15. Oh Tidak!

644 88 9
                                    

Gita tak kuat harus membayangkan apa yang dilakukan Tama saat in, laki-laki itu malah sudah mempreteli bajunya.

Saat Tama hendak melepas kaitan setengah memeluk Gita, perempuan itu lantas menyilangkan kedua tangan di depan dada. Memberi jarak pada Tama yang semakin dekat mengendus kulit pundaknya.

"Tam, udah berhenti," lirih Gita sambil memejamkan mata.

Tama yang melihat gelagat aneh sang istri mengurungkan niatnya untuk mempereteli kacamata kuda dan menjauhkan tubuh.

"Ada apa, Yang, kamu lagi nggak mau ya?" tanya Tama lembut.

Perlahan Gita membuka mata, menahan diri dan hati karena di hadapannya Tama sudah bertelanjang dada.

"Iya, nggak papa kan kalau nggak malam ini," nego Gita dengan suara yang begitu kecil takut Tama tersinggung atau malah curiga bahwa dirinya ini masih abal-abal.

Tama mengulas senyum, menyembunyikan rasa kecewa tapi juga menghargai Gita. "Ya udah nggak papa. Kamu lagi capek banget ya?"

Gita menggangguk. "Maaf ya."

Tama mengangguk juga membelai lembut pipi Gita. Turun dari posisi menindih, berjalan ke kamar mandi guna melepaskan sesuatu yang sudah di puncak ubun-ubun.

Gita yang masih syok perlahan memakai kembali bajunya. Duduk di tepi ranjang dan meneteskan air mata bingung. Apa ia salah sudah menolak s
Tama. Tapi ia kan belum bisa menerima sepenuhnya status sebagai seorang istri. Oke lah kalau soal urusan dapur, pekerjaan mendidik Aluna, semua itu masih bisa Gita lakukan. Tapi jika urusan ranjang, sungguh ia masih bingung dengan situasi saat ini.

Karena bagi Gita, dirinyai masih merasa perawan. Belum pernah terjamah oleh laki-laki. Jika melakukan pertama kali apa rasanya akan sesakit yang dibayangkan. Ia takut mengecewakan Tama, karena Gita yang dikenal sekarang adalah sebagai ibu Aluna dan istri Tama. Bukan Gita si mahasiswa.

Gita heran. Padahal ia kenal Tama bertahun-tahun. Tak gentar menhadapi segala gencatan senjata yang dilayangkan tetangganya itu. Tapi kenapa sekarang ia malu-malu seperti ini dan begitu memperhatikan perasaan Tama ya.

Gita ingin menyegarkan wajah saja, berharap semua ini masih mimpi dan ia segera bangun. Bukan malah semakin hari ia semakin mendalami perannya.

Tiba di depan pintu kamar mandi, dilihatnya pintu tertutup dan suara kran yang dinyalakan serta erangan di dalam membuat Gita langsung merapat ke sana. Menempelkan telinga guna mendengar lebih dekat. Apakah Tama melampiaska sendiri karena ia tolak? Aduh, istri macam apa yang membuat suaminya bermain sendiri. Padahal ada istri yang bisa dimainin, eh malah tangan yang alih tugas buat mainin.

Gita galau dan merasa bersalah. Ia bingung harus bagaimana. Apakah ia harus semakin mendalami perannya sebagai istri, totalitas tanpa batas untuk mengorek masa lalu yang ia inginkan?

Gita tak jadi kamar mandi. Ia kembali ke kamar tidur, menyelimuti tubuh sambil memikirkan banyak hal. Apakah ini sekadar mimpi, apakah ia mengalami semacam penyakit Amnesia, Gita juga bingung sendiri. Sedalam apa pun ingatan tentang pernikahan yang dijalani seperti dalam bukti-bukti nyata, Gita merasa tidak pernah melakukannya.

Sampai Gita tidak sadar ranjang bergerak. Tanda Tama sedang naik. t
Tidak ada kata karena Gita memunggungi laki-laki itu. Tama pun juga ikut bergabung dalam selimut, memejamkan mata dengan satu siku tangan di atas kening. Rambut yang basah ia biarkan menyatu di atas sarung bantal.

Gita makin tak enak hati. Ia masih belum bisa tidur dan pura-pura memejamkan mata tanpa bergerak sedikitpun, agar Tama tidak curiga. Sampai terdengar bunyi dengkuran halus, barulah Gita memberanikan diri berbalik miring menghadap Tama yang tidur terlentang.

Ia pandangi wajah teduh laki-laki itu. Benarkah ia mencintai laki-laki ini, begitupun sebaliknya? Kenapa perlakukan Tama berbeda sekali saat belum menikah. Kata orang bisa jadi benci adalah awal sebuah perasaan cinta. Namun benarkah demikian? Beberapa hari bersama Tama yang berbeda, memang membuat Gita merasa nyaman, hangat dan menjadi orang yang dicintai.

***

Bangun pagi Gita pikir Tama akan mendiamkannya, cuek padanya karena kejadian semalam. Namun rupanya dugaan Gita salah. Laki-laki itu tetap ramah padanya, mencium kening, pipi dan memeluk dirinya saat memasak.

Kenapa Gita sudah mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan Tama padanya?

"Masak apa yang hari ini?" tanya Tama yang sudah melepaskan pelukan dan mengambil air untuk membasahi kerongkongannya.

"Mi pakai sawi."

Tama meletakkan gelas yang sudah ia habiskan isinya.  "Wah enak tuh, ambil dulu buat Luna. Nanti buat kita kasih cabe banyak ya, Yang."

"Iya," jawab Gita menoleh pada Tama yang sepertinya tidak ada beban sama sekali. Tidak marah padahal Gita sudah takut-takut bahkan sekadar menatap laki-laki itu.

"Tama, eh, Sayang," panggil Gita mengoreksi panggilannya.

Sebab ia ingat bagaimana Tama merajuk saat dirinya memanggil dengan sebutan nama saja. Meskipun agak aneh dan menggelikan, tapi Gita berusaha menyeimbangkan diri.

Gama yang indah kamar mandi menolehkan tubuhnya. "Ada apa, Sayang?"

"Kamu nggak marah kan sama aku gara-gara semalam?" tanya Gita akhirnya takut-takut.

Ia mematikan kompor lebih dahulu agar tidak gosong saat menghadap Tama. Makanannya juga sudah matang, tinggal dipindahkan saja ke piring.

Melihat raut wajah Gita yang menunduk takut-takut tanpa berani menatapnya, Tama malah geli sendiri. Ia melangkah, mendekat dan memeluk sang istri dengan lembut.

"Nggak papa, Sayang. Kenapa sih kok kamu kayak gitu. Kan Ini bukan yang pertama kalinya. Aku ngerti kok, mungkin kamu capek sama kerjaan rumah seharian ini. Aku aja nggak tahu diri main minta."

Guta menggigit bibirnya merasa semakin tidak enak. Sebenarnya Tama ini laki-laki seperti apa sih. Kenapa berbeda sekali. Kenapa laki-laki ini begitu baik padanya. Kenapa kebaikan Tama tidak ditunjukkan sejak dulu agar kebencian itu tidak terus-menerus membuat Gita kesal setiap hari?

"Beneran kamu nggak marah?"

"Iya, Sayang, nggak-marah kok."

"Tapi kamu malah main sendiri di kamar mandi."

"Ya ampun, Sayang maaf soal itu. Bukan aku nggak ngehargain kamu, tapi gimana ya, Yang, udah di ubun-ubun banget. Aku nggak tahan, apalagi kan lama nggak nyentuh kamu. Ya udah terpaksa deh main sendiri pakai tangan. Tapi nggak masalah, aku nggak ulangi lagi kok. Aku bakal tahan."

Pendengar jawaban itu membuat Gita makin merasa bersalah. Tama malah menyalahakan dirinya sendiri yang tidak bisa menahan nafsu.

Gita malah makin menangis dalam pelukan Tama. Ia merasa dirinya tidak berguna sekali menjadi istri. Isakan Gita malah buat Tama panik. Apalagi ditambah Gita menangis dengan air mata yang membasahi dada Tama.

"Sayang udah jangan nangis, aku nggak marah. Kenapa kamu malah nangis kayak gini?"

Panik menyerang Tama. Ia hanya bisa memeluk makin erat, mengusap rambut Gita dan mengecupi kening perempuan itu.

"Udah nggak papa, nanti Aluna dengar."

Bukannya berhenti Gita malah makin terisak sampai ingusnya meler dan ia usapkan di kaus milik Tama.

__________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now