8. Seranjang Berdua

935 94 6
                                    

Gita mencoba menenangkan jantung yang berdebar begitu kencang kala melihat Tama hanya memakai handuk yang terlilit sebatas pinggang. Masuk kamar melewati Gita begitu saja yang duduk di tepi kasur sambil memegang ponsel.

Awalnya Gita tadi ingin melihat-lihat isi ponsel, hanya saja tersentak kaget kala Tama masuk tetesan air di rambutnya yang disibakkan dengan pelan, Mengurainya dengan jemari. Gita yang dipunggungi hanya bisa menatap tak berkedip melihat otot-otot di tubuh Tama. Punggungnya yang kekar dan otot perutnya yang terlihat dari pantulan kaca meja rias langsung membuat Gita menelan air liur. Kenapa dulu ia tidak memperhatikan Tama saat bertelanjang dada mencuci motor di depan rumah?

Perubahan yang drastis. Bukannya makin tua makin bergelambir tapi Tama malah terlihat seperti kembali muda dan bertenaga. Astaga matanya ternoda sekali.

"Sayang, tadi kamu ke rumah Ibu?" tanya Tama tanpa menoleh ke belakang karena dari pantulan cermin saja ia sudah bisa melihat sang istri.

Gita menutup rapat mulutnya. Untung saja tidak sampai menetes air liur. Kesadarannya pulih dan menjawab pertanyaan Tama.

"Iya tadi aku mampir ke sana sebentar dibawain sayur lodeh juga. Kamu mau makan sekarang apa nanti biar aku gorengkan telur," tawar Gita.

Agak ragu sebenarnya bagaimana ia melayani laki-laki itu, karena ia juga belum pernah melayani laki-laki selain melayani almarhum ayahnya.

"Nggak usah aku goreng sendiri aja. Kamu udah makan?"

"Udah tadi di rumah Ibu."

"Makan lagi yuk temenin aku."

Tama berbalik badan hingga otot perut itu bersemuka dengan wajah Gita. Tak bisa dipungkiri bola mata Gita melebar menahan napas, melihat secara langsung sesuatu yang bisa dibayangkannya hanya lewat komik kesukaannya.

"Kamu kenapa sih kok aneh sekali hari ini. Kamu sakit?" tanya Tama yang mulai mendekat dan menempelkan punggung tangan ke kening Gita.
Merasakan tidak ada demam, bahkan suhunya normal menurut Tama.

Gita makin panas dingin begitu Tama mendekat dan menempelkan kulitnya. Gawat. Gita seperti sesak napas hanya dengan menatap langsung perut Tama yang tepat berada di depannya.

Tama memeryitkan kening. "Nggak apa-apa sih kamu, tapi kok aneh banget. Ada masalah ya, bilang dong, Sayang. Cerita ke aku jangan dipendam sendiri," kata Tama sambil mengusap lembut pipi Gita.

Bagaimana Gita tidak ketar-ketir. Ia sudah panas dingin, jantung sudah berdebar begitu kencang, ditambah dengan sentuhan lembu di pipi makin ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Sungguh perlakuan Tama yang berbeda selama Gita mengenal laki-laki itu.

Namun demi menjaga kenormalan dirinya di hadapan Tama dan rasa penasaran yang ingin ia gali tentang alasan datang masa sekarang, soal masa lalunya dan banyak hal lagi yang ingin Gita ketahui. Jadi ia bersikap sewajarnya, lebih tepatnya mencoba bersikap normal.

"Aku nggak papa kok beneran. Udah sana pakai baju katanya mau makan. Aku tunggu di dapur."

Gita langsung berdiri keluar kamar menuju dapur. Duduk di kursi, menuang gelasnya dengan air putih, menekuknya buru-buru sambil meremas kepala. Merasakan dirinya yang sudah mulai oleng tak sadar dengan segala perlakuan manis Tama padanya.

Pratama di kamar malah bengong sendiri, kenapa seakan-akan Gita menghindari darinya dan bersikap dingin. Tapi karena ia tidak mau ambil pusing, Tama segera mengambil kaos dan celana selutut di lemari. Memakainya dan menyusul Gita di dapur. Melihat sang istri yang duduk menempelkan pipi di meja, diam-diam Fama tersenyum. Gita yang ia kenal memang seperti itu. Menempelkan pipi di meja saat keadaan tertentu; misalnya lapar, merasa lelah atau sedang banyak pikiran.

"Tunggu sebentar ya, Sayang aku goreng kan telur dulu," kata Tama membuka lemari es mengambil dua butir telur dan nugget di freezer.

Gita hanya mengangguk pelan meski dengan posisi seperti itu. Suara kompor yang dinyalakan, telur yang dikocok dan pisau yang memotong-motong bawang membuat Gita melirik ke arah Tama dari belakang. Ia bisa melihat betapa ulet dan cekatan Tama memasak. Pantas saja Aluna begitu membanggakan papanya soal urusan dapur.

