17. Bukan Kecupan

714 90 7
                                    

Mereka bertiga sudah tiba di warung lalapan. Terlihat ramai karena memang tempat itu langganan Tama. Selain enak, murah, sambelnya memang idaman. Pedas tapi tidak sepepedas omongan tetangga

"Sayang mau bebek apa ayam?" tanya Tama begitu mereka masuk dan mendapatkan satu tempat duduk kosong setelah ditinggalkan pengunjung lain. Masih dengan sisa piring kotor yang memenuhi meja.

"Bebek aja," jawab Gita yang mengumpulkan piring kotor ke satu sisi, agar mudah diambil oleh pelayan warungnya.

"Aku ayam ya, Pa, paha," kata Aluna begitu Tama menunjuk jemarinya ke arah sang anak..

"Minumnya apa nih?" tanya Tama lagi.

"Es jeruk," jawab Luna dan Gita bersamaan.

"Oke, emang nggak pernah berubah pesanan kalian tuh. Mama sama anak sama aja," goda Tama.

Tama langsung berdiri memesan di dekat kasir. Bebek bagian paha untuk Gita, ayam goreng bagian paha untuk Luna dan Tama sendiri ayam bagian dada.

Gita mengedarkan pandangan pada para pembeli yang memenuhi tempat tersebut. Terletak tak jauh dari pusat kota, saking ramainya bahkan parkiran pun tidak muat sampai di seberang jalan juga. Padahal hanya warung tenda biasa. Gita jadi penasaran seenak apa memangnya lalapan di sini. Apakah ini langganannya atau langganan Tama.

Tama sudah kembali ke meja. Tak Berapa lama minuman mereka datang lebih dahulu. Dua es jeruk dan satu es teh.

"Diminum dulu, Sayang," kata Tama meminta Gita menyeruput es jeruk.

Membuat Gita yang masih kebingungan tapi juga kehausan langsung menyeruput es jeruk miliknya. Lantas kemudian Tama memindahkan es batu di gelas es teh miliknya ke gelas es jeruk milik Gita.

Jelas hal tersebut membuat Gita bertanya-tanya. "Kenapa kok es batu kamu dipindah ke sini?"

"Kamu kan suka minta es batu punyaku. Kamu suka banyak esnya biar awet dingin."

Gita mengggigit bibir. Memang ia suka sekali jika minumannya awet dingin. Lebih banyak es batu lebih baik karena nantinya akan mencair. Kenapa hal kecil seperti ini Tama tahu ya.

"Kok kamu tahu kesukaan kayak gini?"

Tama yang ditanya seperti itu tersenyum sambil terus memindahkan bongkahan es batu. "Ya tahu dong, Sayang kan kita udah lama nikah. Lagian aku juga tahu semua yang kamu suka dan nggak suka."

Ada setitik rasa haru di hati Gita. Seperhatian itu Tama padanya, sementara dirinya tidak tahu apa-apa tentang laki-laki itu kecuali sifat usil dan menjengkelkan saja. Sisi baik laki-laki itu tidak pernah Gita ingat sama sekali. Mungkin ada tapi seolah-olah Gita merasa Tama bukan laki-laki sebaik itu. Pratama hanyalah tetangga dan teman yang amat menyebalkan.

Tak berapa lama pesanan mereka datang. Tama lebih dahulu membelah potongan paha milik Aluna agar cepat dingin dan bisa disantap lebih mudah oleh sang anak. Setelah itu giliran piring Gita. Bebeknya juga dibelah oleh Tama. Selain itu ia juga menambahkan sedikit kecap di sambal milik Gita, memindahkan kemangi ke piringnya sendiri. Membuat Gita yang hanya memperhatikan saja sampai bengong. Lagi-lagi Tama mengetahui apa yang ia suka dan tidak disukanya.

Gita suka mencampurkan kecap di sambal lalapan dan juga tidak suka kemangi. Hanya suka timun dan kolnya saja. Hal sepele yang tidak semua orang memperhatikan, bahkan ibunya dan almarhum ayahnya saja tidak sampai memperhatikan detail kecil ini. Membiarkan Gita menyingkirkannya sendiri atau menambahkan kecap sendiri.

"Udah, Sayang buruan dimakan keburu alau dingin nggak enak," kata Tama menyorongkan piring mendekat ke arah Gita agar sang istri segera makan.

Gita ingin menangis saking terharunya tapi ia tahan. Sepertinya tidak lucu menangis dan meraung di tengah banyaknya orang sedang mengunyah nikmat makanan mereka.

"Kamu juga."

Hanya itu kata yang keluar di bibir Gita. Kalimat singkat itu ditanggapi Tama dengan anggukan.

***

Selesai makan, motor Tama bergerak menuju pusat jalan di kota Kediri. Di mana banyak manusia menghabiskan waktu untuk berjalan, makan dan belanja di daerah tersebut. Mematikan motor, mereka bertiga memilih jalan-jalan di emperan toko sepanjang jalan toko.

Aluna berjalan di depan karena gadis itu enggan digandeng. Ia suka bebas sambil melihat-lihat atau sekadar berhenti di depan salah satu toko saat ada barang yang menarik perhatiannya terlihat di etalase.

Sementara Gita dan Tama berjalan di belakang. Menikmati jalan Dhoho yang terlihat sangat ramai ketimbang terakhir Gita ingat. Banyak toko yang berubah dan ada beberapa toko yang masih bertahan. Ada juga yang sudah berganti, namun tak mengurangi euforia yang ia rasakan. Berjalan-jalan bersama teman-teman dulu sering dilakukan di tempat ini, sekarang dengan Tama.

Gita sedikit tersentak kaget saat jemarinya digenggam oleh Tama. Tangannya digandeng dan jalan beriringan mengikuti Aluna di belakang.

Gita ingin melepaskan, tapi rasa nyaman dan hangat dalam genggaman tangan Tama membuat Gita mengurungkan niat tersebut.

"Sayang," panggil Tama sedikit berbisik mendekatkan bibir di telinga Gita.

"Iya," jawab Gita.

"Udah nggak sedih lagi kan. Jangan kayak gini lagi ya."

Mendengar pertanyaan itu mengingatkan Gita pada tangisnya. Ah,  memalukan. Ia pun mengangguk.

"Udah nggak kok. Maaf ya aku nangis kayak bocah aja."

"Iya nggak papa. Mau beli apa nih, mumpung lagi di jalan Doho ," tawar Tama.

"Kripik aja sama bakpao kesukaanku," jawab Gita semringah.

"Aluna mau beli apa?" tanya Gita pada sang anak yang berjalan di depan.

"Terang bulan ya, Ma, yang coklat keju."

"Iya," jawab Gita.

Mereka menghabiskan malam hingga waktu sudah pukul sepuluh lewat
Luna yang besok pagi harus sekolah pun tidak dibiasakan oleh Tama tidur larut malam. Maka dari itu segera setelah pulang dan menikmati beberapa potong terang bulan, minum air putih, gosok gigi, lanjut tidur. Tinggal beberapa potong terang bulan yang masih menemani Gita dan Tama di depan televisi.

Gita merasa sudah kenyang, begitu pula dengan Tama. Namun film yang mereka tonton sedang seru-serunya, tak sengaja tadi menyetel saluran dan menemukan film action yang mereka sukai. Alhasil terang bulan pun dimasukkan ke lemari es.

"Sayang, tiduran sini kalau udah ngantuk," tawar Tama menepuk pahannya karena melihat Gita sudah menyandarkan kepala di punggung sofa.

Gita memang sudah mengantuk, tapi film masih seru. Menurut pada Tama, ia rebahkan kepala d paha Tama dengan lebih dulu dilapisi bantal agar lebih nyaman.

Posisi Gita terlentang, tapi kepalanya menoleh ke arah televisi. Tama yang melihat sang istri sudah mulai mengantuk memijat lengannya agar semakin lelap. Biar nanti ia pindahkan saat ketiduran.

Merasakan pijatan di lengan, Gita menoleh ke atas. Di mana wajahnya bisa melihat Tama tepat di atasnya.

"Tam," panggil Gita yang lupa dengan panggilan sayang mereka.

"Iya, Sayang, kenapa? Mau pindah ke kamar?"

Gita menggeleng. "Makasih buat hari ini."

"Sama-sama, kayak apaan aja. Kan kita sering begini, cuma akhir-akhir ini aja udah lama nggak jalan bareng. Yang penting kamu senang aja."

Entah setan dari mana, melihat wajah Tama yang tersenyum ke arahnya dengan tulus membuat Gita merengkuh wajah tersebut. Menarik hingga mendekat dan Gita layangkan ciuman di bibir laki-laki itu. Baru kali ini setelah merasa dirinya terlempar ke masa sekarang, ia memberanikan diri mencium Tama lebih dahulu. Biasanya laki-laki itu yang mengecupnya lebih dulu.

Tama tentu saja sigap membalas kecupan sang istri. Padahal Gita pikir dirinya hanya akan mengecup Tama dan selesai setelah melepasnya. Namun respons laki-laki itu di luar kendali. Tama malah semakin merengkuh Gita dan memperdalam ciuman mereka.

Tentu membuat Gita membelalak kaget. Lama-kelamaan malah ia memejamkan mata, merasakan ciuman yang sebenarnya bukan sekedar kecupan. Semakin dalam dan rasanya Gita malah terbuai.

Sialan! Kenapa ciuman seenak ini nggak dari  dulu aku ngerasain sih!

___________

Salah PasanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang