11. Beri Aku Cicit Lelaki

4K 495 25
                                    

Gista heran pada keluarga ini, bukannya doa yang utama bagi orang meninggal adalah dari anak cucu? Ini kenapa malah hanya para tetangga dan anak yatim yang melakukan, sedang mereka asyik berdebat tiada henti di ruangan lain.

Gista hanya duduk terdiam dengan memangku Elea yang tidak pernah terlihat nyaman, sejak memasuki rumah besar ini. Tidak sedikit pun Gista pedulikan aneka tatapan dari keluarga Arda. Meskipun diantaranya ada yang dia tahu sebagai pria yang sedang dekat dengan salah satu sahabatnya. Tak sedikit pun Gista peduli.

Bosan dia rasakan, sama seperti Elea yang cemberut sambil bersandar padanya. Berkali-kali Elea berbisik untuk pergi dari tempat itu, tetapi Arda juga berkali-kali menggeleng kecil padanya sebagai peringatan.

Kakek Arda yang kaya raya tapi kolot, tidak pernah memberi wajah pada Gista. Saat Arda terpaksa mengenalkan dirinya sebagai calon ibu baru Elea, kakek tua yang seluruh rambutnya beruban itu hanya menatapnya sekilas. Sorot matanya seolah mengatakan, siapa kamu?

Oh, belum apa-apa aku sudah muak pada keluarga ini. Batin Gista kesal. Apalagi para wanita yang mirip parade. Segala merek fashion kenamaan ada di antara wanita-wanita itu. Cara mereka memandang Gista sungguh kontras dengan barang branded yang mereka kenakan. Untungnya Arda menyiapkan gaun yang tidak kalah untuknya. Kalau tidak, dirinya tidak bisa mengibaskan rambut pada para wanita itu. Sombong boleh, segan jangan. Quote Gista sebagai penyemangat untuk diri sendiri.

"Pak Arda, sampai kapan? Kita bosan..." Bisik Gista melewati kepala Elea. Mata mereka saling bertatapan, dengan Gista yang menganggap biasa-biasa saja. Sementara Arda merasa ada sesuatu yang lain di wajah Gista, sehingga dia perlu untuk memandangi gadis itu lebih lama.

"Jangan panggil aku 'pak, kalau kamu tidak mau disangka pembantuku." Jawab Arda tidak sesui pertanyaan.

Gista memonyongkan bibirnya. Segera dia meralat, "Arda," panggilnya.

"Kemarin kamu memanggil 'mas'," seloroh Arda.

Gista mencibir,"Mas Arda yang ganteng tapi jutek, kapan aku dan Lele bisa out dari sini?" Gista mencebik. Bibirnya mengomel sesuatu yang tak bisa Arda dengar jelas karena mereka hanya saling berbisik.

Namun Arda terenyum berkat pujian bernada sarkastik dari gadis itu. "Sebentar lagi," jawabnya santai.

Gista dan Elea kompak mendesah, menggelitik Arda untuk tersenyum makin lebar. Andai ibunya Elea bisa bersikap manis seperti Gista, batin Arda tidak sadar memuji.

"Lele, kamu lapar?" Bisik Gista pada Elea yang mengangguk tak berdaya. 

Gista meminta persetujuan Arda. "Boleh aku membawa Lele menyelinap keluar?" Lalu jalan-jalan sambil jajan? Gista melanjutkan kalimatnya dalam hati. Matanya membayangkan ayam cepat saji dan es kopi.

"Jangan ajari Elea jadi pembangkang, Gista." Ingat Arda dengan arah matanya pada saudara-saudaranya. Mereka masih seru dalam aksi saling menyindir sekaligus membanggakan diri satu sama lain.

"Ah pembangkang apanya. Kita cuma boring," elak Gista. Pandangannya tampak jemu pada sarkasme yang keluar dari bibir keluarga besar Arda.

"Iya, boling Papi." Elea membela Gista.

"Diam...!"

Suara rendah dan jernih tapi menakutkan itu membuat seluruh ruangan hening seketika. Apalagi Elea seketika menyembunyikan wajahnya di dada Gista karena takut. Tidak sadar Gista pun menggeser tubuhnya mendekat Arda.

Gadis kecil di pangkuan Gista tersebut sempat berpikir kalau kakek buyutnya membentak dirinya. Sesungguhnya Setiawan Subrata tengah menghentikan perdebatan antara anak sulung dengan anak keduanya yang merebutkan salah satu anak perusahaan Indomachine. Itu adalah Sentralindo yang beroperasi khusus membuat mur dan baut untuk Indomachine dan beberapa perusahaan mitra lain.

Mengintip Hatimu Dari Balik HatikuWhere stories live. Discover now