18. Gagal

676 85 12
                                    

Ciuman keduanya makin intens. Dalam, basah, sama-sama terlarut. Gita tak sadar bahwa ia sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Terbuai. Bahkan ia sangat pasrah begitu posisi tubuhnya tidak lagi di atas pangkuan melainkan sudah telentang di sofa, dengan Tama yang menindih di atasnya. Terus mencium dan mengecupi sampai leher, membuat perempuan itu kegelian dan tak sadar mengerang dengan suara yang lolos begitu saja.

Ciuman Tama tak sampai di situ. Turun ke belahan dada yang sudah mulai terbuka sementara Gita hanya bisa memejam merasakan sentuhan-sentuhan Tama yang malah membuatnya nyaman.

Melihat sang istri yang menikmati sentuhannya, Tama melepaskan kecupan. Merengkuh wajah sang kekasih. Mendarat ciuman di kedua kelopak mata yang tertutup, pipi dan juga yang bibir yang merekah.

Ciuman itu terus berlanjut bahkan semakin erat sampai-sampai Gita sesak napas karena Tama tidak memberi jeda sedikitpun.

"Sayang nanti ke kamar yuk," bisik Tama di sela ciumannya kala Gita mengambil pasokan udara.

Di saat itulah Gita langsung membuka mata kaget dengan istilah kamar yang dilontarkan oleh Tama.

Makin kaget lagi saat wajah mereka rupanya amat dekat dan bibir Tama sedang menjelajahi lehernya.

"Tunggu, Tam!" interupsi Gita yang tidak didengar oleh Tama karena ia tengah fokus mengendus, menjilat dan menggigit area favoritnya.

Gita bingung bagaimana dia akan berakhir malam ini. Tama akan menjelajahi tubuhnya sementara dirinya belum siap.

Baiklah, untuk ciuman barusan  terjadi begitu saja dan tidak mengurangi apa pun. Tapi jika sampai punyanya dan punya Tama bertemu, saling memasukkan, Gita tidak bisa membayangkan dirinya harus menyerahkan keperawanan malam ini pada Tama.

Bagi Gita, ini adalah pertama namun mungkin tidak bagi Tama. Di mana mereka sudah menjalani rumah tangga lama dan juga ada Aluna yang sudah lahir dari rahimnya. Tentu lubangnya tidak seketat itu, tapi kan ini dirinya versi terbaru. Gita yang masih merasa bersegel perawan, polos dan ah apa ini.

Baju Gita sudah lepas diprereteli oleh Tama, meskipun hanya bagian depan saja. Kecupan sudah mulai turun di bawah belahan. Tama terlalu fokus menjelajah.

Dering ponsel milik Tama yang terlihat nama dari si penelpon, membuat laki-laki itu melirik sejenak dan terlihat nama mertuanya. Sontak Tama bangun dari posisi menindih Gita.

"Aduh Ibu telepon," kata Tama yang langsung diikuti Gita duduk menoleh pada ponsel Tama. Memegangi bajunya guna menutup area terbuka hasil kenakalan Tama.

"Halo, Assalamualaikum, Bu," sapa Tama pada mertuanya yang menelpon.

Gita bertanya dengan suara lirih. Kenapa ibunya menelpon Tama malam-malam seperti ini.

"Ya, Bu aku sama Gita ke sana sekarang."

Panggilan terakhir membuat Gita penasaran. Kenapa itunya tidak menelepon ke HP Gita melainkan pada menantunya.

"Ada apa sama Ibu?" tanya Gita penasaran.

"Ibu jatuh dari motor ditabrak sama orang dari belakang."

Kaget pasti. "Hah? Terus Ibu gimana keadaannya? Kenapa nggak telpon aku?"

Gita mencari ponselnya berada.  Begitu mendapatkan ponselnya, Gita baru sadar ia men-silent ponsel tersebut sehingga panggilan dari ibunya tidak terdengar. Padahal Sofi sudah menelepon sampai belasan kali. Jelas saja tak dijawab.

"Ibu udah telepon di hape kamu, Sayang tapi nggak diangkat. Sekarang kamu telpon sendiri coba," saran Tama.

Gita menelpon sendiri nomor ibunya.

Tanpa mengucapkan salam, Gita langsung berteriak, "Ibu! Kok bisa jatuh sih. Gimana keadaannya sekarang?" khawatir Gita.

