7. Perkara Telor

744 87 12
                                    

Aluna sedikit ngomel karena mamanya telat menjemput. Namun meski begitu sebisa mungkin Gita menenangkan sang anak. Ah, sepertinya Gita kok sudah menerima keadaannya sekarang. Memiliki anak bernama Aluna.

Tiba di rumah, Aluna rupanya bukan gadis manja seperti yang dipikir oleh Gita. Gadis dengan rambut tergerai dan topi warna merah tersebut langsung masuk kamar, melepas baju, menggantungnya dan berganti pakaian sehari-hari. Setelah itu menuju dapur di mana Gita sedang memindahkan sayur lodeh dari ibunya tadi ke panci.

"Mama nggak masak?" tanya Aluna yang duduk di kursi makan.

"Enggak tadi Mama beres-beres rumah dan pergi ke rumah nenek dibawain sayur lodeh. Luna mau makan sekarang?" tanya Gita yang melihat anaknya sedang kelaparan menunggu makanan.

"Iya tapi ceplokan telur dulu. Mama nggak bawa lauk sekalian ya, dari rumah Nenek?"

Gita hanya bisa terkekeh. Membungkus sayur saja sudah untung dilakukan lebih dulu sebelum makin telat menjemput. Kok mikir bawa lauk segala.

"Iya sebentar ya, Mama ceplokan telur."

Gita mengambil telur yang ada di lemari es. Satu buah telur dibawanya ke dekat kompor. Wajan penggorengan yang sudah berisi minyak sedikit ia panaskan. Begitu ceplokan telur jatuh ke wajan, giliran Gita tidak tahu di mana letak garam. Maklum ia baru melihat ke dapurnya beberapa jam lalu dan belum meneliti satu persatu letak bumbu.

Alona yang melihat gelagat ibunya kebingungan, mendatanginya berdiri di dekat kompor.

"Cari apa, Ma?

"Garam," jawab Gita sambil terus melihat satu persatu kotak bumbu di samping-samping kompor.

Jari Aluna menunjuk pada rak bumbu yang ada di dekat minyak goreng. "Ini, Ma garamnya. Kan dari zaman aku belum lahir letak garam tetap di sini kata Papa."

Lagi-lagi Gita hanya bisa terkekeh. Bisa-bisanya ia kalah mahit dengan Tama. Kenapa juga Luna harus membawa nama Tama juga.

Gita mengambil garam menaburkannya di atas kuning telur.

Aluna yang melihat ada kejanggalan langsung protes. "Ma, aku kan biasanya ceplok telur itu matanya dua. Mata sapi melirik tetangga. Bukan satu mata kayak Minion gini."

"Oh dua telur ya. Maaf, Mama ambilkan satu telur lagi," kata Gita menenangkan anaknya.

Gita heran kenapa sih anaknya rewel. Perkara makan telur saja harus mata sapi melirik tetangga. Harus banget ya, ke tetangga. Kenapa nggak melirik toko saja sepertinya lebih bermanfaat sambil cek barang di toko sebelah.

Gita sudah menceplokkan lagi satu telur namun telur yang kedua kuningnya pecah saat beradu dengan kuning telur di wajan. Tentu saja membuat Aluna cemberut.

"Mama gimana sih masak telurnya jadi berantakan kayak gini. Bagusan Papa kalau masak tuh pasti sempurna," omel Luna membandingkannya dengan Tama.

Gita menarik napas panjang menahan sejenak lalu menghembuskan perlahan. Berharap emosi dalam dirinya bisa dikendalikan. Dirinya yang masih jetlag menerima kenyataan tentang nasibnya sekarang, masih harus berhadapan dengan cerewetnya sang anak. Lagi pula Aluna ini nurun siapa sih, pasti nurun Tama. Kan memang suka julid, pantas juga seperti itu anaknya," batin Gita setelah merasa pulih.

"Mama telurnya gosong! Kenapa nggak dibalik sih?" teriak Aluna yang langsung membuat Gita kaget dan membuka mata. Menyerok telur di wajan, membaliknya cepat-cepat. Benar saja rupanya karena ia sibuk melamun jadinya telur ceplok gagal total.

