20. Penghibur

677 82 14
                                    

Tama sampai di rumah lebih malam, karena ia mampir dulu untuk mengambil beberapa baju, buku Aluna dan juga berapa stok makanan di kulkas agar bisa diolah Gita di rumah orang tuanya. Ketimbang harus layu di dalam lemari es berhari-hari karena ditinggal.

Gita menemani Tama yang sedang makan malam. Ia tadi masak sayur sop dengan ayam goreng yang digoreng Gita dadakan saat Tama hendak makan. Kasihan jika Tama harus makan dengan makanan dingin. Nasi dan sayur sop sajansudah dingin, masak lauknya juga ikut dingin.

"Tadi Tian ke sini sama istri dan anaknya," cerita Gita sambil menuangkan air minum di gelas.

"Iya semalam aku telepon dia tapi ternyata anaknya sakit. Nantilah kapan-kapan kita ke sana. Udah lama loh kita nggak main ke rumah Tian."

"Iya."

"Ibu gimana?"

"Agak capek sih hari ini karena banyak tetangga yang datang menjenguk. Tapi selebihnya nggak papa. Ibu tadi lihat TV dan makanya juga lahap."

"Kita tinggal di sini aja sementara buat nemenin Ibu. Nanti kalau udah baikan, baru kita balik lagi ke rumah."

"Iya, terus rumah kita gimana masa kamu terus yang pulang buat bersihin dan ambil barang-barang."

"Nggak apa-apa biar sekalian aku pulang kerja nanti mampir. Kalau kamu yang ke sana kan kasihan Ibu ditinggal sendiri."

Gita nggak habis pikir kenapa sih ia tidak mau tinggal dengan ibunya. Padahal kan ibunya sendirian. Kenapa ia malah milih punya rumah sendiri. Memangnya ia malu dengan apa, Gita jadi penasaran.

"Kenapa sih kita dulu nggak tinggal di sini aja habis nikah. Aku nak tunggal dan Ibu juga sendirian di rumah."

Ditanya seperti itu Tama malah bingung. "Loh kan udah dikasih tahu tadi kalau kamu sendiri yang minta Masa lupa sih, Sayang kamu tuh. Kita kan habis nikah pernah tinggal di sini sekitar sampai Aruna umur enam bulan habis itu kan kamu minta kita tinggal sendiri."

"Emang kenapa kok minta tinggal sendiri?"

"Kamu bilang mau punya rumah sendiri. Nggak enak kata kamu sama Ibu. Dari Aluna lahir yang bantu rawat Luna kan Ibu. Jadi kamu mikir kalau Ibu terus-terusan jagain Aluna padahal kamu juga bisa. Terus kalau nggak salah kamu kena omongan tetangga yang ujung itu loh, banding-bandingin sama anaknya yang udah punya rumah sendiri sementara kamu malah masih numpang di sini."

Gita nggak heran sih kalau Tama menyinggung soal tetangga ujung. Memang benar sih punya tetangga yang mulutnya setajam gergaji kalau mengatai orang. Sudah tak tanggung-tanggung. Mungkin karena dulu ia masih labil, jadi  emosi dan memutuskan untuk punya rumah segera mungkin. Melihat kondisi sekarang ibunya sudah mulai tua dan juga tinggal sendirian, Gita jadi merasa kasihan.

"Sementara ini kamu jemput Aluna agak jauh nggak papa ya. Tapi nggak usah sampai mampir, kasihan Ibu kamu tinggal sendirian lama-lama. Atau kalau perlu biar Aluna pulang pakai ojek aja biar kamu nggak repot," saran Tama.

"Mana  boleh sama Ibus sih. Sama ibu malah aku disuruh jemput aja biar aman. Biasalah emak-emak kan agak khawatir kalau nitipin anak pakai jemputan lain."

"Ya. Maaf ya, Sayang sabar dulu kita."

***

Sudah seminggu Gita, Tama dan Luna tinggal di rumah Sofi. Luka Sofi juga sudah mulai membaik. Tidak parah sebenarnya, hanya  luka luar saja. Lagi pula meskipun sakit, Sofi masih tetap nekat mengerjakan pekerjaan rumah membantu Gita karena merasa kasihan anaknya sudah repot mengurus suami, anak dan dirinya. Benar-benar Sofi  tidak ingin membebani sang anak dan menantunya.

Bahkan pagi ini Sofi sudah memasak meskipun dengan duduk di kursi depan kompor, tidak kuat lama-lama berdiri.

Gita sudah melarangnya tapi tetap saja Sofi ngeyel.

Salah PasanganWhere stories live. Discover now