36. Titik Balik Untuk Demas

71 6 0
                                    

***

Di Taman dekat rumah Shalimar, kini Naira sedang duduk di kursi panjang samping pemuda yang dengan berani menjemput Naira di rumah Shalimar, dengan membuat keributan kecil dengan mendobrak-dobrak gerbang rumah Shalimar yang tidak tinggi itu.

"Sekarang gimana jawaban kamu Nai, aku rasa waktu yang udah aku kasih cukup untuk menentukan jawabannya."

"Kenapa Nai? Demas belum kasih jawaban ke kamu jadi kamu gak bisa kasih aku kejelasan, dan ini... Sebenarnya yang harusnya minta tanggung jawab itu aku atau kamu ini kenapa aku yang harus nunggu keputusan."

Air mata Naira menetes jatuh membasahi pipi, tanpa gadis itu mengisakpun mata Naira sudah merah dan basah.

"Liat aku Nai, liat luka lebam ini. Ini semua ulah Demas, Demas yang sok pahlawan buat kamu dengan amarahnya, aku akui aku salah dan sekarang aku mau tanggung jawab kamu malah ogah-ogahan gini."

"Kamu harus tahu fakta Naira kalo yang seharusnya tanggung jawab itu aku bukan Demas, semua kebaikan Demas selama ini hanya obsesi ke kamu dan jangan harap kalau kamu memilih dia dengan kamu membawa anak kita dia juga akan bersikap baik juga ke anak kita."

"Demas tempramental Nai, aku udah tahu sendiri gimana waktu dia bersikap dan memperlakukan aku di depan umum. Asal kamu tahu sekarang Demas masih nyari keberadaan orang tua kamu. Demas mau pulangin kamu ke mereka dengan alasan tanggung jawab sengaja membuat hubungan kalian baik dan setelah berhasil menikahi kamu dia pasti gak akan terima anak kita supaya kamu tetap sama Demas, dia pasti akan titipkan anak kita ke orang tua kamu."

Semua fitnah Niko menghilang dari kepala Naira dan gadis itu hanya fokus dengan pernyataan bahwa Demas sedang mencari tahu keberadaan keluarganya.

"Apa?" Naira tertegun masih mencoba mencerna kalimat Niko.

"Aku gak mau kamu menyesal Nai..."

"Aku kenal sama kamu itu udah sebuah penyesalan Niko."

Kali ini Niko yang dibuat tak berkutik dengan kalimat Naira. Bak tamparan keras bagi pemuda itu, Niko merubah tatapannya tajam. Aura kebenciannya mulai tersorot di wajah pemuda itu.

Seolah tak terpengaruh dengan semua ucapan pemuda itu, Naira juga tak memalingkan wajah untuk menatap dingin Niko, meski dengan mata yang sudah terlanjur basah.

Pemuda itu menyadari sorot mata Naira kepadanya telah berubah sepenuhnya. Tak menyisakan tempat lagi untuk Niko disana.

"Oke, kalau memang Lo udah terlanjur jatuh kepelukan Demas, gue bisa apa Nai. Tapi kalau sampai Lo balik ke dia, gue juga bisa apa kalau Demas nanti bisa berurusan sama pihak berwajib karena ini."

Seketika itu juga Niko berubah menjadi asing, panggilannya pun berubah tidak ada lagi aku kamu dalam kata-kata ancamannya. Dengan angkuh menunjuk lebam diwajahnya sebagai peluru untuk menjerat Demas agar membuat Naira tak lagi berpaling.

"Sekarang gue butuh jawaban itu Nai,
jangan buat gue menunggu lagi, masih baik kan kalau gue mau bertanggung jawab, jangan buat dia bingung Nai."
Sembari berucap pandangan Niko beralih ke arah perut Naira.

"Niko...."

Dengan nada rendah Niko mencoba memberi Naira pilihan "Sama gue atau sama Demas?"

"Lo gak kasih pilihan Lo maksa." seru Naira sambil mengusap air matanya yang terus jatuh tak mau berhenti.

"Terserah itu keputusan Lo, gue gak pernah bisa kalah dari Demas."

***

Naira duduk termenung menatap kosong arah jendela yang menghadap jalanan padat ibu kota. Mata merahnya telah menandakan bahwa gadis itu sudah begitu sering menangis.

Tak ada pilihan lain, sudah terlalu banyak dirinya menyeret Demas dalam banyak masalah. Maka Naira memutuskan untuk mengikuti semua kemauan Niko, termasuk berada di ruangan salah satu unit sebuah gedung apartemen ini.

"Nai aku pergi dulu ke kampus sebentar."

Naira menoleh pada Niko yang bersuara. Ditatapnya mata yang kembali hangat itu, seolah telah mendapatkan kemenangan bahkan pemuda itu tidak repot-repot menanyakan bagaimana keadaan mereka berdua.

Gadis itu hanya mampu menganggukan kepala. Wajah lelah Naira juga tak mempengaruhi Niko barang sejenak untuk sedikit perhatian.

***

Di tempat lain, Demas sedang gelisah karena ingin sekali segera pulang ke rumah Shalimar. Tapi apalah daya Demas jika dirinya tak bisa meninggalkan tanggung jawab begitu saja.

Acara penutupan festival telah berlangsung, semua panitia mulai sibuk dengan urusan bongkar membongkar. Tanpa terkecuali Demas yang ikut membereskan beberapa kursi dan peralatan lainnya.

Bahkan setelah ini usai Demas juga masih memiliki tanggung jawab bertemu dengan rektor dan beberapa jajaran untuk rapat pembubaran panitia.

Belum lagi berkas skripsinya yang sudah di minta oleh Bu Lita selaku Dospem Demas.

"Radit, gue pulang duluan ya."

Pemuda yang sedang sibuk bermain game itu terlonjak ketika Demas baru saja duduk setelah kembali dari aula rapat pembubaran panitia.

"Ke mana? Ke rumah Bu Shalimar apa ke kostan?"

"Ke rumah."

"Demas Lo kan besok harus ketemu sama Bu Lita?"

Dara yang mendnegar interaksi keduanya ikut menyambung.

"Udah tengah malem Demas, kita udah capek seharian kerja mending besok aja."

"Iya bener Demas." timpal Radit membenarkan ucapan Dara.

Demas melihat semua panitia yang masih ada di ruang sekretariat tergeletak asal, beristirahat. Dirinya juga sebenarnya lelah tapi rasa gelisah Demas tak bisa lagi dibendungnya.

"Oh iya, ada yang liat Niko gak?"

Dara sedikit mengerutkan dahi bingung, dengan ragu dirinya menjawab pertanyaan Demas, "Niko tadi izin besok dia sidang akhir jadi dari abis Dzuhur udah pulang, kenapa Demas?"

"Demas?"

Demas tersentak ketika lengannya diguncang Radit.

"Hah, gak kenapa-kenapa, gue duluan ya."

"Demas terus urusan Bu Lita?"

"Besok pagi-pagi banget gue udah disini, gue cuma mau pulang Dit dari tadi Ibun gue gak bisa di hubungi."

Dara menahan Radit, ketika pemuda itu berusaha menghentikan Demas. Isyarat dari Dara membuat Radit mengurungkan niatnya dan membiarkan Demas berlalu pergi meninggalkan kampus di tengah malam begini.

Di lorong gedung Demas berhenti, ponselnya bergetar memperlihatkan nomor baru yang membuat Demas ragu untuk mengangkatnya.

"Dewa..."

Demas merasa lega ketika mendengar suara Shalimar.

"Bun kenapa? tadi kenapa gak aktif nomornya?"

"Dewa kamu sama Naira ?" Shalimar balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Demas.

"Engga Bun, Naira kemana?"

Shalimar tak langsung menjawab, membuat Demas mempercepat langkah menuju parkiran kendaraan roda duanya.

"Bun? Naira kemana?" kali ini suara Demas meninggi.

"Naira belum pulang Demas, Ibun khawatir ponselnya juga gak aktif udah malem begini, Ibun kira Naira sama kamu."

"Tadi pamit pergi nya kemana Bun?"
tanya Demas menginterogasi sembari dirinya memakai helm.

"Tadi Naira pergi sama anak cowok, katanya itu temen kampus kamu, Ibun pikir dia mau anter Naira ke kostan kamu, Naira juga tadi gak bilang apa-apa Dewa, tapi sekarang ko belum pulang udah malem gini."

"Apa?!"

Demas tak lagi mendengar ucapan Shalimar lagi, selanjutnya dia membiarkan ponsel itu bersuara sendiri dan pemuda itu fokus untuk segera melajukan kendaraannya.

***

⭐⭐⭐⭐⭐

See You Next Chapter

Nice To Meet You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang