13. Uang Saku

647 90 14
                                    

Gita sudah mulai menjiwai peranan sebagai seorang ibu. Pagi-pagi ia bangun lebih dahulu ketimbang Tama. Entah ada angin apa semalam tapi tidurnya begitu pulas dan bangun pun rajin sekali, tidak seperti kemarin-kemarin.

Azan subuh berkumandang ia sudah berada di kamar mandi membersihkan diri lanjut ke dapur menyiapkan sarapan, yang kali ini ia tidak bingung lagi harus memasak. Apa karena stok bahan makanan sudah lengkap di kulkas atau mood pagi yang baik. Ia menanak nasi yang tinggal colok saja lantas ditinggal sejenak sambil menggiling cucian di mesin.

Nasi OTW matang, Gita pun bergegas menggoreng tempe dan perkedel tahu. Kangkung ia tumis sedikit saja untuk sarapan. Nanti siang kangkungnya akan ia bikin sayur asam dengan tambahan wortel.

Kesibukan Gita dilihat oleh Tama yang menguap sambil menggaruk kepala, menghampiri di dapur.

"Masak apa, Sayang baunya harum bener?" tanya Tama mengambil air putih untuk membasahi kerongkongannya.

"Tumis kangkung aja buat sarapan. Nanti siang mau bikin sayur asem."

Tamia melihat memang ada kangkung di mana-mana. "Ya udah aku subuh dulu ya," pamit Tama yang berdiri meninggalkan sang istri.

Selesai subuh Tama kembali ke dapur membantu Gita mengganti air mesin cuci.

Sampai tak terasa hari Sudah terang, penjual tahu juga barusan lewat. Gita membelinya untuk lauk nanti siang.
Aluna terlihat bangun dan langsung ke kamar mandi. Tama yang melihat sang anak masih mengantuk langsung dihampiri dan ditemani saat subuh.

Rutinitas pagi yang bagi Tama sudah biasa dilakukan dan terjadi di rumah ini tapi masih penuh adaptasi untuk sosok Gita.

Setidaknya Gita sudah berkamuflase begitu cepat menghadapi situasinya, yang dari sekedar gadis remaja mahasiswa berubah menjadi ibu-ibu rumah tangga yang begitu rempong di pagi hari. Untungnya ia pernah tinggal di kos yang juga melakukan semuanya sendiri. Terbiasa bangun pagi, antri mandi, masak sendiri tanpa melulu menjadi anak yang siap di tempat dengan semua hal yang sudah tersedia.

Masakan siap. Sembari menunggu semuanya selesai berdandan, Gita menutup meja dengan tudung saji. Mengeringkan cucian dan mulai  membuka pintu depan agar udara pagi masuk ke rumah. Pergantian sirkulasi udara rumah yang pengap.

Gita menyapu dapur, rumah dan juga kamar sementara Aluna bersiap memakai seragam dan Tama juga bersiap dengan tas kerjanya. Ngomong-ngomong, Gita tidak tahu selama ini Tama kerja apa sebenarnya. Pulang pergi yang dilihatnya baju Tama tidak memakai seragam khusus, hanya kemeja lengan pendek. Kadang hanya kaos berkerah dan dilapisi jaket. Apakah Tama ini semacam sales motor monda, debt collector atau kerja di pabrik?

Mau bertanya tapi nanti dikira aneh. Masa ia sudah bertahun-tahun menikah dengan Tama malah bertanya pekerjaan dengan suami. Nanti sajalah ia cari tahu sendiri di mana suaminya itu bekerja, yang jelas bukan pegawai negeri karena tidak berangkat kerja memakai seragam andalan.

"Aluna sudah siap belum?" tanya Tama dari luar kamar.

Tak Berapa lama kemudian Aluna membuka pintu kamar sudah siap dengan seragam batik.

"Sudah, Pa."

"Ayo sarapan dulu!" ajak Tama yang langsung diangguki oleh Aluna, berjalan ke dapur di mana Gita sudah selesai pekerjaan rumah tengah bersantai main ponsel di meja makan.

Kedatangan Luna dan Tama di meja makan membuat Gita meletakkan ponsel.

Gita hendak berdiri mengambil piring, tapi dicegah oleh Tama. "Udah biar aku aja ngambil kamu lagi main game kan. Lanjutin aja."

Gita meringis dan senang. Ia lanjutkan bermain game, membalas chat beberapa user di room yang sudah online di pagi ini.

Luna makan dengan tenang karena ada Tama yang membantunya menyingkirkan beberapa potongan cabe di tumis kangkung.

Selesai sarapan Luna mencium tangan Gita berpamitan.

"Uang, Ma," kata Aluna dengan tangan yang menengadah ke atas.

"Uang apa?" bingung Gita.

"Uang jajan lah, kan Mama kasihnya dua hari sekali. Udah waktunya hari ini dikasih."

Gita hanya membulatkan mulut lantas pergi ke kamar mengambil dompet. Ia serahkan uang lima ribu pada Aluna yang dibalas kernyitan di kening gadis itu.

"Kok lima ribu, Ma? Ini beli cilok satu bungkus aja loh. Kan buat dua hari," protes Aluna merasa uang lima ribu tidak ada harganya sama sekali.

Padahal menurut Gita, uang segitu bisa membeli nasi satu bungkus, es satu gelas ditambah bisa dapat pentol satu tusuk juga.

Tama yang melihat kekesalan anaknya pantas mengeluarkan dompet. "Udah  Papa yang kasih ini. Ayo berangkat!" kata Tama lembut dengan ulasan senyum berbanding terbalik dengan Gita yang merasa anaknya ini begitu boros. Masa jajanan lima ribu saja protes.

Gita lupa waktu sudah berjalan sepuluh tahun dan masih saja dibandingkan dengan uang lima ribu pada masa ia sekolah.

***

Bangun tidur sore setelah Aluna berangkat mengaji dan Gita sendirian di rumah. Asar sudah mau berakhir lima belas menit lagi hendak magrib. Gita melihat jam, biasanya Tama sudah pulang tapi entah kenapa belum juga tiba di rumah. Gita ke kamar mandi, mengecek bulanannya yang sejak pagi sudah tidak keluar tapi masih ia tunggu sampai sore. Rupanya memang sudah bersih. Jadi sebelum maghrib Gita memutuskan untuk mandi suci.

Tepat saat Maghrib, Gita sudah selesai mandi. Melirik pintu depan rupanya Aluna pulang tapi tidak dengan Tama.

"Mama Aku ada PR tapi kayaknya sulit. Nanti mama ajarin ya," kata Aluna yang hendak masuk kamar tapi berhenti dulu karena ada mamanya hendak masuk kamar.

"Iya nanti Mama ajarin. Ngomong-ngomong Papa kok belum pulang ya, biasanya kan Papa udah pulang jam segini," tanya Gita pada sang anak. Siapa tahu Aluna tahu jadwal Tama yang mungkin ada hari tertentu pulang tidak sore. Subuh misalnya atau tengah malam.

"Nggak tahu, Ma, emangnya Papa nggak telepon? Biasanya kan Papa bilang kalau mau pulang telat."

Gita menepuk jidatnya. Oh ya ya, kan ia punya ponsel. Karena efek bangun tidur ia tidak memegang ponsel sama sekali sejak tadi.

Lepas masuk kamar dan mengambil ponsel, rupanya Ada lima belas panggilan tak terjawab dari Tama. Juga ada pesan chat yang dikirimkan laki-laki itu. Gita baru membukanya.

Sayang. Aku pulang malam, teman-teman ngajak makan di luar.

Gita membalas cepat.  Maaf tadi aku ketiduran dan baru pegang HP. Iya hati-hati.

Iya sayang nanti aku bawain bakpao isi ayam kesukaan kamu di jalan doho kalau pulang.

Gita menganga. Bagaimana bisa Tama tahu kesukaannya bakpao isi ayam dan langganannya ada di jalan Dhoho. Isiannya penuh, harga murah, hangat dan lembut dibandingkan penjual lainnya. Di sepanjang jalan itu ada satu penjual langganan Gita sejak masih kuliah dahulu. Rupanya makanan ini diketahui oleh Tama.

Iya makasih.

Kamu udah salat belum?

Ini lagi mau magrib. Kenapa emangnya?

Kangen kamu, Sayang. Besok udah bisa ditindihin dong.

Kalimat manja dari Tama seketika membuat Gita merinding, apalagi diiringi emoticon kecupa dari Tama yang makin membuat Gita menggigit bibir, menutup mata merasakan dirinya ingin pingsan saja.

Demi menutupi kamuflasenya yang ingin terlihat sempurna, Gita pun mengirimkan emoticon kiss sama seperti yang dikirimkan Tama.

Astaga ... menjijikkan sekali sih ini, batin Gita setelah mengirimkan pesan pada Tama.

_____________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now