Telur dadar dengan isian bawang dan cabe serta nugget yang digoreng setiap tersaji di piring. Tama mengambilkan piring juga untuk Gita.

"Dah. Ayo dimakan," kata Tama.

Gita mengangkat kepalanya, menerima piring dari Tama dan mengisinya dengan nasi, sayur lodeh dan juga telur dadar yang begitu menggugah selera. Nugget yang ia pikir milik Aluna itu ternyata digoreng juga oleh Tama. Keduanya makan dengan lahap.

***

Malam sudah larut, Aluna juga sudah masuk ke kamarnya. Tama masih menonton bola di ruangan depan tinggal Gita yang sudah merebahkan diri di kasur setelah ia tadi mencuci piring, membereskan dapur dan menemani Aluna mengerjakan PR.

Sudah pukul sembilan, waktunya ia sendiri yang istirahat masuk dalam selimut. Merebahkan sejenak tubuh dan memejamkan mata merasakan lelah pikiran dan juga tubuh.

Gita baru terpikir untuk mengecek ponsel yang selama tadi belum sempat ia telusuri isinya.

Ia gulingkan tubuh jadi tengkurap, menyangga tubuh dengan kedua siku dan serta bantal di dada. Ia mulai membuka ponsel yang rupanya sandi masuknya lewat sidik jarinya saja.

Hal yang pertama dibuka adalah aplikasi apa saja yang dipunyai. Dari mulai aplikasi pesan yang rupanya tidak hanya satu macam saja, kemudian aplikasi untuk menonton film dan sosial media yang rupanya sudah banyak ragamnya saja, sekarang dengan mudah diakses di ponsel pintar.

Pertama ia buka aplikasi berwarna hijau bergambar telepon. Gita membuka ada banyak sekali chat pribadi namun yang iya PIN atau tandai hanya ada dua nomor. Satu nomor Tama dengan nama kontak yang membacanya saja membuat Gita meringis geli. Bisa-bisanya ia membuat nama kontak alay seperti itu. Kedua adalah nomor ibunya.

Membuka isi pesan PIN teratas yakni dari suaminya, Gita membaca pesan-pesan yang dikirimkan dari Tama. Terlihat sangat berbeda dengan pesan yang biasa ia kirimkan dengan laki-laki itu dulu. Isi pesan Tama lebih banyak kata sayang yang ditujukan padanya. Seakan-akan memang Tama begitu menyayanginya sebagai seorang istri. Obrolan pun juga tidak begitu penting. Hanya mengingatkan hari atau barang yang tertinggal, mengingatkan jadwal dan beberapa obrolan random. Begitu pula dengan chat dari ibunya yang lebih banyak bernasihat.

List kontak yang ada di situ tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa nama temannya yang masih terhubung seperti teman sekelasnya dulu. Dari semua obrolan itu tidak ada satupun nama Reval. Padahal ia pikir Reval masih menghubunginya meskipun ia sudah menikah dengan orang lain. Melihat dari daftar kontak pun Gita tidak punya nomor kontak Reval. Sebenarnya Seburuk apa sih hubungan mereka dulu.

Gita keluar dari aplikasi chat tersebut, beralih pada galeri ponsel. Di mana biasanya orang-orang mengumpulkan kenangan di sana.

Baru saja ia buka galeri, tubuh seseorang memeluk dirinya dari samping. Membuat Gita menjatuhkan ponsel, menoleh kaget dan langsung mendorong Tama.

"Apa sih, Yang, kok malah didorong," cemberut Tama yang sebenarnya tahu dorongan Gita juga tidak sakit. Hanya sedikit bergeser mundur saja tubuh Tama.

"Kamu bikin kaget aja tiba-tiba masuk dan langsung meluk," alasan Gita yang kini duduk.

"Kan cuma meluk aja. Kenapa sih kamu malah kaget banget biasanya juga kan gini."

Mungkin wajar untuk suami istri yang sudah menikah lama. Hanya saja Gita masih belum terbiasa dengan melakukan hal tersebut. Begitu intim sekali. Untung saja Gita sedang halangan. Kalau tidak halangan, Gita sudah berpikir macam-macam Tama akan melakukan lebih dari ini.

"Kamu kayak capek banget hari ini nggak fokus apa-apa. Udah ayo tidur," ajak Tama yang buru-buru bangun dari kasur untuk mengganti lampu. Mengunci pintu dan bergabung dengan Gita yang hanya bengong di tempat.

Dengan santainya Tama tidur menghadap Gita. Menarik perempuan itu agar ikut berbaring miring berhadap-hadapan.

"Aku lulus-elus ya biar kamu boboknya nyenyak," kata Tama yang mulai mengusap rambut Gita. Perempuan yang masih terkejut itu hanya bisa memaksakan diri memejamkan mata.

_________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now