"Kamu kenapa baru jawab. Ibu udah telepon berpuluh-puluh kali. Pasti kamu udah tidur ya. Ibu nggak papa ini juga lagi jalan damai saja biar nggak repot. Ibu lagi di klinik, kamu ke sini sama Tama."

"Iya, Bu tunggu ya."

Gita menutup telepon, menoleh di sampingnya sudah tidak ada Tama.
Rupanya laki-laki itu membangunkan Aluna secara paksa karena harus membawa anaknya tersebut pulang ke rumah sang nenek.

Gita menghampiri Tama. "Aku siap-siap dulu."

"Iya, Sayang aku siapin barang Luna juga."

***

Sovi sudah dibawa pulang ke rumah. Tadi Tama dan juga Gita menjemput dari klinik, mengantarkan sampai rumah. Sofi juga sudah tertidur setelah meminum obat. Orang yang menabrak juga sudah pulang ke rumah masing-masing karena dua-duanya juga terluka tapi tidak parah. Hanya saja untuk urusan motor akan jadi tanggung jawab penabrak.

Aluna sudah tertidur di kamar karena kasihan sedang lelap dipaksa bangun dan harus ikut ke klinik. Tak mungkin juga meninggalkan Aluna di rumah sendirian.

Hari sudah lewat tengah malam. Gita yang baru selesai menemani ibunya di kamar lantas keluar dan menemui Tama gang tiduran di depan televisi dengan kasur lipat yang digelar.

"Ibu gimana udah tidur?" tanya Tama.

"Udah," jawab Gita yang mendekat pada sang suami. Duduk bersila di samping Tama yang tiduran.

"Sayang, untuk sementara kamu sama Luna di sini dulu. Nanti sesekali aku yang pulang buat ambil barang sama beresin rumah."

Gita mengangguk. "Iya. Kamu nggak tidur? Capek kan dari tadi kamu wara-wiri."

Tama hanya menghela napas. "Capek sih tapi mana bisa tidur dalam keadaan kayak gini. Kamu yang lebih capek kan, tidur sama Luna sana aku tiduran di sini aja sambil lihat tv. Nanti kalau udah ngantuk baru nyusul kalian."

Gita menggangguk. "Ya udah aku tidur duluan ya."

"Iya, Sayang maaf ya jadi kejeda nindihnya. Padahal lagi panas-panasnya malah harus berhenti." Tama minta maaf padahal hal tersebut sangat disyukuri oleh Gita, karena tidak jadi diperawani oleh laki-laki di sampingnya ini.

"Besok-besok kan bisa." Gita coba menenangkan Tama padahal ia sendiri ketar-ketir.

"Ya udah sana istirahat ya."

Gita masuk ke kamar miliknya di mana Luna sudah tidur lelap. Dengan begini Ia tidur bertiga dengan Luna dan Tama. Kemungkinan Tama menindih dirinya juga pasti kecil, karena tidak mungkin juga akan melakukan hal tersebut di samping sang anak, pikir Gita yang mulai tidur di samping Luna sambil memikirkan kemungkinan yang ia khawatirkan.

Tama sendiri Tak lama kemudian mengantuk dan tertidur dengan TV yang masih menyala. Sampai menjelang subuh baru Gita bangun dan mematikan TV tersebut. Menatap haru pada laki-laki yang tertidur pulas beralasan kasur lipat tipis. Gita ingat dan masih terekam jelas bagaimana ia yang begitu panik dan khawatir melihat sang ibu dengan kondisi luka tangan dan kaki yang diperban hampir saja pingsan.

Gita pikir saat ibunya mengatakan baik-baik saja wanita itu hanya luka memar sedikit.

Pratama yang mengambil alih semuanya. Mengurus Sofi, menenangkan sang istri juga Luna, mediasi dengan penabrak dan juga mengurus semua hal dari antar jemput klinik ke rumah memastikan bahwa Sofi, ia dan Luna aman.

Laki-laki yang tidak ia sangka setulus ini mengurus dirinya dan keluarganya, dan bahkan rela tidur di depan TV karena tak ingin mengganggu Gita dan Luna yang tertidur.

"Tuhan, kenapa aku mulai menyukai laki-laki ini sekarang?"

___________

Salah PasanganWhere stories live. Discover now