"Maaf ya, Luna sayang nanti mama bikinkan telur lagi. Tenang, masih banyak telur ayam di kulkas. Kalau masih kurang nanti suruh ayam tetangga buat bertelur khusus buat kamu."

Gita coba menenangkan sang anak yang kini duduk di kursi dengan wajah cemberut, muka bertekuk masam.

"Kelamaan, Ma, aku lapar banget. Udah cepat itu matikan aja nanti makin gosong lagi. Aku mau makan yang ada aja," pasrah Aluna.

Telur ceplok gosong setengah itu pun akhirnya dinikmati Aluna dengan sayur lodeh yang rupanya tidak begitu pedas, sehingga Aluna pun menikmatinya tanpa protes lagi.

***

Gita sudah mandi dan bersiap mengaji TPA tak jauh dari rumah mereka. Gita bertanya di mana anaknya mengaji agar ia bisa mengantarnya. Namun ternyata Luna tidak pernah diantar saat mengaji karena tempatnya dekat dan biasa jalan kaki.

Setelah Luna berpamitan dan berjalan kaki bersama teman-teman lainnya menuju TPA, giliran Gita yang mandi. Ia tidak tahu Tama pulang jam berapa. Jadi ia pun juga tidak menyiapkan lauk. Nanti saja kalau Tama pulang, ia baru menggorengkan telur. Lagi pula hanya ada telur lauk yang tersedia d lemari es selain nugget dan kentang goreng, sepertinya milik Aluna.

Selesai mandi, Gita masih memakai handuk berjalan ke kamar mandi. Di depan meja riasnya ia bisa melihat pantulan diri tubuhnya memang tidak banyak berubah. Hanya saja lebih berisi ketimbang terakhir Gita ingat . Gita yang tengah mengecek bulu ketiaknya dibuat terkejut saat pintu kamar dibuka tiba-tiba.

Gita yang kaget dan posisi tangannya sedang diangkat, membuat handuk yang melilit tubuhnya itu terlepas begitu saja.

Tama ikut kaget. "Astaga, Sayang!" teriak Tama yang tak menyangka masuk kamar akan disuguhi istrinya dalam keadaan seperti itu.

Gita apalagi yang sudah malu dan marah bercampur satu. Mengambil handuk dan langsung memperbaiki lilitan. Matanya melotot ke arah Tama yang kini meletakkan tas berjalan santai membuka kemejanya seolah kejadian barusan bukan sesuatu yang luar biasa.

"Kok kamu main masuk aja sih nggak Ketuk pintu dulu. Aku  kan lagi kayak gin,"i marah Gita pada Tama.

"Kenapa kok ketuk pintu segala. Ini kan kamar kita, Sayang. Lagian kamu ini kebiasaan kalau mandi nggak bawa baju ganti. Emang nggak kedinginan apa mamu tuh pakai handuk aja," Tama malah mengomelinya balik.

Gita masih mencerna apakah dirinya biasa telanjang di depan Tama itu sudah bukan hal yang luar biasa?  Benarkah kebiasaan melilit handuk serta bercermin seperti ini bukan sesuatu yang tabu di antara mereka berdua?

Wow, amazing.

"Ya kan namanya masuk kamar aku pas lagi gini, masa kamu nggak pakai ktuk pintu meskipun di kamar kita," jelas Gita mencari pembelaan dengan sedikit malu mengatakannya.

Kenapa jadinya ia yang malu sementara Tama biasa saja, malah laki-laki itu dengan sangat santai melepas kemeja, melepas celana, menggantungnya dan berjalan melewati Gita begitu saja.

Sepeninggal Tama keluar kamar, wajah Gita memanas. Apa ia tidak salah lihat. Kenapa Tama bisa santai sekali berjalan setengah telanjang padahal ada dirinya di sini. Ngomong-ngomong belasan tahun ia mengenal dan bermain dengan Tama, baru kali ini ia melihat laki-laki itu sampai ke bagian terlarangnya. Untung saja masih ditutupi celana dalam, kalau tidak mungkin Gita pingsan saat ini juga.

Tuhan, sepertinya Gita harus mempersiapkan jantungnya agar baik-baik saja menghadapi kegilaan ini.

__________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now