya sembari menunggu pintu itu terbuka mencoba mencari benda pipih milik Demas yang entah hilang sebelum pemuda itu sampai kemari atau diambil paksa oleh pelaku pengeroyokan Demas.

Semua yang Radit lakukan tak menemukan titik terang. Radit berusaha menetralkan nafasnya yang memburu. Seharusnya Radit tahu bahwa datang kemari adalah hal yang sama sekali tak ada jawaban, karena kemungkinan besar Niko sudah pergi atau bahkan bersembunyi.

Sebentar....
Ada sesuatu yang Radit ingat, tadi pagi seharusnya adalah jadwal sidang Niko kan? buru-buru Radit langsung mengambil ponselnya dan memencet salah satu nomor yang sangat di harapkan Radit.

Langsung saja Radit mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi siapa saja yang bisa menemukan Niko di kampus dan meminta untuk menahan pemuda itu.

***

Makasih yang masih mengikuti cerita ini, semoga tetap berlanjut sampai cerita ini selesai ya.

Happy Reading guys

Nice To Meet You (END)Where stories live. Discover now